“Sst! Tahanlah perasaanmu dan simpanlah kata-katamu tadi sampai aku bertemu kembali dengan kedua enciku, karena dalam hal seperti ini, kedua enciku adalah wakil ayah ibu yang akann mengambil keputusan!”
Sin Liong dapat menguasai dirinya kembali dan sambil tersenyum girang ia duduk kembali agak jauh dari gadis itu.
“Sui Lan, bagaimanakah kau sampai dapat berpisah dari enci-encimu?”
Sui Lan lalu menuturkan tentang pertempuran-pertempuran di depan makam Nyo Hun Tiong. Sebagaimana diketahui Siang Lan mengejar perwira she Thio dan Hwe Lan menyuruh ia menyusul untuk membantu encinya itu sehingga akhirnya ia tidak bertemu kembali dengan kedua encinya.
“Ah, hebat sekali permusuhanmu dengan orang-orang Kim-i-wi!” kata Sin Liong sambil menarik napas panjang dengan hati khawatir sekali. “Hal ini amat hebat, karena ketahuilah bahwa dalam barisan Kim-i-wi terdapat orang-orang yang amat lihai dan tinggi kepandaiannya.” Kemudian pemuda itu teringat akan pertanyaan yang semenjak tadi hendak ia ajukan.
“Sui Lan, sebetulnya siapakah perwira yang telah membunuh Nyo Hun Tiong dan Yap Sian Houw itu? Apakah dia lihai kepandaiannya sehingga kedua orang pendekar itu sampai kalah olehnya?”
Mata Sui Lan memancarkan sinar berapi ketika ia menjawab,
“Entah sampai di mana tingkat kepandaian anjing itu! Yang kuketahui hanya bahwa perwira jahanam itu berpangkat Busu dan she-nya Lee!”
Tiba-tiba Sin Liong melompat berdiri setelah mendengar ucapan gadis itu. “Apa katamu?? Dia she Lee? Siapakah namanya??”
Sui Lan terkejut sekali melihat sikap Sin Liong ini dan ia pun bangkit berdiri.
“Aku tidak tahu siapakah namanya, akan tetapi yang sudah pasti ia she Lee dan ahli ilmu panah. Bahkan Nyo Hun Tiong dan ayah angkatnya juga mati karena anak panahnya!”
Kini Sin Liong memandang pucat bagaikan gadis yang berada di depannya itu tiba-tiba berubah menjadi iblis. “Dia she Lee, ahli panah dan..dan..tahukah kau ia bersenjata apa?”
Sui Lan makin heran memandang pemuda itu, akan tetapi ia menjawab juga, “Menurut mendiang ayah angkatku ia bergelar Sin-to, tentu saja bersenjata golok!”
“Ya Tuhan...! Benar dia...! Dan kau...kau hendak mencari dan membunuhnya?” Sin Liong mengangkat kedua tanganna menutup mukanya seakan-akan tidak mau melihat sesuatu yang mengerikan.
“Sin Liong, kenapakah kau?” Sui Lan melangkah maju dan menyentuh lengan pemuda itu dengan cemas.
Tiba-tiba pemuda itu menurunkan tangannya, memegang pundak gadis itu dengan kedua tangannya dan berkata keras, “Tidak! Tidak! Kau tidak boleh mencarinya, tidak boleh membunuhnya!”
Melihat muka pemuda itu menjadi pucat sehingga di bawah sinar bulan nampak kehijau-hijauan, Sui Lan terkejut sekali. Ia angkat kedua tangannya melepaskan pegangan Sin Liong dan bertanya, “Sin Liong, kenapakah kau? Mengapa kau berkata demikian?”
“Sui Lan, ingatkah kau akan penuturanku dulu tentang pamanku yang baik hati, yang menjadi pelindungku, menjadi penolongku, dan yang kuanggap seperti ayah sendiri? Dia itu bernama Lee Song Kang, seorang perwira berpangkat Busu di kota raja, berjuluk Sin-to dan pandai menggunakan anak panah!”
Kini Sui Lan yang menjadi pucat dan tak terasa lagi ia melangkah mundur sampai tiga tindak. “Apa...?? Jadi dia itu....pamanmu itu...adalah jahanam yang menjadi musuhku?”
“Jangan memaki dia! Kau tidak boleh menghinanya, tidak boleh membunuhnya! Aku...aku akan menghadapi siapa saja yang hendak mengganggu pamanku itu!”
“Bagus!” dengan mata berapi-api, Sui Lan mencabut pedangnya. “Jadi kau hendak membela seorang jahanam? Tak peduli dia itu pamanmu, atau ayahmu sendiri, aku akan mencari dan membunuhnya!”
“Tidak boleh!” Sin Liong juga mencabut pedangnya. “Aku akan menghalanginya!”
“Bagus! Kalau begitu kaulah yang harus mati lebih dulu!” seru Sui Lan sambil melompat ke depan dan menyerang dengan tusukan hebat.
Sin Liong menangkis dan menahan pedang gadis itu dengan pedangnya, suaranya gemetar ketika ia berkata, “Sui Lan...jangan kau mengangkat pedangmu padaku...Sui Lan..aku cinta kepadamu. Ah.. bagaimana sampai terjadi begini. Bagaimana nasib bisa begini kejam, mempertemukan kau orang yang kucintai sepenuh jiwaku sebagai seorang musuh. Jangan, Sui Lan, demi cinta kita, jangan kau lanjutkan permusuhan ini. Aku tak kuasa menentangmu dengan pedang!”
Sui Lan tersenyum menyindir. “Jangan bicara sembarangan tentang cinta! Cinta itu palsu belaka! Lupakah kau kepada sumpahmu tadi bahwa kau hendak membantu dan membelaku? Cih! Ucapan seorang laki-laki yang tak berharga! Bukan laku seorang gagah untuk menjilat kembali ludah sendiri yang telah dikeluarkan!” Setelah berkata demikian, Sui Lan menarik pedangnya dan menyerang lagi.