Tiga Dara Pendekar Siauw-lim Chapter 38

NIC

“Tunggu, Sui Lan~” Sin Liong cepat mengelak. “Tadi aku tidak tahu bahwa orang yang hendak kau bunuh itu adalah pamanku sendiri! Katakanlah bahwa kau hendak memusuhi perwira lain, jangankan baru seorang, biarpun seluruh Kim-i-wi dari kerajaan, akan kubantu dan kubela kau! Akan tetapi jangan dia, jangan perwira Lee Song Kang, jangan pamanku!”

“Pengecut! Tak usah banyak cakap. Lihat pedangku!” Sui Lan menyerang lagi dengan sengit dan dalam pandangan matanya, kini pemuda itu telah berubah menjadi musuh besarnya yang harus dibunuh!

Terpaksa Sin Liong menangkis dan dengan hati sedih pemuda itu melayani Sui Lan bertanding pedang. Mereka sama lincah, sama cepat dan ilmu pedang mereka sama kuatnya sehingga pertempuran itu benar- benar hebat dan sengit sekali. Pedang mereka berkelebat menyambar-nyambar, tubuh mereka lenyap dan selimutan sinar pedang, dan dibawah sinar bulan purnama, mereka kelihatan bagaikan dua ekor ular bersayap yang beterbangan dan bermain-main di alam mega-mega putih!

Lima puluh jurus telah lewat, enam puluh, tujuh puluh, seratus jurus! Dan mereka masih saja bertanding mati- matian, tidak ada yang mau mengalah! Sebetulnya pedang yang digunakan oleh Sin Liong adalah sebatang pedang pusaka dan kalau ia mau dan sengaja hendak mengadu kekuatan senjata, dengan mudah ia akan dapat membikin patah pedang Siu Lan. Akan tetapi Sin Liong tidak mau melakukan hal ini dan ia hanya mengimbangi serangan gadis itu dengan ilmu pedangnya pula.

Tipu dibalas tipu, tenaga dilawan tenaga dan mereka telah mengerahkan seluruh kepandaian mereka, akan tetapi benar-benar mereka sama kuat. Sui Lan merasa kecewa, menyesal, sedih dan juga marah sekali sehingga hilanglah kesabarannya. Ia berseru keras dan tiba-tiba ia menyerang dengan gerakan yang nekat. Dengan gerak tipu Sian-jin-tit-lou (Dewa Menunjuk Jalan) ia menusuk ke arah dada lawannya yang dilakukan dengan tenaga penuh dan cepat sekali. Sin Liong merasa terkejut melihat serangan ini dan dengan membuang diri ke samping barulah ia terhindar dari tusukan ini dan secepat kilat ia menyabetkan pedangnya dari atas. Terdengar bunyi ‘traaaang!’ yang nyaring sekali dan pedang Sui Lan terlepas dari pegangan dan menancap ke atas tanah!

Bukan main malu dan gemasnya hati Sui Lan. Ia pandang muka pemuda itu dengan penuh kebencian, sepasang matanya mulai meneteskan air mata. Sedangkan Sin Liong yang melihat ini, tiba-tiba hatinya menjadi lemah.

“Sui Lan...maafkan aku...Sui Lan! Akan tetapi, Sui Lan tiba-tiba mencabut pedangnya kembali dan mengirim bacokan ke arah lehernya! Pada saat itu Sin Liong sedang merasa terharu sekali dan sedih maka kewaspadaannya berkurang dan tubuhnya juga terasa lemah, maka ia tidak keburu menangkis atau mengelak. Agaknya lehernya akan putus karena sabetan itu. Akan tetapi melihat wajah pemuda itu, kebencian yang tadi membayang di mata Sui Lan tiba-tiba lenyap bagaikan awan tersapu dengan angin dan ia menahan pedangnya yang telah meluncur ke arah leher. Namun terlambat, karena ujung pedangnya masih saja menyerempet pundak Sin Liong hingga kulit pundak itu terluka, dan robek berikut bajunya. Darah merah mulai membasahi pakaian Sin Liong!

“Ah...!” Sui Lan berseru terkejut dan wajahnya menjadi makin pucat. Akan tetapi ia melihat pemuda itu tetap tersenyum memandangnya, sedikit pun tidak menjadi marah.

“Sui Lan, akan kau teruskankah pertempuran gila ini? Aku tidak! Kalau kau merasa penasaran, tusukkanlah pedangmu pada dadaku, aku takkan melawan! Lebih baik kau bunuh dulu aku sebelum kau bunuh pamanku!”

Akan tetapi, sebagai jawaban, Sui Lan hanya menangis terisak-isak menutupi mukanya dan air mata mengalir di antara celah-celah jari tangannya.

“Sui Lan...” Sin Liong melangkah maju hendak memeluk gadis itu, akan tetapi tiba-tiba Sui Lan mengelak dan melompat pergi, terus berlari cepat sambil menangis! Sin Liong hanya menarik napas panjang.

Sin Liong yang berpisah dari Sui Lan melanjutkan perjalanannya ke kota raja dengan hati sedih, sedangkan Sui Lan yang merasa bingung itu melanjutkan perjalanannya dengan berlari cepat dan tidak mau bertanya kepada orang-orang di jalan, sehingga akibatnya ia tersasar. Ia berada di Propinsi Ho-nan dan menurut petunjuk gurunya, seharusnya ia pergi ke kota raja melalui Propinsi San-tung yang berada di timur laut, akan tetapi tanpa diketahuinya ketika melalui persimpangan jalan, ia mengambil jalan yang membelok ke selatan sehingga ia memasuki Propinsi Kiang-si! Setelah beberapa pekan kemudian ia tiba di kota Nam-kang barulah ia tahu bahwa ia telah tersasar ke selatan, padahal ia pergi ke utara!

Oleh karena sudah kepalang, maka Sui Lan lalu mengambil keputusan untuk berpesiar dulu di daerah yang cukup indah itu untuk menghibur hatinya yang merasa kecewa dan berduka semenjak perpisahannya dengan Sin Liong. Ia harus mengakui di dalam hatinya bahwa setelah berpisah ia melakukan perjalanan seorang diri yang paling tidak enak dan jauh berbeda dari perjalanan yang ia lakukan dengan pemuda itu. Kalau tadinya ia bergembira-ria dan merasa bahagia sekali, kini ia merasa patah hati.

Tentu saja ia tidak pernah menyangka bahwa musuh besarnya yang ia cari-cari yakni perwira she Lee itu, kini telah pindah ke kota Siang-kan-bun di Propinsi Kiang-si, tidak jauh letaknya dari tempat di mana ia berada, yakni di Nam-kang. Dan lebih-lebih ia tak pernha mengira bahwa kedua encinya juga sedang menuju ke Kiang- si dengan cepat, datang dari kota raja. Tidak tahu pula bahwa selain kedua orang encinya, terdapat beberapa orang lagi menuju ke selatan, dan di antaranya terdapat Sin Liong!

Untuk beberapa hari lamanya, sampai hampir sebulan, Sui Lan berputar di daerah Kiang-si, dan nafsunya untuk mencari musuh besarnya di kota raja banyak mengurang. Ia merasa ragu-ragu untuk pergi ke kota raja dan mencari perwira she Lee itu, karena segan kalau-kalau ia harus bertanding melawan Sin Liong! Ia sama sekali tidak merasa takut menghadapi Sin Liong, hanya segan, karena ia maklum bahwa baik Sin Liong, maupun dia sendiri, takkan sampai hati untuk saling melukai apalagi membunuh!

Kita tinggalkan dulu Sui Lan yang sedang bimbang ragu dan berputar-putar di sekitar daerah Kiang-si tanpa tujuan, akan tetapi yang kebetulan sekali membawanya makin dekat dengan tempat tinggal musuh besarnya itu! Kita sekarang menengok perjalanan Siang Lan yang telah lama kita tinggalkan. Semenjak perpisahannya dengan kedua orang adiknya, Siang Lan melanjutkan perjalanan dengan cepatnya, sesuai dengan kehendak suhunya, yakni melalui Propinsi Syen-si, Ho-pai, Ho-nan, San-tung, dan akhirnya ia sampai di kota raja. Di sepanjang jalan, pengalamannya bertempur dengan Ang-hoa Siang-mo dan bantuan yang ia dapatkan dari pemuda yang amat menarik hati, Kui Hong An anak murid Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi itu, selalu terbayang di muka matanya. Ia tak dapat melupakan Hong An dan diam-diam ia mengharapkan perjumpaannya kembali dengan pemuda itu.

Ketika Siang Lan tiba di luar tembok kota raja, ia mengalami hal yang amat mengherankan hatinya. Hari itu amat panas dan sinar matahari amat teriknya. Di luar gerbang kota raja, terdapat seorang penjual arak dan teh di pinggir jalan dan dagangannya ini laris manis sekali oleh karena setiap orang yang keluar maupun memasuki pintu gerbang itu merasa haus dan berhenti sebentar di tempat itu untuk membasahi kerongkongan. Siang Lan juga merasa haus dan lelah, maka ia pun berhenti di situ, mengambil tempat duduk di atas sebuah bangku bambu memesan teh.

Di tempat itu hanya terdapat tamu-tamu lelaki dan semua mata memandang ke arah gadis yang amat cantik jelita ini dengan sinar mata menyatakan kagum dan gairah, sungguhpun mereka tidak berani memandang secara langsung oleh karena gagang pedang yang tersembul di belakang punggung Siang Lan itu memperingatkan mereka bahwa gadis ini bukanlah gadis yang boleh diganggu secara sembarangan saja. Akan tetapi Siang Lan sama sekali tidak memperhatikan mereka dan ketika pelayan datang mengantarkan air teh yang dipesannya, ia minum menghilangkan hausnya.

Selain orang-orang yang terdiri dari pedang, pelancong dan pengembara yang berada di tempat itu, juga terdapat pula belasan orang tentara penjaga, dan juga beberapa orang pengemis yang berdiri atau duduk di atas lantai di luar warung. Ketika para penjaga itu melihat Siang Lan, terjadilah hal yang aneh. Mata mereka jelalatan seperti melihat setan di tengah hari, bahkan mereka yang baru minum segera menunda minumnya. Seorang demi seorang, para penjaga itu meninggalkan bangkunya dan pergi dari situ seperti orang ketakutan! Hal ini tentu saja diketahui oleh Siang Lan yang merasa heran, akan tetapi dia diam saja, hanya berlaku hati- hati dan waspada, karena ia selalu tidak menaruh kepercayaan kepada tentara kerajaan. Juga para tamu yang berada di situ dapat melihat sikap para penjaga ini, maka kini pandangan mereka terhadap Siang Lan mengandung keseganan dan ketakutan.

Pada saat itu, seorang di antara para pengemis yang berada di luar warung, berseru, “Pada saat makan dan minum, teringat kepada orang-orang yang lapar dan haus, barulah disebut orang budiman. Siapakah di antara orang di sini yang berhati budiman?”

Pengemis itu berulang-ulang mengucapkan kata-kata ini sehingga para tamu memandangnya sambil tersenyum dan menganggapnya orang gila, akan tetapi tak seorangpun yang mau meladeninya. Sebaliknya, Siang Lan merasa kasihan ketika melihat bahwa yang bicara itu adalah seorang pengemis tua yang kurus kering dan rambut kepalanya botak.

“Lopeh (Uwa Tua),” katanya dengan halus, “biarpun aku bukan seorang budiman, akan tetapi kalau Lopeh suka, pesanlah makanan dan minuman, biar aku yang membayarnya.”

Pengemis tua itu memandangnya dengan penuh perhatian. Pandangan matanya menatap tubuh gadis itu dari rambut sampai ke sepatunya, kemudian ia tertawa terkekeh-kekeh dan berkata,

“Nona muda, kau baik, kau baik! Apakah tawaranmu itu hanya berlaku untukku seorang?”

Siang Lan mengerling ke arah kumpulan pengemis yang jumlahnya tidak kurang dari tujuh orang itu. Ia berpikir bahwa menolong orang miskin tidak boleh berat sebelah, maka sambil tersenyum manis, ia berkata,

“Aku menawarkan kepada siapa saja yang membutuhkan makan dan minum, Lopeh.”

“Ha-ha-ha! Bagus, bagus! Hai, setan-setan kelaparan! Ada rezeki datang, mengapa tidak lekas menyerbu? Ayo pesanlah sesukamu, jangan sungkan-sungkan lagi!”

Maka menyerbulah tujuh orang pengemis itu ke warung dan memesan makanan dan minuman. Semua memesan bakpau dan daging serta arak. Pengemis kurus kering tadi bahkan memesan seguci arak wangi yang berharga mahal.

Para tamu yang berada di situ merasa sebal melihat tingkah laku para pengemis ini. Tak tahu diri, pikir mereka. Ada yang menolong, lalu berbuat sesuka hatinya! Akan tetapi, biarpun uangnya tinggal tak berapa banyak lagi, Siang Lan tersenyum saja melihat kelakuan mereka itu, bahkan ada rasa terharu dalam hatinya. Ia maklum bahwa kerakusan mereka itu bukan memang menjadi watak mereka akan tetapi timbul oleh karena nafsu telah dikekang dan terpaksa dibatasi tiap hari. Mungkin telah berbulan-bulan atau bertahun-tahun mereka itu merindukan arak dan daging dan baru hari ini mereka berkesempatan menikmatinya.

Setelah para pengemis itu mengisi perut mereka sampai menjadi gendut dan kekenyangan, seorang demi seorang lalu keluar dari warung itu, ada yang terus pergi dari situ, ada pula yang merebahkan diri di bawah pohon dan tidur mendengkur bagaikan babi, sehingga tinggal pengemis kurus kering itu saja. Sambil tersenyum senang pengemis botak ini lalu menghampiri Siang Lan yang merogoh saku menghitung-hitung uangnya yang tak berapa itu. Pengemis botak ini dengan amat beraninya lalu mengulurkan tangan dan menepuk-nepuk pundak Siang Lan sambil berkata,

Posting Komentar