Tiga Dara Pendekar Siauw-lim Chapter 36

NIC

“Orang tuaku meninggal dunia ketika aku masih kecil,” pemuda itu melanjutkan penuturannya. “Baiknya aku mempunyai seorang paman yang baik hati dan yang membiayaiku bersekolah, kemudian setelah aku berusia sepuluh tahun aku lalu diajak tinggal di gedungnya dan dianggap sebagai puteranya sendiri. Aku benar-benar berhutang budi kepada pamanku itu. Kemudian aku bertemu dengan suhuku, yakni Pat-jiu Sin-kai Kwee Sin, dan menjadi muridnya. Selama hampir sepuluh tahun aku dibawa merantau oleh suhu, bersama seorang suhengku yang kini telah kembali ke rumah orang tuanya di kota raja. Sekarang karena aku telah tamat belajar, aku hendak mencari pamanku di kota raja, sekalian mencari suhengku yang bernama Souw Cong Hwi.” Sin Liong memandang kepada gadis itu dengan mata berseri. “Dan tidak kusangksa sama sekali, sebelum sampai di kota raja, aku bertemu dengan kau di dalam hutan itu. Semenjak pertemuanku itu aku selalu terkenang dan ingin bertemu lagi, siapa kira harapanku itu terkabul dan hari ini kita bisa bercakap-cakap di tempat ini. sungguh Thian bersifat murah dan bukan main bahagianya hatiku dengan pertemuan ini.”

Mendengar pernyataan yang jujur dan ucapan yang menyindirkan perasaan hati pemuda itu terhadapnya, Sui Lan hanya menundukkan mukanya yang menjadi merah karena jengah. Ia diam saja sehingga setelah Sin Liong berhenti bercerita. Keadaan menjadi sunyi.

“Eh, mengapa kau diam saja? Sekarang tiba giliranmu untuk bercerita tentang dirimu,” kata Sin Liong. “Aku she Yap ” Sui Lan memulai ceritanya.

“Ya, kau she Yap, dan namamu?” “Namaku Sui Lan.”

“Nama yang indah!”

Sui Lan mengangkat muka dan memandang dan dua pasang mata bertemu.

“Kalau kau tidak menutup mulutmu, aku takkan melanjutkan ceritaku!” katanya cemberut.

Sin Liong mengangkat alisnya dan tersenyum. “Baiklah aku akan menutup mulutku dan membuka telingaku selebar-lebarnya.”

“Namaku Yap Sui Lan,” gadis itu mengulang dan menahan geli hatinya ketika melihat betapa Sin Liong merapatkan bibirnya dan hanya mengangguk-angguk kepala sebagai sambutan, “dan aku yatim piatu pula.” Kemudian ia teringat bahwa pemuda itu telah melihat pula kedua enicnya, maka ia menyambung. “Dan aku hidup bertiga dengan dua orang enciku yang sekarang entah berada di mana.”

Sin Liong menggerakkan bibirnya yang hendak berkata, “Enci-encimu lihai sekali!” akan tetapi ia menahan ucapannya mengatupkan bibirnya lagi ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sui Lan.

“Kami bertiga juga telah taman belajar silat dan turun gunung untuk...untuk...ah, hanya sekianlah ceritaku tentang keadaanku!”

Sin Liong memandang tak puas. “Sama sekali belum lengkap. Siapa gurumu dan kemana hendak kau pergi? Mengapa kau berpisah dari enci-encimu dan apakah benar kau anak murid Siauw-lim-pai?”

“Eh, eh, kau ini seperti hakim memeriksa pesakitan saja lagakmu!” tegur Sui Lan. “Kau tidak adil! Yang kauceritakan hanya singkat sekali dan sama sekali tidak merupakan penuturan riwayatmu. Aku...aku ingin sekali mengetahui sejelas-jelasnya, ingin mengetahui semua hal tentang kau!” Sin Liong bicara dengan bernafsu sekali sehingga kembali wajah Sui Lan memerah.

“Ceritaku sudah cukup...untuk sekarang! Kita baru saja berkenalan.” “Hm...kau tidak percaya kepadaku.”

“Guruku pernah berpesan agar supaya aku tidak menaruh kepercayaan kepada orang yang baru saja dikenal, terutama kalau orang itu laki-laki!”

“Ah, gurumu tentu seorang wanita!” “Bagaimana kau bisa tahu?”

“Hanya wanitalah yang bisa menaruh hati curiga seberat itu terhadap pria. Akan tetapi biarlah, karena kita memang baru berkenalan. Mengetahui namamu saja sudah cukup menggembirakan hati. Sui Lan...eh, tentu aku boleh menyebut namamu, bukan?”

“Tentu saja boleh, memang nama diadakan untuk disebut orang.”

“Bagus! Nah, Sui Lan, andaikata kau pun menuju ke jurusan yang sama, beranikah kau melakukan perjalanan bersama aku?”

“Mengapa tidak berani? Apa yang kutakutkan?”

“Bagus! Kalau begitu, mari kita melakukan perjalanan bersama!”

Sui Lan merasa betapa ia telah masuk perangkap. Alangkah jenaka dan cerdiknya pemuda ini. Akan tetapi ia tidak menyesal dan memang suka melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang selain lihai ilmu silatnya juga merupakan kawan yang jenaka dan menggembirakan ini.

“Boleh, asal kau tidak menggangguku. Akupun hendak pergi ke kota raja.”

Girang sekali hati Sin Liong mendengar ini, kentara dari mukanya yang tersenyum-senyum dan matanya yang berseri-seri.

Mereka lalu melanjutkan perjalanan berdua dan hubungan mereka makin baik saja. Terdapat kecocokan watak antara keduanya dan perjalanan itu dilakukan dengan penuh kegembiraan. Yang amat menarik hati Sui Lan adalah kenyataan bahwa pemuda itu, biarpun suka bergurau, akan tetapi selalu membatasi diri dan berlaku sopan santun terhadapnya, belum tentu pernah berani memperlihatkan sikap kurang ajar. Tak heran apabila hati gadis itu makin tertarik. Juga Sin Liong merasa hatinya telah jatuh betul-betul. Melakukan perjalanan bersama gadis ini merupakan kebahagiaan yang luar biasa baginya. Segala apa yang nampak di perjalanan berubah menggembirakan. Setiap tangkai bunga tersenyum-senyum kepadanya dan daun-daun seakan-akan menari dan melambai-lambai kepadanya, burung-burung bernyanyi gembira merayakan kebahagiaannya dan matahari bagaikan mencurahkan cahaya emas yang indah. Pendeknya dunia ini seakan-akan berubah menjadi surga sebagaimana yang diceritakan dalam dongeng.

Setelah melakukan perjalanan dengan Sin Liong selama kurang lebih sepuluh hari, Sui Lan tak merasa ragu- ragu lagi bahwa pemuda ini memang seorang pendekar muda yang budiman dan boleh dipercaya. Maka, ketika pemuda itu mengulangi pertanyaannya tentang riwayat hidupnya, ia tidak mau merahasiakannya lagi. Hal ini terjadi ketika mereka bermalam di sebuah dusun, dalam sebuah kelenteng tua. Bulan purnama menerangi seluruh permukaan bumi dan mendatangkan suasana yang amat romantis bagi orang-orang muda. Sui Lan dan Sin Liong duduk di pekarangan kelenteng itu, di atas bangku-bangku tua yang terbuat dari batu.

“Sui Lan,” pemuda itu mulai membuka percakapan, “Sesungguhnya apakah yang kau kehendaki pergi ke kota raja? Apakah kau mencari seseorang di sana atau hanya untuk melancong saja?” “Untuk menjawab pertanyaanku ini, aku harus menceritakan riwayatku, Sin Liong,” jawab gadis itu. “Mengapa tidak kau ceritakan saja?” Aku telah lama ingin sekali mendengarkannya.”

“Sin Liong, pernahkah kau mendengar tentang orang yang bernama Nyo Hun Tiong dan Yap Sian Houw?” Sambil bertanya demikian, Sui Lan memandang tajam. Ia mengambil keputusan untuk menggunakan jawaban pemuda itu atas pertanyaan ini sebagai dasar dari keputusannya melanjutkan penuturan riwayatnya atau tidak.

Sin Long mengerutkan kening mengingat-ingat. “Kalau tidak salah, itu adalah nama dua orang pendekar gagah perkasa dan menjadi tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang dibasmi oleh Kaisar.”

Legalah hati Sui Lan mendengar jawaban ini, karena kalau saja pemuda itu menyebut mereka sebagai pemberontak-pemberontak, tentu ia tidak akan mau melanjutkan ceritanya!

“Ketahuilah, untuk membalaskan sakit hati kedua orang pendekar itulah maka aku dan kedua enciku pergi ke kota raja. Semenjak kecil, kami bertiga dipelihara oleh pendekar Yap Sian Houw itu yang kami anggap sebagai ayah sendiri, dan kami adalah murid-murid dari Toat-beng-Sian-kouw.”

Sin Liong mengangguk-angguk. “Aku pernah mendengar nama pertama wanita yang lihai ini dari Suhu. Pantas saja kepandaianmu demikian hebat.”

“Seperti yang pernah kau dengar, Nyo Hun Tiong terbunuh mati oleh seorang perwira kerajaan ketika ia memimpin pasukan petani untuk menumbangkan pemerintah yang dianggapnya tidak adil dan jahat, sebagai usahanya membalas sakit hati karena Siauw-lim-si dibakar!”

“Hal ini aku kurang mengerti, karena semenjak kecil aku telah belajar silat dan ikut Suhu merantau. Sebelum ikut Suhu, aku masih terlampau kecil untuk mengetahui urusan dunia, apalagi karena orang tuaku tinggal di dusun yang jauh dari kota raja,” jawab Sin Liong.

“Seperti yang telah kuceritakan tadi, Nyo Hun Tiong dibunuh oleh seorang perwira kerajaan, dan kemudian setelah kami menjadi murid-murid Toat-beng-Sian-kouw, pada suatu hari Yap Sian Houw yang kami anggap sebagai ayah sendiri itu datang dengan luka parah dan tak lama kemudian meninggal dunia. Dan tahukah kau siapa pembunuhnya? Tak lain ialah perwira yang dulu membunuh Nyo Hun Tiong! Maka, kami bertiga lalu turun gunung untuk mencari perwira itu dan membalaskan sakit hati Nyo Hun Tiong dan Yap Sian Houw dan kami tidak ragu-ragu untuk mengak bahwa kami adalah anak-anak murid Siauw-lim-pai, sungguh pun guru kami tak dapat disebut tokoh Siauw-lim-pai!”

Sin Liong mengangguk-angguk. “Aku dapat memahami perasaanmu dan enci-encimu. Hutang budi memang berat. Kalian bertiga telah berhutang budi kepada mendiang Yap Sian Houw dan menganggap pendekar tua itu sebagai ayah sendiri. Kalau dia terbunuh oleh musuh, dan kini kau mencari musuh itu untuk membalas dendam, itu namanya berbakti. Aku tak dapat menyalahkan tindakan ini, bahkan seorang anak memang harus berbakti kepada orang tuanya, dan dalam hal ini, orang tuamu adalah pendekar she Yap it.”

Bukan main girangnya hati Sui Lan mendengar pernyataan ini. tanpa disadarinya lagi ia mengulurkan tangan dan menyentuh tangan pemuda yang duduk di hadapannya itu sambil berkata, “Ah, Sin Long! Kau memang baik sekali. Aku girang bahwa kau menyetujui usaha kami untuk membalas dendam, dan karena aku selama hidup belum pernah pergi ke kota raja dan sekarang telah berpisah dari enci-enciku, maka aku mengharapkan bantuanmu sebagai seorang kawan untuk mencari tahu tempat tinggal perwira musuhku itu!”

Dengan hati berdebar Sin Liong memegang tangan gadis itu dan kedua tangan itu saling berpegang erat.

“Sui Lan, demi Tuhan! Aku bersumpah di bawah sinar bulan purnama, bahwa aku akan membantu dan membelamu, biarpun untuk itu aku harus berkorban nyawa sekalipun!” Ucapan ini dikeluarkan dengan bibir gemetar dan Sui Lan tak berani menentang pandang mata pemuda itu lebih lama lagi. Ia menunduk akan tetapi jari-jari tangannya masih saling berpegang dan menekan jari-jari tangan Sin Liong, tanda bahwa dari dalam hati mereka mengalir keluar perasaan yang sama hangatnya melalui urat-urat saraf dan sampai pada ujung jari-jari tangan mereka yang saling menggenggam itu. Akan tetapi Sui Lan segera menarik tangannya kembali dan bibirnya berbisik perlahan.

“Terima kasih, Sin Liong. Kau memang seorang kawan yang baik.”

“Sui Lan, kalau sampai di kota raja, aku akan minta paman meminangmu untuk menjadi...jodohku..”

Posting Komentar