Dengan tak sengaja, Sui Lan membuka kuncup bunga yang berada di tengah dan ia merasa heran sekali melihat beberapa butir benda hitam sebesar beras berada di tengah-tengah bunga itu. Ia anggap benda itu kotor sekali seperti tahi cecak, maka ia lalu mengetuk-ngetuk bunga itu untuk mengeluarkan beberapa butir benda hitam itu yang segera jatuh keluar tanpa dilihat oleh siapapun juga.
Ketika Sui Lan telah tiba di depan Ang-hoa Pouw-sat dan tiba gilirannya untuk “mencuci dosa”, ternyata bahwa bekas air dari cawan tiap orang yang kemudian dituangkan ke dalam sebuah guci, hampir memenuhi guci itu dan warnanya hitam sekali! berbeda dengan orang lain yang berlutut dan menyembah sambil menundukkan muka, tanpa berani memandang sama sekali kepada dewi yang suci itu, Sui Lan bahkan melihat dengan mata dibuka selebar-lebarnya. Ketika dewi itu mengangkat muka dan pandangan mata mereka bertemu, Sui Lan melihat sepasang mata yang tajam dan genit. Kini ia dapat melihat jelas betapa bedak yang menutupi muka itu tebal sekali sehingga diam-diam ia merasa geli dan mulutnya tersenyum. Sementara itu, Sang Dewi ketika melihat seorang dara jelita berlutut di depannya dengan pandangan mata menyelidik, cepat menundukkan muka dan berkata,
“Masukkan kembang itu ke dalam cawan!”
Dengan menggerak-gerakkan bibirnya secara lucu, Sui Lan memasukkan kembangnya ke dalam cawan dan ia melongok ke dalam cawan seperti lakunya seorang anak kecil. “Tutup cawan itu dengan kedua telapak tanganmu!” Sang Dewi memerintah lagi dan Sui Lan melakukan perintah ini dengan geli hati.
Dewi itu lalu membuat gerakan-gerakan seperti tadi, yakni kedua tangan diangkat, jari-jari tangan dibuka dan digetar-getarkan ke arah kepala Sui Lan, terus turun dan seakan-akan mengalirkan “dosa” yang bersembunyi di dalam tubuh Sui Lan itu melalui kedua lengan ke dalam cawan.
“Pegang cawan itu dan kocok tiga kali!” dewi itu memerintah lagi dan kembali Sui Lan menurut dan mengocok tiga kali lalu meletakkannya kembali ke atas lantai tanpa membuka tanannya.
“Sudah tercuci bersih! Dosamu telah berpindah ke dalam cawan, bercampur dengan air dan kembang!” kata dewi itu dengan suara nyaring dan lega, seakan-akan ia merasa girang telah selesai berurusan dengan dara muda yang nakal dan tidak menghormatnya itu.
Akan tetapi Sui Lan diam saja karena tidak tahu harus berbuat apa.
“Bukalah tanganmu dan lihat. Air itu akan menjadi hitam dan kotor, terisi dosa-dosamu!” kata Sang Dewi.
Dengan amat ingin tahu, Sui Lan membuka kedua tangannya dan kalau saja muka dewi itu tidak berkedok bedak yang amat tebal, tentu ia akan melihat betapa kulit muka itu tiba-tiba menjadi pucat seperti mayat, karena ketika melihat ke dalam cawan, ternyata bahwa air di situ masih tetap putih bersih dan kmebangnya masih tetap merah! Ang-hoa Pouw-sat benar-benar tercengang dan tak tahu harus berbuat apa! Selama ia membuka praktek sebagai dewi pembersih dosa ini, belum pernah terjadi hal seaneh ini.
Sebenarnya tidak aneh, karena tadi tanpa disengaja Sui Lan telah menjatuhkan butir-butir hitam yang sengaja ditaruh di dalam kembang untuk menghitamkan air sehingga kembang juga menjadi hitam. Semua orang tidak ada yang menaruh curiga dan menyangka akan hal ini oleh karena kepercayaan mereka menganggap kembang itu sebagai barang suci dan tidak berani meain-main. Kepercayaan ini sebagian besar timbul oleh karena keajaiban-keajaiban yang dilakukan oleh Ang-hoa Sianjin.
Akan tetapi, sambil tersenyum-senyum dan memainkan sepasang matanya yang jenaka dan berseri, Sui Lan lalu berkata, “Ternyata airnya tidak berubah hitam!”
Dewi itupun cepat dapat menguasai kegugupannya, dan ia lalu berkata dengan lagaknya yang agung dan penuh kesucian sammbil mengangkat kedua lengan ke atas seakan-akan hendak memberi berkah kepada dara muda itu.
“Anakku, kau ternyata putih bersih seperti air ini dan belum mempunyai dosa! Kalau kau suka kau dapat menjadi muridku, seperti mereka ini!” Dewi itu menengok dan memandang kepada tujuh orang gadis cantik di belakangnya.
Akan tetapi, Sui Lan tak dapat menahan geli hatinya lagi dan ia berkata dengan agak keras, “Ah, setangkai bunga untuk sepuluh tail perak, sungguh amat mahal! Dan dosa-dosaku belum dibersihkan! Ah, mahal sekali!”
Ributlah semua orang mendengar seruan ini dan semua mata memandang ke arah dara muda yang kini duduk lurus-lurus di depan dewi itu. Dengan tak diketahui orang lain, Ang-hoa Sianjin Si Pendeta Pendek Gemuk tadi tahu-tahu telah berada di dekat Sang Dewi, siap menghadapi segala kemungkinan.
Hwe Lan merasa sudah cukup mengacaukan urusan Sang “Dewi”, maka ia menegur adiknya yang nakal itu, “Sui Lan, sudahlah! Mari kita pergi dari sini!”
Mendengar suara ini Ang-hoa Pouw-sat menengok dan memandang kepada Hwe Lan dan tiba-tiba matanya memancarkan cahaya berapi ketika ia memandang muka Hwe Lan. Semenjak tadi, ia memang tidak pernah melihat ke mana-mana dan baru pertama kali ini ia melihat wajah Hwe Lan.
“Kau...?” tak terasa lagi Sang Dewi berseru dan tiba-tiba ia menggerakkan tangan kirinya memukul ke arah kepala Hwe Lan yang duduknya di sebelah belakang Sui Lan dan tidak jauh dari Sang Dewi itu! Hwe Lan melihat datangnya serangan yang berbahaya dan yang kalau mengenai kepalanya dapat mendatangkan maut itu, menjadi terkejut sekali dan cepat miringkan kepala mengelak. Sedangkan Sui Lan juga tak kurang terkejutnya, berbareng marah sekali.
“Jangan berani menggangu enciku!” serunya dan cepat sekali tangannya menyambar guci yang penuh dengan air dan kembang hitam itu dan meemparkannya ke arah Ang-hoa Pouw-sat! Dewi cepat melompat mengelak, akan tetapi malang baginya karena biarpun ia dapat mengelak dari sambaran guci, akan tetapi air hitam yang muncrat keluar dari guci itu tanpa dapat dicegah lagi telah menyiram muka dan dadanya!
Karena kulit mukanya putih dilaburi bedak tebal, maka kini muka itu tersiram air hitam menjadi hitam pula seluruhnya, seperti muka setan dapur! Sui Lan yang berwatak jenaka, ketika melihat hal ini, tak dapat dicegah lagi tertawa terkekeh-kekeh saking geli hatinya.
Keadaan menjadi ribut dan para pengunjung menjadi panik dan juga marah kepad dua orang gadis yang mengacaukan dan berani menghina Pouw-sat yang mereka puja. Akan tetapi, rasa takut lebih menguasai hati mereka sehingga mereka berlari keluar dari kelenteng.
Ang-hoa Pouw-sat merasa marah sekali sehingga ia melompat berdiri dan mencabut pedang yang dibawa oleh pengiringnya, kemudian ia berseru garang kepada Ang-hoa Sianjin,
“Tangkap mereka ini!”
Sui Lan dan Hwe Lan juga telah melompat berdiri dan kini mereka membalikkan tubuh menghadapi Ang-hoa Sianjin, pendeta gemuk pendek yang mereka duga memiliki ilmu kepandaian tinggi itu. Ternyata bahwa pendeta gemuk pendek itu telah berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangannya memegang sebuah benda yang aneh. Benda ini merupakan sebuah cermin bulat terbuat dari perak, seperti piring perak yang berkilauan cahayanya sehingga menyilaukan mata karena pantulan sinar matahari sengaja ditujukan ke arah muka kedua orang gadis itu. Yang amat menarik perhatian Hwe Lan dan Sui Lan adalah semacam lonceng yang tergantung di bawah piring perak itu dan yang bergerak-gerak ke kanan kiri tasa hentinya dan mengeluarkan suara tik-tak-tik-tak! Tak terasa pula kedua orang dara ini memperhatikan benda yang bergerak ini. Sebagaimana kebiasaan para ahli silat apabila menghadapi lawan, yang menarik mereka adalah pergerakan-pergerakan karena dari pergerakan inilah munculnya serangan-serangan. Tubuh pendeta itu tidak bergerak sam sekali, dan benda satu-satunya yang bergerak adalah gantungan di bawah piring perak yang menyilaukan sinarnya itu, maka otomatis mara Hwe Lan dan Sui Lan tertuju kepada benda yang bergerak ini, demikian pula seluruh perhatian mereka.