Mereka semua tahu bahwa kini banyak tokoh-tokoh besar kaum sesat juga berada di daerah itu untuk mencari dan memperebutkan pedang pusaka yang dicuri orang dari dalam istana. Dan pembunuh-pembunuhan seperti itu hanya dapat dilakukan oleh golongan sesat, tentu saja kalau bukan Yeti pelakunya. Siauw Goat yang agak marah karena terus diomeli oleh Lauw-piauwsu, tidak mau ikut pulang melainkan memasuki sebuah warung yang pemiliknya telah menjadi kenalan baiknya. Melihat gadis cilik itu kelihatan marah, Lauw-piauwsu hanya menarik napas panjang saja dan maklum bahwa dia sungguh memperoleh tugas yang amat berat dari mendiang Kakek Kun. Gadis cilik ini sukar sekali dikendalikan! Masuknya Siauw Goat ke dalam restoran kecil itu disambut oleh pemilik warung dan para pelayannya dengan senyum gembira.
"Heii, Goat-siocia! Kami dengar engkau ikut bersama rombongan pasukan yang menemukan mayat-mayat itu! Ceritakanlah kepada kami!"
Teriak Si Pemilik Warung.
"Ceritakan apa lagi!"
Kata Siauw Goat dengan nada tak senang.
"Mereka semua telah mati oleh iblis terkutuk Yeti itu!"
"Siocia....!"
Semua orang terkejut dan memandang kepada dara cilik itu dengan mata terbelalak dan muka pucat. Yeti dianggap dewa penunggu Gunung Salju oleh mereka, merupakan mahluk yang sakti dan dapat memberkahi atau mengutuk mereka. Dan kini gadis cilik itu seenaknya saja menamakan dewa itu iblis terkutuk! Melihat sikap ini, Siauw Goat menjadi makin mendongkol. Betapa semua orang takut kepada Yeti, bahkan Lauw-piauwsu juga ketakutan! Dia lalu membusungkan dadanya yang masih belum penuh betul itu, lalu berkata,
"Tunggu saja, kalau aku bertemu dengan Yeti si iblis terkutuk, aku akan menghabiskan semua anak panahku untuk membunuhnya!"
Semua orang menjadi semakin kaget, dan pada saat itu terdengar suara ketawa seorang laki-laki di sudut warung. Laki-laki ini sedang minum arak dari sebuah cawan, agaknya dia setengah mabok. Kepalanya bergoyang-goyang ketika dia tertawa dan berkata,
"Ha-ha, omongan bau kentut busuk, bau kentut busuk....!"
Semua orang menahan ketawanya. Tentu saja yang dimaksudkan oleh Si Pemabok itu adalah omongan Siauw Goat yang dianggap kentut busuk alias omong kosong. Dan memang semua orang menganggapnya omong kosong. Gadis cilik seperti ini menantang Yeti dan bersumbar akan membunuhnya? Akan tetapi Siauw Goat menjadi marah bukan main mendengar ejekan itu. Secepat kilat dia telah memasang sebatang anak panah pada busurnya dan sekali busurnya menjepret, anak panah itu menyambar ke arah Si Pemabok.
"Tringgg!"
Cawan di tangan Si Pemabok itu tepat terkena anak panah dan terlepas dari tangannya. Arak muncrat dan menyiram mukanya.
"Ehhh....?"
Si Pemabok bangun dan memandang kepada Siauw Goat dengan marah.
"Berani engkau....?" . Akan tetapi beberapa orang pelayan memegang pundaknya dan berkata,
"Ssttt.... kau sudah mabok rupanya. Pulanglah, A-kauw, kau lupa bahwa dia ini adalah Goat-siocia puteri Lauw-piauwsu. Pergilah....!"
Ternyata nama Lauw-piauwsu sudah amat terkenal di Lhagat dan akhirnya Si Pemabok dapat dibujuk-bujuk meninggalkan warung itu, sedangkan Siauw Goat masih berdiri tegak sambil tangan kirinya bertolak pinggang dan tangan kanan memegang busurnya.
"Hemm, engkau makin angkuh saja....!"
Tiba-tiba terdengar suara halus. Siauw Goat cepat memutar tubuhnya menengok ke arah suara itu dan ternyata di sudut yang lain duduk seorang sastrawan muda yang pernah dikenalnya. Hatinya sedang kesal, maka bertemu dengan orang yang pernah dikenalnya, bahkan yang diketahuinya merupakan seorang yang berilmu tinggi, maka gembiralah hatinya, lupa bahwa dahulu dia juga sering kali mendongkol kepada sastrawan muda itu.
"Eh, kau di sini?"
Tegurnya seperti menegur seorang kawan sebaya saja, dan Siauw Goat dengan wajah yang manis berseri lalu berloncatan menghampiri. Sikap yang demikian lincah, senyum yang demikian manis dan wajah yang berseri-seri itu tidak mungkin membuat hati orang tinggal beku. Sastrawan muda itu pun menahan senyumnya dan setelah me-reka saling berpandangan, sastrawan muda itu lalu bangkit berdiri dan berkata.
"Duduklah, dan kalau engkau suka, mari makan dan minum denganku."
"Kalau suka? Tentu saja! Aku haus sekali dan.... wah, perutku lapar bukan main, agaknya...."
Dia menengok ke arah pemilik warung dan pelayannya, lalu melanjutkan dengan kesengajaan yang nakal.
"Agaknya aku bisa menghabiskan seekor Yeti panggang saus tomat sekarang ini!"
Tentu saja wajah pemilik warung dan para pelayannya amat lucu untuk dipandang, dan sastrawan muda itu pun hampir tak kuat menahan senyumnya.
"Lopek, tambahkan lagi bakminya, daging panggang dan.... eh, Siauw Goat, apa engkau suka minum arak?"
Gadis cilik itu menggeleng kepala.
"Untuku teh panas saja!"
Dia pun lalu duduk dan tak lama kemudian gadis cilik ini sudah makan minum sambil mengobrol dengan asyiknya bersama sastrawan itu. Kalau tadi dia tidak mempedulikan permintaan pemilik warung dan para pelayan, kini dengan sukarela tanpa diminta dia menceritakan pengalamannya ketika dia mengikuti rombongan pasukan dan menemukan mayat-mayat dari pasukan pertama di bukit itu.
"Wah, jejak kaki itu besar dan dalam sekali, Paman! Agaknya itulah jejak kaki Yeti. Apakah dulu Paman juga pernah melihatnya?"
Cara gadis cilik ini bicara amat ramah dan seolah-olah dia bicara dengan seorang pamannya sendiri, membuat sastrawan itu pun merasa gembira dan sebutan paman yang demikian akrab itu membuatnya tersenyum. Selama dalam perjalanan, belum pernah Siauw Goat melihat orang ini tersenyum maka ketika melihat wajah tampan itu tersenyum, dia kagum dan memandang dengan bengong.
"Hei, apa yang kau pandang?"
Sastrawan itu berseru.
"Wajahmu! Engkau.... tampan sekali kalau tersenyum, Paman! Kenapa engkau tidak mau sering tersenyum atau tertawa, sebaliknya selalu muram saja yang menyelimuti ketampananmu?"
Sepasang mata yang biasanya muram dan mencorong aneh itu kini terbelalak. Kejujuran dan kepolosan watak gadis cilik ini amat menarik hatinya, juga mengejutkan. Perlahan-lahan wajah yang muram itu berseri.
"Engkau pun manis sekali, Siauw Goat."
Gadis cilik itu mengangguk! Agaknya dia pun sudah yakin akan kemanisan wajahnya, yakin akan dirinya sendiri seperti sudah diperlihatkan tadi ketika dia memanah cawan dari tangan Si Pemabok tadi. Kalau tidak yakin kepada diri sendiri tentu dia akan merasa ragu dan takut kalau-kalau panahnya meleset dan mengenal tubuh orang itu!
"Paman, engkau tentu seorang siucai (sastrawan), bukan? Pakaianmu itu...."
Pria itu hanya mengangguk sambil tersenyum.
"Biarlah kupanggil engkau Paman Sastrawan! Namamu tidak dapat diberi-tahukan orang lain, bukan?"
Kembali pria itu terkejut. Bocah ini sungguh bermata tajam dan agaknya mampu menjenguk isi hatinya.
"Bagaimana engkau bisa menduga begitu?"
Siauw Goat mengangguk-angguk.
"Engkau seperti mendiang kakekku, selalu menyelimuti diri dengan rahasia dan keanehan. Kau tahu bahkan namaku pun dirahasiakan, setidaknya, nama lengkapku dan aku hanya boleh memperkenalkan diri dengan nama Goat saja, yang hanya merupakan sebutan. Dan nama kakek hanya diperkenalkan sebagai Kun saja. Biarlah, aku pun tidak akan mendesak untuk bertanya siapa namamu, karena andaikata kau berikan pun, tentu itu nama palsu. Akan tetapi, boleh aku bertanya, engkau hendak pergi ke mana, Paman?"
Ditanya demikian, sastrawan itu termangu-mangu, lalu menarik napas panjang dan berkata,
"Ke mana, ya? Entahlah, aku sendiri tidak tahu. Aku pergi tanpa tujuan tempat tertentu, hanya merantau saja. Sudah puluhan propinsi kulalui, ratusan kota kukunjungi, ribuan dusun kujelajahi. Entah sudah berapa ratus buah gunung kudaki, ratusan batang sungai kuseberangi...."
"Aihh senangnya....!"
Siauw Goat berseru lalu menengadah seperti orang yang membayangkan semua itu dengan wajah berseri dan bibir yang mungil kemerahan itu tersenyum! Sastrawan itu memandang heran.
"Apanya yang senang?"
"Tidak senangkah engkau?"
"Entahlah...."
"Tentu senang sekali."
Tiba-tiba dia menggerakkan tangan, telunjuk kirinya yang kecil menuding ke luar jendela warung, ke arah seekor burung yang sedang beterbangan di angkasa.
"Lihat, engkau seperti burung itu! Alangkah senangnya, terbang bebas lepas tanpa ada yang mengikat!"
Sastrawan itu memandang sebentar, lalu dia menatap wajah mungil itu sambil berkata.