Siang Lan duduk dengan sikapnya yang tenang sehingga semua orang menjadi kagum melihat sikap gadis muda yang gagah ini. Souw Bian Ong lalu menceritakan tentang pengalaman Hwe Lan yang telah tinggal di situ selama sebulan lebih dan baru tadi pergi keluar kota raja untuk mencari dan menyusul musuh besarnya di kota Siang-kan-bun di Propinsi Kiang-si.
“Karena kebetulan sekali waktu datangmu bersamaan dengan waktu perginya maka terjadilah hal yang lucu dan kacau balau ini,” kata Pangeran Souw Bun Ong. “Sebelum aku melanjutkan pembukaan rahasia yang kusebutkan tadi biarlah The-hiante ini menceritakan dulu kepadamu tentang pertemuannya dengan adikmu yang bungsu, sebagaimana yang telah ia tuturkan kepada kami!”
Dengan girang Siang Lan memandang pemuda baju putih yang tampan dan lincah itu untuk mendengarkan penuturannya tentang keadaan Sui Lan. Pemuda ini menuturkan pengalamannya dan pertemuannya dengan Sui Lan, dan menutup penuturannya dengan ucapan yang mengejutkan hati Siang Lan,
“Hubungan kami yang baik sebagai dua orang sahabat akhirnya pecah ketika Sui Lan menyatakan bahwa ia hendak membalas sakit hatinya terhadap seorang perwira bernama Lee yang tinggal di kota raja, karena perwira itu, yang nama lengkapnya Lee Song Kang, bukan lain adalah Pamanku sendiri! Kami berselisikh dan bahkan telah bertempur!”
Mendengar penuturan sampai di sini, tiba-tiba sepasang mata Siang Lan yang indah itu memancarkan cahaya berapi-api yang mengingatkan Cong Hwi kepada sepasang mata Hwe Lan. Melihat hal ini cepat-cepat Sin Liong melanjutkan penuturannya, “Maaf, harap kau jangan tersinggung dan marah, nona! Biarpun kami bertempur, akan tetapi pertempuran itu tidak kami lanjutkan dan kami lalu berpisah. Aku cepat-cepat menuju ke kota raja hendak mencari Pamanku itu yang terancam bahaya karena aku mendengar dari Sui Lan bahwa selain dia, masih ada dua orang encinya yang hendak membalas dendam pula! Ternyata setibaku di sini, Pamanku itu telah pindah ke daerah Kiang-si. Dalam gugupku yang disertai kekhawatiran, aku lalu singgah di rumah suhengku ini yang belum tahu bahwa aku adalah keponakan perwira Lee Song Kang itu. Alangkah kagetku ketika aku mendengar dari orang tua suhengku ini tentang rahasia yang hebat itu!” pemuda ini lalu diam karena penuturannya telah habis.
“Nona,” Cong Hwi, “setelah mendengar penuturan suteku ini, dan melihat adanya rahasia yang akan dituturkan nanti oleh ayahku, aku ajak sute menyusul Hwe Lan, akan tetapi kami tidak berjumpa dengan Hwe Lan, sebaliknya bertemu dengan kau yang kami kira Hwe Lan.”
Siang Lan mendengarkan semua penuturan ini dengan penuh perhatian, kemudian ia memandang kepada Pangeran Souw Bun Ong untuk mendengarkan uraian pangeran itu tentang adanya rahasia yang disebutnya hebat itu.
Melihat sikap gadis ini yang amat tenang dan jauh lebih matang apabila dibandingkan dengan Hwe Lan, Nyonya Souw merasa amat tertarik dan juga kasihan, maka ia lalu duduk mendekati gadis itu dan menepuk- nepuk lengannya. Siang Lan juga merasa bahwa nyonya pangeran ini berhati mulia, maka ia memandang dengna tersenyum dan hormat.
“Nona, dengarlah penuturanku dengan hati tenteram,” Pangeran Souw Bun Ong mulai dengan kata-katanya. “Tadinya kami semua sedikitpun tak pernah menduga akan adanya hal yang amat rahasia ini. Setelah The- hiante ini datang dan mendengar penuturannya, kami lalu berpikir-pikir dan menggabung-gabungkan segala penuturan adikmu Sui Lan yang dituturkannya kepada The-hiante, dan juga penuturan adikmu Hwe Lan yang diceritakannya kepada Cong Hwi, maka timbullah dugaan kami yang membuat hati kami berdebar, terutama setelah mendengar bahwa kau tiga kakak beradik hendak membalas dendam kepada Lee-ciangkun. Karena masih penasaran, kami sore tadi setelah adikmu berangkat, yakni Hwe Lan yang menyamar sebagai laki-laki dan tak lama kemudian The-hiante datang, lalu kami bertanya kepada pembesar yang mengetahui betul akan hal ini dan ternyata bahwa dugaan kami cocok!”
Siang Lan mengerutkan keningnya. Semua ucapan itu sama sekali tidak dimengerti olehnya, akan tetapi karena memang ia berwatak sabar dan tenang, ia hanya mendengarkan dengan penuh perhatian. Agaknya sukar sekali bagi Pangeran Souw untuk menceritakan atau membuka rahasia itu, ia berdehem-dehem dengan gagap. Isterinya merasa kasihan kepadanya dan berkata,
“Biarlah aku yang melanjutkan cerita ini,” katanya. Suaminya mengangguk dan memandang kepada isterinya dengan pernyataan terima kasih, lalu meneguk araknya, sedangkan Pat-jiu Sin-kai dengan tenang mendengarkan juga sambil kadang-kadang minum araknya.
“Sebelum aku melanjutkan cerita ini,” Nyonya Souw mulai dengan keterangannya, “lebih dulu harap kau suka menerangkan dengan sejelasnya, nona, karena penuturan kedua adikmu dulu juga sambil lalu saja dan tidak begitu jelas. Kau yang tertua dan kau yang agaknya paling tenang dan cerdik di antara ketiganya. Bagaimanakah kau dulu bertemu dengan Nyo Hun Tiong dan apakah kau sama sekali tidak ingat akan orang tuamu?”
Biarpun hatinya berdebar dan merasa tidak enak, akan tetapi dengan memusatkan pikiran dan dengan suara tenang, Siang Lan menjawab,
“Telah lama hal itupun kami ingat-ingat, akan tetapi kami tak dapat mengingatnya lagi. Kami hanya tahu bahwa pada saat pendekar Nyo Hun Tiong terkena anak panah yang menewaskannya, kami bertiga berada bersama dia, dan kemudian kami ditolong oleh ayah angkat kami Yap Sian Houw yang kemudian mejadi guru kami.” Dengan singkat Siang Lan lalu menceritakan pengalamannya sampai ia dan adik-adiknya diangkat murid oleh Toat-beng Sian-kouw.
Pangeran Souw dan isterinya saling pandang dan mengangguk-angguk.
“Tidak salah, memang betul sekali dugaan kami,” kata nyonya itu setelah mendengar penuturan Siang Lan. “Dengarlah baik-baik, nak. Dulu, setelah Siauw-lim-si dibasmi dan kelentengnya dibakar, masih banyak anak muridnya yang berhasil melarikan diri. Seorang di antara mereka adalah Nyo Hun Tiong itu yang agaknya menaruh hati dendam kepada semua perwira kerajaan, maka sering kali ia memimpin kawan-kawannya dan orang-orang tani untuk melakukan pemberontakan dan terutama sekali ia berusaha membunuh sebanyak mungkin perwira-perwira kerajaan. Pada suatu hari, ia berhasil menyerbu kota raja dan selain membunuh dan membakar, ia juga menculik tiga orang anak perempuan seorang perwira kerajaan. Perwira itu mengejarnya dan akhirnya dapat melukainya, akan tetapi Nyo Hun Tiong masih berhasil melarikan diri bersama tiga orang anak perwira itu. Perwira itu kemudian pulang dengan sedih dan keadaannya hampir gila karena kehilangan ketiga orang puterinya itu.” Mulai pucatlah wajah Siang Lan mendengar ini, akan tetapi ia masih dapat menenteramkan pikiran dan memandang kepada nyonya pangeran itu dengan mata tidak pernah berkedip.
“Nona, nama dati ketiga orang anak perempuan itu ialah Siang Lan, Hwe Lan dan Sui Lan dan perwira itu...”
“Siapakah dia...?” tanpa disadarinya lagi Siang Lan bangun bergiri dan memandang dengan muka pucat. “Siapa perwira... ayahku itu...?”
Dengan air mata berlinang saking terharunya, Nyonya Souw berkata perlahan, “Perwira itu bernama Lee Song Kang... ayahmu sendiri yang kini hendak kau cari dan kau bunuh!”
“Ayah...?” tubuh gadis itu menjadi limbung dan lemas, ia jatuh ke dalam pelukan Nyonya Souw dalam keadaan pingsan!
Hwe Lan yang berhasil lari keluar dari kota raja atas pertolongan pengemis tua yang masih belum diketahuinya siapa adanya itu, cepat berlri menuju ke selatan, memutari tembok kota. Di tengah jalan ia melihat seorang penunggang kuda dan ketika penunggang kuda itu sudah dekat, ia melihat bahwa orang itu berpakaian seperti penjaga. Cepat gadis itu merogoh kantung di sebelah kanan dan mengeluarkan tiga butir thi-lian-ci. Sekali tangannya bergerak, orang di atas kuda itu berteriak dan roboh terguling dari atas kudanya. Hwe Lan cepat melompat dan menunggang kuda itu, dan terus membalapkan kudanya dengan secepatnya.
Pada keesokan harinya, ketika tiba di dalam sebuah hutan, ia menanggalkan pakaian pemuda itu dan menggantikan dengan pakaiannya sendiri. Memang ia tidak senang untuk menyamar, tidak sesuai dengan wataknya yang pemberani dan jujur. Setelah berganti pakaian biasa Hwe Lan merasa lebih senang dan enak, lalu menjalankan kudanya lagi menuju ke Kiang-si, untuk mencari musuh besarnya di kota Siang-kan-bun.
Beberapa hari kemudian, Hwe Lan tiba di sebuah kota. Tadinya ia hendak melanjutkan saja perjalanannya, karena ia telah mulai menginjak Propinsi Kiang-si dan kota Siang-kan-bun tidak jauh lagi, akan tetapi tiba-tiba ia melihat orang berbondong-bondong menuju ke satu jurusan, sehingga hatinya tertarik sekali dan sambil menuntun kudanya yang telah lelah itu, ia mengikuti rombongan orang-orang itu, ingin tahu apakah yang mereka hendak lakukan.
Rombongan orang-orang itu ternyata menuju ke sebuah kelenteng besar yang bercat merah. Melihat semua orang memasuki pekarangan kelenteng yang telah penuh dengan orang itu, Hwe Lan lalu menambatkan kudanya pada sebaang pohon dan ikut masuk pula. Ia melihat bahwa keadaan kelenteng itu aneh sekali. Sungguhpun semua patung dewa masih berdiri di tempat masing-masing seperti di kelenteng-kelenteng lain, akan tetapi dewa-dewa di kelenteng ini agaknya suka akan warna merah karena mereka semua dicat merah pakaiannya! Juga dindingnya bergambarkan bunga-bunga merah uang bentuknya aneh, mirip bunga lian-hwa (teratai) dan juga mirip bunga bwe! Di depan pintu kelenteng itu tergantung papan yang ditulis dengan huruf- huruf merah besar dan berbunyi: SORGA DARI ANG-HOA-KAUW (Agama Bunga Merah). Melihat betapai lian- lian yang tergantung di situ terbuat dari sutera-sutera indah, maka dapat diduga bahwa kelenteng ini mempunyai banyak penyumbang dan keadaannya mewah sekali. Nampak di situ para penjaga dan pelayan yang berpakaian seperti jubah pendeta, akan tetapi jubah itupun berwarna merah dan rambut para pendeta itu panjang terurai, dihias dengan setangkai kembang warna merah di atas kepala!
Keadaan ini benar-benar menimbulkan keheranan besar dalam hati Hwe Lan, maka ia maju lebih dekat dan memperhatikan keadaan di situ. Tak lama kemudian, dari dalam pintu sebelah dalam, keluarlah seorang pendeta yang bertubuh gemuk pendek, bermuka bundar dan bermata liar. Pendeta ini kepalanya juga berambut, akan tetapi hanya sampai sebatas leher dan rambutnya jarang pula, akan tetapi di atas kepalanya penuh dengan bunga-bunga merah sehingga kepalanya seakan-akan berambut merah. Jubahnya amat indah dihiaa kembang-kembang dari sulaman benang merah yang mengikat celananya warna biru dan sepatunya masih baru. Ikat pinggangnya terbuat dari emas, pendeknya pendeta ini amat indah dan mewah pakaiannya, bagaikan seorang pembesar tinggi saja.