Tiga Dara Pendekar Siauw-lim Chapter 45

NIC

Dan inilah kesalahan mereka. Begitu mereka mengikuti pergerakan benda itu dengan kedua mata, tiba-tiba mereka merasa mata mereka pedas dan kepala pening dan mereka tak kuasa lagi mengalihkan pandang mata dari benda itu. Perlahan akan tetapi jelas dan amat berpengaruh, terdengar suara pendeta gemuk itu,

“Kalian merasa mengantuk! Nah, nah... kalian tak kuat lagi menahan, matamu ingin dimeramkan. Tidurlah, tidurlah... tidurlah!”

Aneh sekali, Hwe Lan dan Sui Lan lalu memeramkan mata dalam keadaan berdiri dan mereka tertidur sambil berdiri! Inilah hoat-sut (ilmu sihir) luar biasa yang dipergunakan oleh pendeta gemuk itu untuk mengalahkan Hwe Lan dan Sui Lan dengan amat mudahnya.

Beberapa orang pengunjung yang belum meninggalkan tempat itu, demikian pula yang masih berdiri di luar pekarangan kelenteng itu, melihat betapa kedua orang gadis yang tadinya membikin kacau itu kini berdiri bagaikan patung dalam keadaan tidur!

“Nah, mereka terkena kutuk oleh Pouw-sat!” kata seseorang.

“Mana mereka dapat melawan Pouw-sat yang suci dan sakti itu,” kata pula orang lain.

“Baru menghadapi Ang-hoa Sianjin saja mereka tak berdaya, apalagi kalau menghadapi Ang-hoa Pouw-sat. Manusia biasa mana bisa melawan seorang bidadari dari kahyangan!” Sementara itu sambil menyeringai puas karena kemenangannya, pendeta gemuk itu lalu memerintah lagi dengan suara berpengaruh,

“Kalian berlututlah!” dan Hwe Lan bersama adiknya tanpa dapat menguasai pikiran sendiri, lalu menjatuhkan diri berlutut dalam keadaan tak sadar seperti orang tidur pulas.

Siapakah sebenarnya Ang-hoa Pouw-sat yang amat berpengaruh itu? Apakah benar-benar dia seorang dewi dari kahyangan yang turun ke dunia unutk mencuci dosa manusia?

Ah, mana ada kejadian seperti itu! Kasihan orang-orang bodoh yang terpengaruh oleh takhyul bohong semata itu dan yang tanpa disadari telah membiarkan diri tertipu oleh wanita ini. Sebenarnya dia ini bukan lain adalah Ang-hoa Mo-li (Iblis Perempuan Bunga Merah), yakni isteri dari Ang-hoa Sin-mo yang dulu menjadi perampok di dekat rawa dan yang telah dikalahkan oleh Siang Lan dan Kui Hong An. Sebagaimana telah dituturkan di bagian sebelumnya, setelah terkena thi-lian-ci yang dilepas oleh Siang Lan dan terluka di bagian tangannya, iblis wanita ini melarikan diri, meninggalkan suaminya yang berada dalam bahaya!

Dengan hati menaruh dendam tehadap Siang Lan dan Hong An, wanita ini merantau dan akhirnya bertemulah dia dengan pendeta gemuk pendek yang kemudian berjulukan Ang-hoa Sianjin itu! Dasar Ang-hoa Mo-li memang sudah bejat moralnya, dan dalam usia hampir enam puluh tahun masih nampak cantik, maka pertemuannya dengan pendeta gemuk pendek ini tentu saja tidak dilewatkan begitu saja, karena pendeta itupun terkenal sebagai seorang pendeta cabul yang jahat, akan tetapi yang memiliki ilmu hoat-sut yang lihai serta ilmu silat yang tinggi pula. Mereka mengadakan hubungan dan akhirnya, kedua orang ini lalu mempergunakan ilmu kepandaiannya unutk mengusir dan menakut-nakuti para hwesio di kelenteng yang kini menjadi sarang mereka itu sehingga para hwesio pergi menyerahkan tempat itu kepada mereka. Dan semenjak itu mulailah kedua orang jahat ini menjalankan tipu muslihatnya untuk mencari uang dengan mudah. Ang-hoa Mo-li menyamar sebagai dewi kahyangan dengan bergelar Ang-hoa Pouw-sat, sedangkan pendeta itu lalu mengangkat diri sendiri menjadi Ang-hao Sianjin. Berkat kepandaian pendeta itu yang lihai ilmu sihirnya, mereka berhasil menipu rakyat yang pada masa itu masih amat bodoh dan mudah terpengaruh oleh segala ketakhyulan, tidak saja menipu uang mereka, bahkan dalam tipu muslihatnya ini, Ang-hoa Sianjin mendapat kesempatan pula untuk mengganggu anak bini orang sebagaimana terbukti dengan adanya banyak gadis yang suka menjadi murid Ang-hoa Pouw-sat, padahla mereka itu dalam keadaan “tak sadar” atau berada dalam pengaruh sihir Ang-hoa Sianjin!

Seperti juga orang-orang lain yang pernah bertemu dengan Siang Lan, ketika Ang-hoa Mo-li melihat Hwe Lan, ia salah melihat dan menyangka bahwa Hwe Lan adalah gadis yang dulu di tepi rawa telah melukainya, maka tanpa dapat menahan nafsu marahnya, ia lalu menyerang.

Kalau menurutkan kehendak hatinya, ingin sekali Ang-hoa Mo-li segera menurunkan tangan jahat dan membunuh gadis yang disangka Siang Lan itu, akan tetapi karena pada waktu itu di situ banyak orang menyaksikan, tentu saja ia mengingat akan kedudukannya sebagai dewi dan terpaksa menahan nafsunya. Sementara itu, Ang-hoa Sianjin berpikir lain. Pendeta gemuk pendek ini semenjak tadi telah tergila-gila melihat kecantikan kedua kakak beradik ini, maka setelah ia berhasil mempengaruhi mereka, ia lalu berkata kepada semua orang yang berada di situ dengan suaranya yang garang,

“Anak-anakku sekalian! Baru saja ada iblis-iblis yang mengotori tubuh kedua gadis ini sehingga hendak mengacau dan menghina Pouw-sat. Akan tetapi berkat kemuliaan Pouw-sat, kedua iblis itu dapat diusir dari tubuh mereka dan kini kedua gadis ini untuk menebus dosa dan membersihkan diri akan diterima menjadi murid!”

Semua orang menarik napas panjang dan diam-diam memuji kemuliaan hati Ang-hoa Pouw-sat itu. Sementara itu, Ang-hoa Mo-li sudah maklum akan kehendak pendeta gemuk itu akan tetapi ia tidak peduli, karena hal itu juga merupakan pembalasan dendam. Ia hanya berkata,

“Ikat keduanya!” dua orang penjaga yang berjubah merah lalu menggunakan tambang unutk mengikat tangan kedua orang gadis itu ke belakang. Lalu Ang-hoa Pouw-sat hendak mengundurkan diri untuk mencuci mukanya. Akan tetapi pada saat itu, di luar kelenteng terjadi ribut-ribut ketika seorang pemuda mendorong orang-orang ke kanan kiri untuk minta jalan, lalu berlari masuk dan menghadapi Ang-hoa Pouw-sat sambil memandang marah. Tangan kiri pemuda itu membawa sebuah tempayan berisi darah, sedangkan tangan kanannya memegang pedang.

“Kau... Kui Hong An?” seru Ang-hoa Mo-li ketika melihat pemuda tampan ini.

Memang benar, pemuda itu adalah Kui Hong Ang, murid Kun-lun-pai yang gagah perkasa itu, yang dulu pernah bersama Siang Lan mengalahkan suami isteri Ang-hoa Siang-mo, bahkan Hong An berhasil membunuh Ang-hoa Sin-mo, musuh ayahnya. Semenjak tadi, Hong An telah melihat peristiwa itu karena kebetulan sekali iapun berada di kota itu dan ikut pula menonton.

Ketika melihat Hwe Lan, Hong An juga mengira bahwa gadis itu adalah gadis yang dulu bersama dia melawan barisan Ang-hoa-tin dari suami isteri Ang-hoa Siang-mo di tepi rawa, maka ia telah bersiap hendak membantu. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika ia melihat betapa dengan ilmu sihirnya yang luar biasa, Ang-hoa Sianjin telah berhasil menawan kedua orang gadis itu. Ia maklum bahwa ia sendiripun tak dapat melawan ilmu sihir itu, maka Hong An diam-diam lalu pergi dari tempat itu untuk mencari senjata ampuh guna melawan ilmu sihir Ang-hoa Sianjin. Dan kebetulan sekali ia melihat senjata ampuh itu sedang makan tulang di laur kelenteng, yakni seekor anjing hitam! Telah menjadi kepercayaan umum di masa itu bahwa segala ilmu hitam dan jahat, paling takut kepada darah anjing hitam yang dianggap mempunyai darah pengaruh mengusir tenaga ilmu hitam itu. Tanpa ragu-ragu lagi Hong An mengerjakan pedangnya, setelah lebih dulu menyediakan tempayan untuk tempat darah. Sekali saja pedangnya berkelebat, leher anjing hitam itu telah terbabat putus dan darah yang mengalir keluar dari leher itu cepat ditadahinya di atas tempayan. Kemudian dengan senjata ampuh ini, Hong An menyerbu ke dalam kelenteng!

Ketika Ang-hoa Mo-li melihat kedatangan pemuda ini, ia segera berseru kepada Ang-hoa Sianjin, “Tangkap pemuda jahat ini!”

Ang-hoa Sianjin tertawa geram dan ketika Hong An membalikkan tubuhnya, pendeta itu telah siap dengan piring peraknya yang dapat digunakan untuk melumpuhkan semangat orang. Akan tetapi Hong An telah maklum akan kelihaian piring ini dan sama sekali tidak mau memandangnya. Sebaliknya ia memandang ke arah kaki pendeta itu, tidak mau bertemu pandang mata dan tiba-tiba ia melompat maju sambil berseru,

“Pendeta siluman! Makanlah darah anjing hitam ini!” tempayan berisi darah anjing hitam itu dengan cepatnya dilemparkan ke arah muka pendeta itu sedangkan pedangnya membarengi gerakan ini menusuk ke arah dada!

Ang-hoa Sianjin sama sekali tidak menyangka akan serbuan lawan ini. Biarpun ilmu sihirnya lihai, akan tetapi mendengar sebutan darah anjing hitam ini, ia tertegun juga dan semangatnya tak dapat terkumpul. Dalam hal ilmu silat kepandaiannya tidak sangat tinggi, dan ia dipercayai penuh oleh Ang-hoa Mo-li hanya karena memiliki ilmu sihir. Melihat sambaran tempayan, ia mencoba berkelit, akan tetapi darah anjing yang memercik keluar masih tepat mengenai muka dan hidungnya sehingga ia mencium bau yang amat amis dan menimbulkan muak. Dan pada saat itu, pedang Hong An telah tiba di dekat dadanya. Ang-hoa Sianjin hendak mengelak sambil membuang diri ke kiri, akan tetapi Hong An telah mendahuluinya dengan susulan tendangan kaki yang membuat tubuhnya yang gemuk dan bundar itu bergulingan bagaikan seekor trenggiling! Malang baginya, tubuhnya mengguling sampai ke dinding dan kepalanya terbentur dinding yang keras. “Duk!” ia terkulai tak berdaya dalam keadaan pingsan sedangkan di kepalanya lalu keluar “tanduk” di bagian yang tertumbuk dengan dinding tadi. Kasihan...!

Sementara itu, Ang-hoa Mo-li yang melihat kekalahan Ang-hoa Sianjin, segera memberi perintah dan semua penjaga yang berpakaian merah dan jumlahnya belasan orang itu segera maju mengurung Hong An dengan senjata golok atau pedang. Ang-hoa Mo-li sendiri lalu mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dan memimpin anak buahnya melakukan pengeroyokan. Maka terjadilah pertempuran yang seru! Hong An dikeroyok oleh para pendeta Ang-hoa-kauw itu.

Adapun Hwe Lan dan Sui Lan yang tadinya berada dalam keadaan tak sadar dan dalam pengaruh ilmu sihir Ang-hoa Sianjin, setelah pendeta itu jatuh pingsan di dekat dinding tanpa daya lagi, kedua dara ini lalu tersadar dan terlepas dari pengaruh sihir yang membuat mereka seakan-akan tidur. Alangkah heran dan terkejut hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa kedua tangan mereka terikat tambang. Bagaikan mendapat komando, keduanya lalu mengerahkan tenaga dan “krek! Krek!” putuslah tambang biasa yang mengikat pergelangan tangan mereka! Mereka otomatis meraba pedang dan merasa girang bahwa pedang mereka tidak dirampas. Sekali mereka menarik tangan, pedang telah berada di tangan dan mata kedua orang dara ini memancarkan cahaya kemarahan yang tak dapat dipadamkan lagi! Mereka melihat betapa Ang-hoa Pouw-sat, dewi yang berbedak tebal itu, sedang mengeroyok seorang pemuda gagah dan betapa Ang-hoa Sianjin rebah pingsan di dekat dinding, maka mereka dapat menduga bahwa mereka tentu tertolong oleh pemuda gagah itu.

“Dewi palsu! Mari kuantar kau pergi ke neraka!” teriak Hwe Lan yang segera menyerang dengan pedangnya. Begitu gerakan pedang Hwe Lan yang cepat dan ganas itu tiba, dua orang pengeroyok telah kehilangan goloknya yang terpental ketika merasa tangan mereka perih karena terkena sambaran sinar pedang Hwe Lan! Para pengeroyok merasa terkejut sekali, juga Ang-hoa Mo-li merasa terkejut dan ngeri karena dulu pernah ia menyaksikan kelihaian gadis ini yang disangkanya Siang Lan.

Hong An memandang ke arah Hwe Lan daengan senyum girang dan berkata sambil mengerjakan pedangnya, “Nona, akhirnya kita bertemu pula!”

Hwe Lan terheran-heran mendengar kata-kata Hong An itu, akan tetapi ia tidak peduli dan terus mengamuk hebat. Sedangkan Sui Lan yang tahu bahwa encinya sudah cukup gagah untuk membasmi pendeta-pendeta palsu itu, lalu berpesta pora dengan pedang dan kakinya. Ia menendang roboh meja, menggunakan pedangnya untuk merusak semua benda yang terdapat di ruang itu dan ketika ia melihat betapa pendeta gemuk pendek itu mulai bergerak, sekali ia melimpat, tubuhnya telah berasa di dekat tubuh Ang-hoa Sianjin yang masih rebah miring. Ang-hoa Sianjin sedang berusaha hendak bangun, tiba-tiba sebuah tendangan kaki Sui Lan mampir di lehernya dan “ngek!” pendeta cabul yang durhaka itu rebah lagi telungkup dan tak dapat bergerak!

Posting Komentar