Tiga Dara Pendekar Siauw-lim Chapter 43

NIC

Ketika pendeta gemuk pendek ini muncul, semua orang yang berada di ruang depan itu segera membungkuk dengan amat hormatnya dan tak seorangpun mengeluarkan suara sehingga keadaan menjadi sunyi. Pendeta itu mengangkat kedua tangannya ke atas seakan-akan hendak memberi berkah, kemudian terdengar suaranya yang nyaring, “Anak-anak sekalian! Ada pengumuman yang amat penting. Tadi Pouw-sat (Dewi) menerangkan kepadaku bahwa hari ini adalah hari keramat, karena hari ini tepat jatuh pada hari ulang tahun penitisan yang ke sepuluh dari Ang-hwa Pouw-sat ke dunia ini! Oleh karena itu, sebelum kalian hendak menjalankan upacara melebur dosa dan mencuci kesialan badan, terlebih dulu harus mencuci muka dengan minyak sorga. Selain dari itu, setiap orang yang hendak mencuci muka diwajibkan memberi sumbangan sebanyak sepuluh tail, sesuai dengan angka sepeluh sebagai peringatan hari penitisan kesepuluh. Uang ini dikumpulkan untuk membangun sebuah kamar peristirahatan bagi Pouw-sat di belakang kelenteng ini!”

Setelah berkata demikian, pendeta gemuk itu memberi tanda dengan tangannya dan empat orang pendeta pembantu yang berpakaian merah datang menggotong sekaleng besar minyak panas yang masih mendidih dan mengebul! Hwe Lan memandang dengan penuh perhtian karena ia tidak mengerti untuk apa gunanya minyak panas ini.

Pendeta gemuk itu berkata lagi, “Anak-anakku sekalian. Sebelum kalian mencuci muka dengan minyak surga terlebih dulu aku akan mandi dengan minyak ini, agar supaya minyak ini akan lebih bermanfaat bagi kalian!”

Sehabis berkata demikian, pendeta itu menanggalkan jubahnya, dan kini tubuhnya bagian atas telanjang, nampak tubuh yang gemuk penuh gajih itu! Ia menghampiri minyak di kaleng itu, meramkan mata dan berdoa sebentar, kemudian dengan enak kedua tangannya ia celupkan ke dalam minyak yang masih mendidih itu!

Hwe Lan memandang dengan melongo karena terheran-heran. Apalagi setelah pendeta itu menggunakan tangannya untuk menyendok minyak itu yang digunakan untuk mencuci muka, dada, dan lengannya sehingga seluruh tubuh bagian atas menjadi basah dan mengkilat karena penuh minyak! Kenapakah kulit itu tidak melepuh terkena minyak panas? Hwe Lan benar-benar tidak mengerti.

Dengan suaranya yang terdengar parah dan penuh pengaruh, pendeta itu berseru, “Siapa yang hendak menjalankan upacara cuci dosa, silakan maju dan mencuci tangan dan muka terlebih dulu!”

Lebih dari dua puluh orang berebut maju untuk mencuci tangan dan muka mereka dengan minyak panas itu! Hwe Lan merasa makin heran. Ia pernah mendengar tentang mandi minyak panas ini seperti juga tentang injak api yang sering kali dilakukan oleh penganut-penganut agama dan orang-orang yang percaya di kelenteng- kelenteng, akan tetapi baru kali ini ia menyaksikannya sehingga timbul ngeri dan heran dalam hatinya. Ia lalu bertanya perlahan kepada seorang pengunjung yang berdiri di dekatnya,

“Loheng, siapakah pendeta itu?”

Orang yang ditanyanya itu seorang laki-laki berumur kurang lebih tiga puluh tahun, memandangnya dengan heran dan menjawab. “Nona tentu datang dari luar kota maka tidak kenal siapa dia. Dia adalah Ang-hoa Sianjin, pengurus besar kelenteng ini. Dialah pembantu utama dari Ang-hoa Pouw-sat!”

“Siapa pula Ang-hoa Pouw-sat itu?”

Akan tetapi, pada saat itu, dari dalam kelenteng terdengar suara gembreng dipukul tiga kali dan perlahan-lahan terdengarlah suara nyanyian yang dinyantikan oleh banyak orang perempuan.

“Lihatlah sendiri!” kata orang itu sambil memandang ke arah pintu kelenteng dengan penuh khidmat.

Dan pada saat muili yang menutup pintu itu perlahan-lahan dibuka, semua orang yang berada di depan lalu menjatuhkan diri berlutut! Tentu saja Hwe Lan yang tidak tahu apa-apa tidak mau berlutut sehingga di antara sekian banyaknya orang itu, dia sendirilah yang tidak berlutut! Akan tetapi tidak! Bukan dia sendiri, karena di ujung kiri pekarangan itu masih ada seorang gadis lain yang berdiri! Karena semua orang berlutut dan hanya dua orang gadis itu yang berdiri, tentu saja mereka dapat saling pandang dengan mudah dan ketika Hwe Lan dan gadis itu menengok untuk saling pandang,

“Enci Hwe Lan...!” “Hai... kau, Sui Lan...?” Kedua orang gadis itu berlari-lari saling menghampiri, berpelukan, berciuman dan dari kedua mata mereka menitik keluar air mata karena girang!

“Enci Hwe Lan, kau nakal! Mengapa kau tinggalkan aku?” sambil berkata demikian, beberapa kali Sui Lan mencubit lengan encinya dengan gemas.

“Sst... aduh... nanti dulu, jangan main cubit! Lihat, ada dewi sedang turun dari sorga, jangan berisik...” Hwe Lan yang melihat betapa dari pintu itu keluar seorang yang amat aneh dan cantik sekali, segera menarik lengan adiknya untuk diajak mundur agak jauh dan duduk di bawah pohon, karena semua orang yang sedang berlutut memandang kepada mereka dengan marah ketika mereka membuat ribut tadi.

Kedua kakak beradik itu sambil saling memeluk pinggang, memandang ke depan dan melihat keanehan yang belum pernah mereka saksikan, yakni, seorang Pouw-sat dari kahyangan turun ke dunia!

Pouw-sat yang dimaksudkan dan disembah-sembah orang banyak itu adalah seorang wanita yang usianya sudah mendekati enam puluh tahun, akan tetapi karena mukanya dibedak, bibirnya dimerah, alisnya dihitam, sedangkan potongan mukanya memang cantik, maka ia nampak seperti gambar saja atau seperti orang tokoh di panggung wayang. Pakaiannya dari sutera putih yang tipis sehingga potongan tubuh yang ramping dan berisi itu nampak membayang. Pakaian itu disulam dan dihias dengan kembang-kembang merah dan rambutnya dihias dengan kembang-kembang merah yang indah pula! Dengan langkah tenang, perlahan dan agung, ia keluar dari pintu itu dan berdiri di tempat yang telah disediakan untuknya, yakni di sebuah panggung yang memakai anak tangga. Di belakang Ang-hoa Pouw-sat atau Dewi Bunga Merah ini, berjalan tujuh orang gadis-gadis cantik yang berpakaian putih-putih pula dengan kembang-kembang merah di rambut, mengikuti Sang Dewi sambil bernyanyi perlahan. Benar-benar nampak agung dan suci dewi it!

Di atas panggung telah disediakan sebuah tempat duduk yang bentuknya seperti bunga pula, terbuat daripada kayu yang dicat merah dan di atas “bunga merah” inilah Sang Dewi duduk bersila dengan agungnya, sedangkan pengikutnya, tujuh perawan itu duduk bersila di belakangnya, dengan sikap hormat. Benar-benar nampak agung dan suci karena Sang Dewi itu duduknya lurus dan matanya ditundukkan.

Kembali pendeta gemuk pendek yang disebut Ang-hoa Sianjin itu, mengangkat tangannya ke atas dan berkata,

“Ang-hoa Pouw-sat telah menerima penghormatan anak-anaknya dan hendak memberi berkahnya!” setelah berkata demikian pendeta gemuk pendek itu lalu maju berlutut di depan Ang-hoa Pouw-sat dan mengeluarkan kata-kata yang tak dimengerti oleh semua orang, karena ucapannya ini bukan bahasa manusia akan tetapi “bahasa dewa”! setelah berkata-kata aneh ini, pendeta itu lalu membuka jubahnya kembali dan memberikan sebatang pedang pendek yang berkilat saking tajam dan runcingnya.

Sang Dewi lalu menerima pedang itu dan... menusukkan ujung pedang itu do dada kiri pendeta gemuk itu! Hwe Lan dan Sui Lai saling berpegang tangan dengan takjub! Biarpun ujung pedang itu hanya masuk sedikit, cukup untuk melukai kulit dan daging dan darah mengucur keluar dari dada yang gemuk penuh daging itu. Sang Dewi lalu menggunakan jari tangannya, yakni telunjuknya, untuk dicelupkan pada darah itu dan menuliskan huruf “an” (selamat) pada sehelai kain putih! Kemudian ia lalu menundukkan matanya kembali dan bersila seperti tadi tanpa berkutik. Pendeta gemuk itu lalu mneyembah, mengambil “hu” (surat jimat) itu dan membawanya ke sebuah guci berisi air. Ia masukkan hu itu ke dalam guci dan mencelup surat jimat itu ke dalam air, mengaduk- aduknya, dan kemudian ia menggunakan sebuah sapu-sapu yang dicelupkan ke dalam air itu untuk kemudian dikebut-kebutkan ke arah semua orang yang sedang berlutut sehingga kepala semua orang terkena tetesan air keramat ini! Juga Hwe Lan dan Sui Lan yang duduk jauh di bawah pohon, terkena air keramat ini pada kepala mereka. Hal ini membuat keduanya merasa terkejut oleh karena untuk dapat memercikkan air sejauh itu, membuktikan bahwa pendeta gemuk itu sedikitnya mempunyai ilmu dan tenaga dalam yang cukup lumayan!

“Sekarang yang hendak melakukan upacara mencuci dosa harap berjajr dua puluh orang lebih, ditambah oleh beberapa orang lagi yang tadi tidak berani melakukan upacara cuci muka dengan minyak penas lalu berdiri dan berjajar di sebelah kiri.”

“Enci Hwe Lan, mari kita ikut mencuci dosa!” bisik Sui Lan. Hwe Lan memandang adiknya dengan pandangan penuh kasih sayang, dan bibirnya tersenyum. Ia telah tahu akan kenakalan adiknya ini.

“Sui Lan,” bisiknya kembali. “Dosa apakah yang telah kau perbuat selama kita berpisah?”

Merahlah wajah Sui Lan dan tangannya mencubit lagi lengan encinya. “Apakah kau sayang uang sepuluh tail? Kalau sayang, biarlah aku saja yang membayarnya!” Sui Lan teringat akan uang yang dulu ia dapat merampas dari perampok itu.

Terpaksa Hwe Lan menuruti kehendak adiknya yang nakal itu dan keduanya lalu berdiri di deret paling akhir. Seorang demi seorang, sebagian besar wanita-wanita muda yang berdiri di deretan itu, maju dan menuju ke tempat pendeta gemuk itu duduk untuk menyerahkan uang sepuluh tail dan sebagai gantinya menerima setangkai kembang merah.

Sambil bergerak maju perlahan-lahan dalam “antrian” itu, tiada hentinya Sui Lan longak-longok ke depan dan ia melihat betapa orang yang berdiri paling depan telah berjongkok di depan Sang Dewi itu. Ternyata bahwa Ang-hoa Pouw-sat itu memberi secawan air putih kepada seorang yang hendak membersihkan dosanya, kemudian bunga merah yang “dibeli” sepuluh tail perak itu dimasukkan dalam cawan. Setelah dewi itu berdoa, kedua telapak tangan orang yang berlutut di depannya itu ditutupkan ke atas cawan berisi air dan kembang itu. Sang Dewi lalu membuat gerakan-gerakan dengan kedua tangannya seakan-akan menurunkan kotoran yang berada di atas kepala orang itu mengalir turun melalui kedua lengan sampai ke tangan itu, kemudian ia menyuruh orang itu memegang cawan dengan mulut cawan masih tertutup kedua tangan dan mengocoknya keras tiga kali. Lalu ia berkata dengan suaranya yang merdu,

“Sudah dicuci bersih! Dosa-dosamu yang kotor sudah pindah ke dalam air dan kembang!”

Orang itu disuruh membuka kedua tangan yang menutup cawan ite telah berubah hitam. Bukan main senang dan puasnya hati orang itu yang kini merasa dirinya “bersih” betul-betul dan ia lalu mengundurkan diri dengan lega dan merasa bahwa pencucian dosa-dosa itu benar-benar murah, hanya sepuluh tail!

Ketika giliran Sui Lan dan Hwe Lan untuk menerima kembang merah dari Ang-hoa Sianjin dan membayar sepuluh tail, kedua orang gadis itu melihat betapa sepasang mata pendeta gemuk itu memandang dengan kurang ajar dan bibir pendeta itu yang tebal mengerikan bergulung membentuk senyum simpul! Sui Lan merasa jijik sekali dan ia menerima kembang itu yang dilihat-lihat dengan penuh perhatian. Kembang itu adalah kembang hutan biasa saja dan berwarna merah. Lain orang memegang kembang itu sebagai sesuatu yang suci, dan tidak berani main-main, akan tetapi Sui Lan dengan cara main-main melihat, mencium dan membuka-buka kembang itu.

Posting Komentar