Tiga Dara Pendekar Siauw-lim Chapter 35

NIC

“Apa gunanya dua ekor anjing banci dan muka hitam itu? Suruh mereka maju sekalian. Melawan kau seorang diri saja kepalang tanggung bagiku!” Sui Lan memang sengaja hendak memperlihatkan kepandaian agar jangan sampai kalah ‘muka’ dengan pemuda yang bernama The Sin Liong tadi!

Meledaklah suara ketawa para penonton mendengar dan menyaksikan gadis itu berkata-kata. Ternyata gadis ini lebih berani, lebih lucu, dan lebih hebat dari pemuda tampan tadi, maka ingin sekali mereka melihat apakah kepandaian dara jelita ini pun sehebat kepandaian pemuda tadi.

Muka Gan Kong menjadi merah padam sedangkan kedua orang sutenya pun marah sekali. Orang kedua dari Bu-tong-pai itu yang berwajah tampan dan berpakaian merah serta pesolek sekali, merasa dihina karena disebut anjing banci, maka ia lalu melompat dengan pedang di tangan, demikian pula Si Muka Hitam. Akan tetapi Gan Kang memberi tanda agar kedua sutenya itu jangan bergerak dulu. Setidaknya ia merasa malu untuk melakukan pengeroyokan. Coba saja pikir, masa tiga orang laki-laki gagah perkasa, anak murid Bu-tong- pai, harus mengeroyok seorang dara muda dari Siauw-lim-pai? Kalau dunia kang-ouw mendengar akan hal ini, kemana mereka harus menaruh muka?

“Bangsat perempuan. Kau berani menghina anak murid Bu-tong-pai?” teriak Gan Kong sambil menusukkan pedangnya ke arah dada Sui Lan tanpa mempedulikan kenyataan bahwa gadis itu masih belum memegang senjata.

“Jelek sekali!” seru Sui Lan dan secepat kilat ia memiringkan tubuh ke kiri, disusul dengan tusukan dua jari tangan ke arah mata Gan Kong dengan tangan kiri, akan tetapi ketika Gan Kong dengan kaget memiringkan kepalanya untuk menghindarkan matanya yang hendak dicongkel keluar, tiba-tiba tangan gadis itu yang sebelah kanan telah bergerak cepat menghantam jari-jari tangan Gan Kong yang menggenggam pedang. “Plak!” Tangan kanan Sui Lan dengan jari terbuka berhasil mengetok jari tangan Gan Kong yang memegang pedang dan trang...!” pedang itu terlepas dari pegangannya, terjatuh di atas lantai panggung! Gerakan lihai yang baru saja dilakukan oleh Sui Lan dengan berhasil baik sekali ini adalah satu gerak tipu dari ilmu silat Bi- cong-kun (Ilmu Silat Kepalan Menyesatkan) yang penuh gaya-gaya palsu dan tipu-tipu yang benar-benar membingungkan dan menyesatkan dugaan lawan.

Sambil tertawa ha-ha hi-hi Sui Lan mengejek lawannya,

“Nah, apa kataku tadi! Jangan kau maju sendiri, ajaklah kedua sutemu itu maju bersama. Kau bandel sih!” Mendengar ucapan dan melihat lagaknya yang seperti seorang ibu menegur dan memarahi anaknya itu, para penonton gelak tertawa dengan hati puas, mentertawakan Gan Kong yang memandang dengan penuh keheranan. Dia sungguh tidak mengerti bagaimana dalam segebrakan saja gadis ini berhasil membuat pedangnya terlepas dari pegangan! Sebagai seorang ahli silat yang mahir, tentu saja ia pun tahu bahwa gerakan tadi adalah jurus dari ilmu silat Bi-ciong-kun, akan tetapi jari tangan gadis itu menghantam tangannya, gerakan ini tidak termasuk gerakan Bi-ciong-kun lagi dan hampir mirip dengan ilmu silat Eng-jiauw-kang dari Bu-tong-pai sendiri! Ia tidak tahu bahwa pukulan ke arah tangannya yang dilakukan oleh Sui Lan tadi adalah sebuah jurus dari Kiauw-ta Sin-na yakni gabungan kim-na dari Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai yang terdiri dari seratus dua puluh jurus dan yang telah dipelajari secara sempurna oleh gadis itu! Dengan muka merah karena marah dan malu, Gan Kong mengambil pedangnya. Kini tanpa malu-malu lagi ia memberi tanda kepada kedua orang sutenya yang segera melompat maju untuk mengeroyok. Sui Lan tersenyum dan berkata,

“Nah, begitu baru betul!” Kemudian ia melihat ke arah penonton dan berkata jenaka, “Saudara penonton sekalian! Kalau tadi sudah dipertunjukkan kisah Bu-siong-bhak-houw, sekarang dipertontonkan kisah Bhok-lan- ta-sam-go!”

Para penonton tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan ini. Kisang Bu-siong-bhak-houw (Pendekar Bu Siong pukul Harimau) adalah sebuah cerita klasik dan amat terkenal di antara rakyat jelata, dan dengan ucapannya itu, Sui Lan hendak mengumpamakan Sin Liong sebagai pendekar Bu Siong dan kedua murid Go- bi-pai itu sebagai harimau-harimaunya. Adapun Bhok-lan-ta-sam-go berarti Bhok Lan Memukul Tiga Ekor Buaya. Hoa Bhok Lan juga terkenal sebagai seorang pahlawan wanita yang gagah perkasa dan dipuji-puji namanya, akan tetapi sebetulnya dalam cerita pahlawan wanita itu, tak pernah terjadi Hoa Bhok Lan memukul tiga ekor buaya. Ini adalah ucapan yang merupakan ejekan belaka untuk membikin panas perut ketiga orang murid Bu-tong-san itu.

Benar saja, Gan Kong dan dua orang sutenya menjadi marah sekali dan sambil berseru keras mereka lalu menggerakkan pedang dan menyerang dengan hebat. Sui Lan berseru nyaring dan tubuhnya lalu mencelat ke atas, berpoksai (membuat salto) sampai empat kali di udara dan turun di tempat yang agak jauh, berdiri tersenyum-senyum menanti datangnya serangan baru! Para penonton memuji dan bersorak melihat gerakan yang hebat itu. Juga Gan Kong merasa terkejut karena ia tahu bahwa gadis itu telah melakukan gerakan Sin- liong-seng-tian (Naga Sakti Naik ke Langit), dengan amat indahnya.

Maka ia tidak berani memandang rendah, lalu bersama sute-sutenya Gan Kong mendesak sambil mainkan ilmu pedang dari Bu-tong-pai yang cukup kuat dan dahsyat. Sui Lan adalah murid terkasih dari Toat-beng Sian-kouw, seorang ahli silat yang telah banyak mempelajari ilmu silat Bu-tong-pai, maka sekali melihat saja Sui Lan maklum bahwa ketiga orang lawannya itu mainkan ilmu pedang Liang Gi Kiam-hwat dari Bu-tong, semacam ilmu pedang yang telah dikenalnya dengan baik, maka dengan mudah ia lalu mempergunakan ilmu gin-kangnya yang lihai, mengelak ke sana kemari dengan gerakan Jiauw-pouw-poan-san (Tindakan Berputar- putar), berloncat-loncatan sesuai dengan Toa-su-siang-hong-wi (Kedudukan Empat Penjuru Angin) sehingga tubuhnya lenyap dari pandangan mata! Sorak sorai para penonton making menggegap gempira karena pertunjukan ini benar-benar amat menarik, jauh sekali ramai dari tadi ketika Sin Liong mempermainkan kedua orang lawannya.

The Sin Liong yang menonton di bawah panggung, diam-diam menarik napas kagum, dan hatinya yang memang telah tertarik oleh ‘bocah nakal’ yang mengganggunya di dalam hutan dulu, kini makin tertarik lagi.

Kalau tadi Sin Liong mempermainkan kedua saudara Boan dari Go-bi-pai dengan mengelak ke sana kemari dengan gesitnya, kini Sui Lan berlaku lebih hebat lagi. Tidak saja gadis ini mempergunakan kelincahannya untuk mengelak akan tetapi ia juga membalas dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan yang sengaja ditujukan ke arah belakang kepala dan belakang tubuh lawan. Maka berkali-kali terdengarlah suara “plak! Plak!” ketika belakang kepala Gan Kong dan sute-sutenya ditempeleng oleh telapak tangan Sui Lan, dan suaran “bak! buk!” ketika belakang tubuh mereka kena ditendang! Gadis yang mempunyai watak nakal dan suka menggoda orang itu sengaja tidak memukul atau menendang keras untuk menimbulkan luka parah, akan tetapi cukup mendatangkan rasa sakit pada tubuh dan hati!

Para penonton benar-benar mendapat hiburan yang menggembirakan dan tiada hentinya terdengar suara mereka tertawa dan bersorak, seakan-akan mereka sedang menonton pertunjukan anak-anak wayang sedang melawak.

Tiba-tiba para penonton di bagian kiri panggung menjadi panik dan ketakutan ketika serombongan perwira Kwi-i-wi mendesak dan mendekati panggung.

“Mana adanya pemberontak Siauw-lim yang membuat kekacauan?” seru mereka dan ketika melihat ke atas panggung dan mendapat kenyataan bahwa yang disebut ‘pemberontak Siauw-lim-pai’ yang sedang mengacau sebagaimana laporan yang mereka terima dari kedua saudara Boan tadi, ternyata adalah seorang gadis cantik jelita yang dengan lincah dan jenaka sedang mempermainkan Gan Kong dan kedua orang sutenya! Tak terasa lagi, sembilan orang Kim-i-wi itu berdiri bengong dan bahkan ikut menonton!

Sementara itu, Sui Lan yang sudah mulai merasa bosan dengan main-main ini, lalu bergerak cepat dan kini ia menyerang dengan Hun-kin-coh-kut-jiu-hwat (Ilmu Pukulan Putuskan Otot Lepaskan Tulang). Dengan gerakan-gerakan yang cepat sekali ia mendesak dan terdengarlah teriakan-teriakan kesakitan, disusul dengan robohnya ketiga orang pengeroyok itu seorang demi seorang dengan tulang lutut terlepas atau otot-otot terkelecoh karena pukulan-pukulan Sui Lan!

Pada saat itu barulah para perwira Kim-i-wi itu sadar dan dengan cepat mereka lalu berlompatan ke atas panggung sambil berteriak,

“Tangkap pemberontak Siauw-lim!”

Melihat kedatangan orang-orang ini, Sui Lan terkejut dan mencabut pedangnya. Dan terjadilah pertandingan hebat di atas panggung di antara Sui Lan dengan para Kim-i-wi yang banyak jumlahnya itu.

Tiba-tiba dari bawah panggung melompatlah bayangan putih dan ternyata bahwa yang melompat itu adalah The Sin Liong yang membantu Sui Lan sambil mainkan pedangnya dan berseru, “Bocah nakal, jangan takut, aku membantumu!”

“Kakek tua renta!!” Sui Lan membalas. “Siapa takut dan siapa pula membutuhkan bantuanmu?” Akan tetapi Sin Liong tidak peduli, hanya tertawa dan tetap membantu. Adapun para Kim-i-wi ini rata-rata memiliki kepandaian yang lumayan juga sehingga pertempuran berjalan seru dan hebat. Para penonton berlari pergi dari situ dengan ketakutan sehingga tempat itu menjadi sunyi sekali.

Baru saja Sui Lan dan Sin Liong berhasil merobohkan dua orang pengeroyok, tiba-tiba dari jauh datang serombongan perwira lagi yang dikepalai oleh seorang perwira tinggi besar gagah. Sin Liong yang melihat perwira ini datang berkuda dari jauh, cepat berkata kepada Sui Lan,

“Nona, mari kita pergi! Makin banyak yang datang!”

Mendengar sebutan pemuda itu, Sui Lan maklum bahwa Sin Liong tidak main-main, maka ia pun lalu melompat keluar dari panggung, akan tetapi ia teringat akan sesuatu dan melompat naaik lagi! Sebelum para pengeroyok tahu akan maksudnya, secepat kilat Sui Lan menyerbu kepada tiga orang murid Bu-tong-pai yang masih duduk mengaduh-aduh dan tiga kali pedangnya berkelebat, terdengar teriakan tiga kali dan daun-daun telingan sebelah kanan dari Gan Kong dan dua orang sutenya telah terbabat putus! Sui Lan tertawa nyaring dan berkata,

“Biarlah hukuman ini membuat kalian tidak berani lagi melakukan pekerjaan memetik bunga!” Kemudian, sebelum para pengeroyoknya mendesak lagi, ia lalu mempergunakan ilmu lompat jauh yang disebut Liok-te- hui-teng-kang-hu dan tubuhnya melayang dari atas panggung itu, menyusul bayangan Sin Liong yang sudah lari jauh!

Karena gin-kang dari Sui Lan telah tinggi, maka sebentar saja ia dapat meninggalkan para pengejarnya. Akan tetapi ia merasa mendongkol sekali melihat betapa Sin Liong berlari terus sipat kuping bagaikan dikejar setan! Pemuda itu berlari cepat sekali tanpa menoleh dan betapa pun cepat Sui Lan mengejar, tetap saja jarang antara dia dan pemuda itu tidak berubah.

Setelah tiba di sebuah padang rumput di lereng sebuah bukit kecil, Sui Lan lalu berteriak keras, “Haaaii...!! Tua bangka penakut...Tunggu dulu...!!”

Teriakannya ini keras sekali dan pemuda di depannya itu lalu berhenti. Ketika Sui Lan tiba pula di tempat itu dengan mulut cemberut, dan hendak marah karena pemuda itu demikian sombong dan hendak mengajaknya mengadu kepandaian, tiba-tiba rasa marahnya lenyap karena ia melihat betapa pemuda itu nampak pucat dan ketakutan! “Eh, eh, kau kenapakah?” tanya Siu Lan dengan heran.

Pemuda itu menarik napas panjang beberapa kali untuk menenteramkan hatinya, barulah ia berkata sambil mencoba tersenyum,

“Kau telah membikin aku bermusuhan dan bertempur dengan barisan Kim-i-wi. Kalau mereka tahu bahwa aku adalah keponakan seorang perwira, tentu celakalah aku!”

Sui Lan cemberut. “Siapa suruh kau membantu? Aku tidak membutuhkan bantuanmu, bahkan kau lancang sekali berani membantuku tadi!”

Pemuda itu memandang dengan lucu dan senyumnya melebar. “Teruskan marahmu. Aku senang sekali melihat kau marah-marah!”

Kini Sui Lan memandangnya dengan heran dan melihat sepasang mata yang tajam itu berseri seakan-akan mentertawakan, ia makin marah.

“Mengapa kau senang melihat aku marah? Apakah kau anggap aku orang gila?”

Sin Liong menggeleng kepala dan senyumnya makin melebar tanda hatinya gembira sekali. “Nah, nah, makin besar marahmu, makin kau tajamkan dan cemberut, makin manislah kau!”

“Tua bangka ceriwis!” bentak Sui Lan dan tangannya melayang untuk menampar pipi Sin Liong.

Sin Liong tidak mengelak atau menangkis, bahkan ia mengangkat mukanya untuk menerima tamparan itu. Setelah tangan Sui Lan dekat dengan pipi pemuda itu, Sui Lan cepat menarik kemabli tangannya karena sebetulnya ia pun tidak ingin menampar sungguh-sungguh. Tidak tega dia melihat wajah tampan yang mandah saja menerima tamparan itu!

Sin Liong tersenyum. “Nah, nah, kau tidak jadi menampar! Memang sudah kuduga hal ini maka aku tidak mengelak.

“Bagaimana kau bisa menduga lebih dulu? Kalau aku melanjutkan tanganku bukankah pipimu akan menjadi bengkak-bengkak dan gigimu akan copot?”

Sin Liong menggelengkan kepalanya. “Tak mungkin. Aku sudah menduga bahwa dara secantik kau ini tak mungkin berhati kejam. Orang seperti kau harus memiliki hati yang mulia.”

Biarpun mulutnya masih cemberut, akan tetapi di dalam hatinya, Sui Lan merasa senang sekali. Pemuda yang tampan dan menarik hatinya ini biarpun mengeluarkan ucapan-ucapan yang sifatnya jenaka dan nakal menggoda, akan tetapi mengandung pujian-pujian terhadap dirinya yang benar-benar menggembirakan hatinya.

“Nona, sebenarnya siapakah kau dan di mana rumahmu?”

“Aku adalah orang dan rumaku tidak kubawa,” jawab Sui Lan jenaka.

”Tentu saja! Memangnya kau kura-kura yang membawa rumahnya ke mana-mana?” kata Sin Liong tertawa. “Jangan main-main, Nona. Kita telah bertemu dan bercakap-cakap seperti sahabat lama. Sudah sepantasnya kalau kita saling mengenal nama dan mengetahui riwayat masing-masing. Sekali lagi kuulangi dengan hormat. Di manakah tempat tinggalmu, siapa namamu, dan darimana hendak ke mana?”

“Kuterima pertanyaanmu dan kukembalikan kepadamu.” “Apa artinya kata-katamu itu?”

“Kau harus menceritakan keadaan dirimu sebelum tiba giliranku.” Sin Liong tersenyum. “Kau benar-benar nakal dan juga cerdik. Ditanya belum menjawab sudah berbalik menanyakan keadaan Si Penanya! Baiklah, memang pria selalu harus mengalah terhadap wanita. Dengarkan aku bercerita.” Pemuda itu lalu duduk di atas sebuah batu dan Sui Lan yang juga merasa lelah karena pertempuran dan berlari-lari tadi, lalu duduk menghadapinya, di atas rumput.

“Namaku The Sin Liong dan aku seorang yatim piatu, tak berayah tak beribu.” Baru saja menutur sampai di sini, entah mengapa, hati Sui Lan merasa amat terharu dan tak terasa lagi sinar matanya yang ditujukan kepada pemuda itu berubah mesra. Mungkin karena ia teringat akan keadaannya sendiri yang telah yatim piatu pula.

Posting Komentar