Tiga Dara Pendekar Siauw-lim Chapter 18

NIC

“Aha, sombong benar kau! Benarkah kau tidak takut kepada kami? Beranikah kau menghadapi Ang-hoa-tin (Barisan Bunga Merah) kami?”

Siang Lan adalah seorang gadis yang tabah dan tenang sungguhpun ia belum pernah mengenal tentang barisan Ang-hoa-tin ini, akan tetapi ia merasa malu untuk mundur.

“Kalau memang kalian ingin mengeroyok aku, mengapa mesti menggunakan alasan pura-pura? Tak usah banyak cakap, mau mengeroyok, keroyoklah, aku sedikutpun tidak takut!”

“Sombong sekali!” seru Ang-hoa Mo-li yang menggerakkan siang-kiamnya lagi, akan tetapi suaminya mencegah dan berkata lagi kepada Siang Lan.

“Kami akan membentuk Ang-hoa-tin dan kalau kau benar-benar dapat keluar dari kepungan kami, tidak saja kau akan dibebaskan, bahkan kami semua akan mengaku kau sebagai guru kami!” kata Ang-hoa Sin-mo yang segera memberi aba-aba kepada kawan-kawannya.

Anak buah Ang-hoa Siang-mo ini berjumlah sebelas orang, sehingga bersama kedua suami isteri yang menjadi pimpinan itu, mereka berjumlah tiga belas orang. Dengan cepat setelah menerima aba-aba ini, mereka bergerak mengurung Siang Lan dengan lingkaran yang lebar. Semua orang mengeluarkan senjata masing- masing yang berupa pedang dan golok dan sebelum bergerak, mereka lebih dulu mengeluarkan bunga-bunga merah dari saku baju dan memakainya di atas kepala.

Siang Lan memasang kuda-kuda dengan tenang dan memperhatikan para pengurungnya dengan penuh kewaspadaan. Mereka itu berjalan perlahan-lahan mengitarinya dengan senjatanya siap di tangan, akan tetapi sama sekali tidak menyerang. Siang Lan berdiri diam saja dengan urat-urat menegang, siap menghadapi gempuran mereka. Akan tetapi mereka sama sekali tidak menyerang, hanya bergerak mengelilinginya dengan langkah makin lama makin cepat.

Melihat orang-orang yang mengepungnya itu sekarang berlari-lari mengelilinginya, pusing juga pandangan mata Siang Lan, maka ia tidak mau memperhatikan mereka. Akan tetapi, gerakan yang sedang berlari berputar itu tiba-tiba berhenti dan gerakan itu berbalik, kalau putaran tadi bergerak dari putaran tadi bergerak dari kiri ke kanan, kini bergerak dari kanan ke kiri!

Siang Lan tiba-tiba merasa kedua matanya kabur dan kepalanya pening melihat gerakan ini, dan ia lalu menyerang dengan pedangnya kepada Ang-hoa Siang-mo yang mengepalai barisan berputar itu. Akan tetapi, baru saja ia menggerakkan pedangnya, dari belakang dan kanan kirinya, tiga buah senjata menyerangnya dengan berbareng dan teratur sekali, yakni yang sebelah kiri menyerang kakinya, yang belakang menyerang pinggangnya dan yang kanan menyerang kepalanya! Terpaksa ia menggagalkan serangannya dan menggerakkan pedang menangkis tiga serangan lawan itu sekaligus.

Setelah bergebrak sejurus ini, barisan Bunga Merah itu tetap berlari-lari dengan teratur, sebentar bergerak dari kiri ke kanan, sebentar kemudian berbalik dari kanan ke kiri dan tiap kali Siang Lan menyerang, ia selalu mendapat serangan seperti tadi!

Siang Lan terkurung dalam barisan yang disebut Ang-hoa-tin (Barisan Bunga Merah) yang benar-benar berbahaya sekali. Barisan itu tidak menyerangnya, hanya mengurungnya sambil berlari-larian dengan teratur sekali sehingga dara yang dikurungnya itu makin lama makin merasa pening kepalanya. Tiap kali ia hendak mencari jalan keluar dari kepungan dengan melakukan serangan untuk membobolkan kepungan itu, selalu serangannya itu didahului oleh serangan dari tiga penjuru yang dilakukan dengan gerakan teratur sehingga terpaksa ia harus menarik kembali serangannya tadi untuk melindungi tubuhnya dari tiga serangan lawan. Keadaan dara ini benar-benar berbahaya karena maksud dari barisan yang berlari-lari itu memang hendak membikin gadis yang terkepung itu menjadi pusing dulu hingga menjadi lemah, baru kemudian hendak diserang sekaligus!

Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Siang Lan itu, tiba-tiba dari luar kepungan terdengar suara orang tertawa dan disusul dengan kata-kata ejekan,

“Ha-ha, tak tahunya Ang-hoa Siang-mo yang ditakuti orang itu tak lain hanyalah sepasang suami isteri pengecut yang biasanya hanya mengeroyok orang! Sungguh tak tahu malu, mengeroyok orang! Sungguh tak tahu malu, dengan mengandalkan kawan-kawan sebanyak tiga belas orang! Ha-ha-ha! Orang-orang di dunia kang-ouw bisa berdiri bengong saking herannya melihat kejanggalan ini!”

Biarpun Ang-hoa Siang-mo mendengar sindiran ini, akan tetapi mereka tidak peduli, seakan-akan tidak mendengar ucapan itu, oleh karena dalam barisan Ang-hoa-tin ini, pantangan terbesar ialah kalau anggota barisan itu mencurahkan perhatian ke lain jurusan. Hal ini akan merupakan kelemahan yang mencelakakan karena barisan tak dapat bergerak secara otomatis lagi. Oleh karena itulah, maka mereka menahan sabar dan tetap mengurung Siang Lan yang sudah hampir tak kuat menahan kepeningannya itu.

Akan tetapi, tiba-tiba orang yang baru datang itu berkata lagi,

“Ang-hoa Siang-mo, kalau kalian tidak mau menyambutku, baiklah aku mulai saja dari lluar!” Orang itu lalu mencabut pedangnya dan menyerang Ang-hoa Siang-mo dengan tusukan yang tak boleh dipandang ringan!

Ang-hoa Siang-mo tentu saja tidak membiarkan tubuhnya disate, maka ia lalu menggerakkan thi-piannya menangkis sambil berseru kepada kawan-kawannya, “Tahan dulu!” Ia sendiri melompat keluar dari barisan, diikuti oleh kawan-kawannya yang menahan senjata masing-masing.

Siang Lan merasa lega sekali dan ia melompat tinggi keluar dari kepungan itu dan berdiri di bawah pohon sambil memeramkan mata sejenak untuk membikin tenang hatinya dan menghilangkan kepeningan otaknya. Ia merasa betapa segala apa di sekelilingnya, pohon-pohon dan daun-daun, berputaran tadi. Maka cepat ia meramkan matanya lagi dan mengatur napasnya. Tak lama kemudian ia menjadi sembuh kembali dan dengan marah ia memandang ke arah kedua iblis itu. Akan tetapi mereka itu sedang berhadapan dengan seorang pemuda berpakaian serba putih yang memegang pedang di tanga. Ia teringat akan ucapan yang ia juga dengar tadi dan menduga bahwa pemuda ini tentulah orangnya yang datang mengganggu Ang-hoa-tin, maka biarpun pemuda itu tidak sengaja menolongnya, akan tetapi ia merasa tertolong dan bersyukur sekali. Ia berdiri diam dan mendengarkan percakapan mereka.

Pemuda itu masih muda, paling banyak tentu baru berusia dua puluh tahun, wajahnya tampan dan gagah, mukanya mundar dan sepasang alisnya tebal dan panjang. Pada saat itu, ia tengah memandang kepada Ang- hoa Mo-li dengan mata penuh selidik, sehingga iblis perempuan itu menjadi merah mukanya dan berkata,

“Anak muda, siapakah kau? Melihat matamu, aku rasanya pernah bertemu dengan engkau, akan tetapi entah di mana!”

Suaminya lalu berkata dengan keras, “Niocu, ucapanmu mengingatkan aku pula. Pemuda ini mukanya seperti pernah kukenal. Eh, anak muda, siapakah kau dan apa maksudmu berlaku lancang datang ke tempat ini dan mengganggu urusan kami?”

Pemuda itu tersenyum dan nampak senang sekali mendengar ucapan mereka. “Tentu saja kau pernah melihat orang yang mukanya hampir sama dengan aku. Masih ingatkah kalian pada seorang pendekar bernama Kui Bok Beng?”

Mendengar disebutnya nama itu, tiba-tiba suami isteri Ang-hoa Siang-mo melangkah mundur dua tindak dan Ang-hoa Sin-mo memandang dengan mata terbelalak, sedangkan isterinya tiba-tiba menjadi pucat sekali.

“Anak muda, ada hubungan apakah kau dengan Kui Bok Beng?” tanya Ang-hoa Sin-mo dengan suara parau.

“Dia adalah ayahku! Kau berhutang nyawa kepada ayahku dan sekarang akulah yang datang menagihnya!” jawab pemuda itu.

Posting Komentar