Pat-jiu Sin-kai cepat mengelak dan membalas dengan serangan tongkatnya yang biarpun kecil, akan tetapi digerakkan secara tepat dan istimewa kuatnya. Pertempuran hebat terjadi antara dua orang tokoh persilatan kalangan atas yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini. Gerakan mereka sedemikian cepat dan kuat, sehingga tidak saja tubuh mereka hanya merupakan bayang-bayang bagaikan dua setan sedang bertempur, akan tetapi juga debu-debu beterbangan tinggi dan angin pukulan mereka membuat pakaian para Kim-i-wi yang berdiri mengelilingi pertempuran itu menjadi berkibar seperti tertiup angin!
Tak seorangpun dari Kim-i-wi berani maju mengeroyok, karena mereka maklum bahwa kepandaian mereka masih terlampau rendah dan kalau mereka baju, tidak saja mereka mencari celaka sendiri, akan tetapi mereka bahkan akan merupakan gangguan bagi Wai Ong Koksu. Maka mereka hanya menonton sambil membantu Wai Ong Koksu dengan suara saja.
Pertandingan itu benar-benar hebat dan ramai sekali, dan ternyata bahwa keadaan mereka seimbang, sungguhpun harus diakui bahwa pengemis itu hanya berkelahi dengan tertawa-tawa seperti orang main-main saja, sedangkan Wai Ong Koksu berkelahi dengan bernafsu sekali. Setelah bertempur lima puluh jurus lebih, kedua mata Wai Ong Koksu mulai berkunang karena ia harus mengakui bahwa dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh), kakek pengemis itu tingkatnya masih lebih tinggi darinya dan gerakannya benar-benar cepat sekali. Terutama sekali karena tongkat yang dimainkan oleh kakek pengemis itu jauh lebih kecil dan ringan, maka tentu saja sambarannya lebih cepat dari tongkatnya yang besar dan berat. Pantas saja kakek itu dijuluki Pengemis Sakti Bertangan Delapan, karena tongkat kecil yang bergerak-gerak bagaikan ular menyambar-nyambar itu seakan-akan dimainkan oleh delapan tangan, demikian cepatnya melakukan serangan-serangan yang seakan-akan mengurung seluruh tubuhnya! Untuk menghadapi desakan Pat-jiu Sin-kai, Wai Ong Koksu lalu memainkan tongkatnya dengan ilmu toya Hok- liong-kun-hwat (Ilmu Toya Penakluk Naga) dan tongkatnya bergerak-gerak dengan keras, berputar-putar menutup tubuhnya merupakan benteng baja yang kuat sekali. Andai kata orang yang menyiramnya dengan air, maka air itu hanya dapat mendekati tubuhnya kira-kira tiga kaki saja dan segera akan terpental karena benturan toyanya!
Tiba-tiba Pat-jiu Sin-kai tertawa gembira melihat ilmu toya lawannya ini dan gerakannya makin cepat, sehingga tongkat kecil di tangannya dapat menerobos di antara pertahanan pendeta gundul itu. Tiba-tiba, dengan gerak pukulan Ang-liong-chut-tong (Naga Merah Keluar Gua), tongkat kecil itu dapat menerobos masuk di antara bayangan tongkat besar dan ‘bret!’ jubah Wai Ong Koksu di bagian dada terkena ujung tongkat dan robek!
Pat-jiu Sin-kai tertawa lagi dan melompat ke atas sambil berseru, “Cukup, Wai Ong! Cukup kenyang kita main-main!”
Akan tetapi Wai Ong Koksu yang merasa penasaran, malu, dan marah sekali, menyabetkan tongkatnya ke arah tubuh lawannya yang masih berada di atas dengan gerak tipu Leng-kong-sauw-goat (Di Tengah Udara Menyapu Bulan). Hebat sekali gerakan ini dan agaknya pinggang kakek pengemis itu akan terpukul tongkat. Kalau hal ini terjadi biarpun pinggang itu tidak akan terpotong menjadi dua setidaknya semua tulang di bagian pinggang itu akan patah-patah.
Ternyata bahwa Pat-jiu Sin-kai benar-benar hebat sekali ilmu gin-kangnya, dalam keadaan berbahaya itu, ia dapat menarik kedua kakinya ke atas, berjungkir balik dan ketika tongkat Wai Ong Koksu menyambar di bawah kakinya yang telah turun lagi, ia menotolkan kaki di atas ujung tongkat itu dan sambil berseru keras sekali ia meminjam tenaga sabetan tongkat itu untuk melayangkan tubuhnya, langsung naik ke atas genteng rumah dan menghilang di tempat gelap. Hanya gema suara ketawanya saja yang masih terdengar sayup-sayup.
Wai Ong Koksu merasa marah sekali karena gadis yang dikejarnya tadi telah lama pergi dan tak mungkin dapat ditangkap lagi karena tidak tahu ke mana perginya, sedangkan di luar tembok kota keadaan demikian gelap. Ia memeriksa padanya dan dengan terkejut ia mendapat kenyataan betapa bajunya telah berlubang dan ia maklum kalau kakek pengemis itu berlaku kejam, mungkin nyawanya telah melayang!
Sementara itu, di atas genteng sebuah gedung yang tinggi, terjadi lain pertempuran yang tidak kalah hebatnya, yakni pertempuran antara Siang Lan yang dikeroyok oleh para perwira Kim-i-wi di bawah pimpinan Gui Kok Houw!
Karena mata-matanya telah tersebar di mana-mana, maka dengan mudah Gui Kok Houw dapat mengetahui di mana gadis yang dikejar-kejarnya tadi menginap dan ia telah bersiap sedia mengepung tempat itu. Demikianlah, ketika Siang Lan melompat naik ke atas genteng untuk melakukan penyelidikan dan mencari tempat tinggal musuh besarnya, yakni perwira Lee, dan baru saja gadis ini melompat ke atas sebuah bangunan besar dan tinggi, tiba-tiba dari empat penjuru muncul perwira-perwira Kim-i-wi yang dipimpin oleh Gui Kok Houw!
“Ha-ha-ha! Pemberontak perempuan hendak lari ke manakah kau?” perwira tinggi besar bermuka kuning itu berkata sambil memutar-mutar tiga bolanya dengan hebat, dibantu oleh perwira-perwira Kim-i-wi yang jumlahnya tidak kurang dari sepuluh orang!
Hal ini sungguh di luar dugaan Siang Lan. Tidak ada lain jalan baginya, selain melawan mati-matian. Ia putar pedangnya tanpa berkata sesuatu dan sebentar kemudian di atas wuwungan genteng itu terjadilah pertempuran yang hebat sekali. Sedangkan menghadapi Gui Kok Houw, seorang lawan seorang saja sudah merupakan lawan berat, apalagi kini perwira Gui itu dibantu oleh sembilan orang kawan-kawannya yang memiliki kepandaian lumayan, maka paerlahan-lahan Siang Lan mulai terdesak dan hanya dapat menangkis sambil mempergunakan gin-kangnya untuk mempertahankan diri.
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Siang Lan, tiba-tiba berkelebat dua bayangan orang, dan terdengar suara nyaring, “Nona, jangan takut, aku datang membantumu!” Dua bayangan itu adalah dua orang pemuda, yang seorang berbaju serba putih dan berwajah tampan dengan sepasang mata yang berseri, sedangkan orang kedua kelihatannya juga seorang muda, akan tetapi mukanya memakai kedok saputangan sutera biru sehingga tidak dapat dikenal siapakah sebenarnya orang ini. Akan tetapi, ketika datang tadi, yang mengeluarkan ucapan itu adalah Si Kedok Biru ini, seakan-akan hendak memperkenalkan suaranya kepada Siang Lan. Akan tetapi Siang Lan tentu saja sama sekali tidak mengenal suara ini, karena belum pernah ia bertemu dengan orang berkedok biru. Hanya Si Pemuda Baju Putih serasa pernah melihatnya, akan tetapi ia lupa lagi entah di mana.
Datangnya dua orang muda ini membuat kepungan para Kim-i-wi menjadi kocar-kacir! Begitu pedang dua orang ini berkelebat, maka cepat sekali para Kim-i-wi yang kini terpecah menjadi tiga bagian, terdesak hebat dan tak lama kemudian terdengar suara mereka berteriak kesakitan dan terpentalnya beberapa batang pedang dan golok! Kepandaian kedua orang muda itu lihai sekali dan agaknya tidak di sebelah bawah kepandaian Siang Lan atau Gui Kok Houw, maka begitu mereka menyerbu, para Kim-i-wi tidak berdaya dan dapat dipukul mundur.
Dengan datangnya bantuan ini, bangkit pula semangat Siang Lan dengan cepat pedangnya membuat serangan yang hebat. Terdengar pekik ngeri dan seorang Kim-i-wi yang masih mengeroyoknya kena cium ujung pedangnya pada pipinya sehingga kulit pipi itu robek dan darah mengalir membasahi mukanya! Siang Lan mendesak lagi dan kembali seorang Kim-i-wi terluka tangannya yang memegang golok sehingga goloknya terlepas dan orangnya cepat melompat mundur. Karena para Kim-i-wi yang lain harus menghadapi dua orang pemuda itu, maka kini menyerang Siang Lan tinggal Gui Kok Houw sendiri dan kembali kedua orang ini melanjutkan pertandingan mereka yang dilakukan siang tadi di luar tembok kota!
Dengan amat cepatnya, kedua orang pemuda itu telah berhasil memukul mundur semua Kim-i-wi dan kini mereka menyerbu dan mengeroyok Gui Kok Houw. Tentu saja perwira ini tidak kuat menghadapi tiga orang lawannya yang lihai itu dan dengan mengeluarkan suara keras, ketika tiga pedang dari tiga orang muda itu bergerak, bola-bola bajanya sebanyak tiga buah itu mencelat karena rantainya terbabat putus dan jatuh di atas genteng. Terpaksa Gui Kok Houw melompat turun dari atas genteng dengan keringat dingin mengucur di jidatnya!
Siang Lan hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang oleh pemuda yang berkedok itu sambil berbisik,
“Hwe Lan... jangan kejar dia! Lihat Wai Ong Koksu datang!” benar ssaja, dari jauh nampak datang perwira- perwira Kim-i-wi yang dipimpin oleh pendeta gundul itu!
“Mari, Hwe Lan! Mari kita pergi cepat-cepat!” si Topeng Biru itu lalu menarik tangan Siang Lan dan ketiganya melompat jauh, dan menghilang di dalam gelap, menuju ke gedung pangeran Souw Bun Ong! Pemuda berkedok itu bukan lain adalah Souw Cong Hwi sendiri, sedangkan pemuda baju putih itu adalah The Sin Liong, sute dari Souw Cong Hwi. Kedua orang muda ini adalah murid-murid dari Pat-jiu Sin-kai Kwee Sin!
Bagaikan mimpi, Siang Lan menurut saja dibawa ke dalam gedung. Hatinya berdebar keras karena ia maklum bahwa pemuda ini tentu menyangka dia Hwe Lan! Apakah adiknya itu telah berada di kota raja?
Setelah tiba di gedungnya, Souw Cong Hwi lalu membuka kedoknya dan Siang Lan melihat seorang pemuda yang tampan dan gagah sekali. ketika ketiganya melompat turun dan memasuki gedung itu dari pintu belakang terus ke ruang dalam mereka melihat bahwa di dalam ruang itu, selain terdapat Pangeran Souw Bun Ong dan isterinya, juga terdapat Si Pengemis Tua Pat-jiu Sin-kai duduk di atas sebuah bangku sambil minum arak!
Nyonya Souw memandang kepada Siang Lan dengan heran, kemudian maju memeluknya sambil berkata,
“Hwe Lan... kau sungguh membikin hatiku khawatir sekali!” kemudian ia melihat pakaian Siang Lan dan menjadi semakin heran. “Hwe Lan, kau berangkat dengan pakaian laki-laki, akan tetapi mengapa sekarang telah berganti pakaian lagi? Dan kau... kau agak berubah! Apakah yang terjadi denganmu?”
Juga Pangeran Souw Bian Ong memandang dengan mata terbelalak heran, sedangkan Souw Cong Hwi melangkah maju dan menatap wajah gadis itu dengan penuh perhatian. “Aneh... aneh...!” tiba-tiba pengemis tua itu berkata sambil menunda minum araknya. “Nona yang baik!” katanya kepada Siang Lan sambil memandang dengan wajah lucu. “Ketika kau menjamu arak padaku dan kawan-kawanku kau berpakaian seperti ini, akan tetapi tadi kau berlari keluar dari pintu gerbang kota menyamar sebagai laki-laki, mengapa sekarang kau muncul lagi dalam pakaian seperti ini pula? Aneh, aneh! Kau selain budiman, juga ajaib sekali!”
Sementara itu, The Sin Liong juga berkata, “Aah... aku ingat sekarang! Kau pernah bertemu dengan aku di dalam hutan itu, betul tidak, nona?”
Siang Lan tersenyum dengan tenang dan sabar. Ia maklum bahwa kekacauan ini disebabkan oleh persamaannya dengan Hwe Lan dan orang telah salah lihat dan tak dapat membedakan antara dia dan Hwe Lan, adiknya itu. Maka ia diam-diam menjadi geli sekali.
“Kalian telah salah lihat! Yang bernama Hwe Lan itu adalah adikku, namaku adalah Siang Lan! Memang kami serupa dan sebentuk.”
Semua orang menjadi bengong, dan tiba-tiba Sin Liong melompat ke atas. “Aha, kalau begitu, kau adalah enci dari Sui Lan!”
“Di mana dia?” Siang Lan bertanya girang. “Di mana adanya Sui Lan dan di mana adanya Hwe Lan?”
“Duduklah, nona,” terdengar Pangeran Souw Bun Ong berkata dengan suaranya yang tenang. “Banyak sekali hal-hal yang ruwet perlu dijelaskan dalam urusan yang ruwet ini. Bahkan ada sebuah hal lagi yang amat penting, yang agaknya akan membuka rahasia yang selama ini menggegerkan orang, dan mungkin sekali kenyataan terbukanya rahasia ini akan merupakan berita yang amat tak terduga olehmu.”