"Ah, tanda apa yang dapat dipakai di tempat ini? Kecuali batu-batu kecil ditumpuk."
Dia lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mengumpulkan batu-batu. Akan tetapi tiba-tiba tampak sastrawan muda itu datang dan kedua tangannya yang diangkat ke atas kepala itu membawa sebongkah batu sebesar kerbau bunting! Semua orang memandang dengan kagum dan terkejut, akan tetapi dengan seenaknya sastrawan itu menurunkan batu perlahan-lahan ke depan makam baru. Tanpa berkata sesuatu dia lalu mundur lagi. Gadis cilik itu pun hanya memandang sejenak kepada Si Sastrawan, tanpa mengucapkan terima kasihnya karena dia masih mendongkol kepada sastrawan itu. Kalau semalam sastrawan itu berada di situ dan kakeknya tidak perlu harus menandingi para perampok, kakeknya belum tentu akan mati!
Rombongan itu lalu melanjutkan perjalanan, menuruni lembah, dari hutan bambu itu terus menurun, menuju ke dusun Lhagat. Rombongan melakukan perjalanan dengan agak tergesa-gesa dan pada wajah para piauwsu itu terbayang ketakutan setelah mereka mendengar cerita Si Sastrawan bahwa Yeti berkeliaran di daerah itu dan membunuh orang secara amat mengerikan. Mereka tidak banyak bicara selama dalam perjalanan ini, bukan hanya karena takut dan ngeri kepada Yeti, akan tetapi juga karena mereka masih menghormati kematian Kakek Kun dan berada dalam keadaan berkabung. Juga Siauw Goat yang biasanya lincah itu kini nampak pendiam, akan tetapi sepasang matanya kadang-kadang mengeluarkan sinar penuh api kemarahan.
"Siauw Goat, Kong-kongmu meninggalkan pesan agar mulai saat ini aku menjadi walimu, mengamatimu, mengurusmu dan mengantarkan engkau untuk mencari orang tuamu."
Di dalam perjalanan itu Lauw Sek mendekatinya dan berkata lirih. Gadis cilik itu mengangguk tanpa menjawab.
"Oleh karena itu, mulai sekarang, kuharap engkau suka menuruti segala petunjukku, karena aku merasa bertanggung jawab atas dirimu. Engkau tentu mengerti bahwa aku harus memenuhi segala janjiku kepada Kong-kong, Siauw Goat."
Gadis cilik itu mengangkat kepala dan memandang kepada wajah piauwsu itu dengan sinar mata penuh selidik, sinar mata yang amat tajam. Agaknya dia merasa puas dengan hasil penyelidikan sinar matanya, karena dia kembali mengangguk dan bibirnya bergerak perlahan, terdengar dia menjawab lirih.
"Baiklah, Lauw-pek."
Biarpun dia berjalan agak menyendiri dan agak jauh dari Siauw Goat, namun pendengaran yang tajam dari Si Sastrawan dapat menangkap percakapan lirih itu dari dia hanya tersenyum sendiri. Perjalanan dilanjutkan dengan secepat mungkin dan kini para piauwsu terpaksa membagi-bagi barang-barang bawaan yang dikawal karena sudah tidak ada lagi kuli-kuli angkut yang membantu mereka. Lhagat adalah sebuah dusun yang besar, mirip sebuah kota yang dikitari gunung-gunung besar.
Lhagat merupakan sebuah tempat di perbatasan yang selalu ramai karena tempat ini merupakan tempat pemberhentian dari mereka yang melakukan perjalanan dari Tibet ke Nepal atau India, atau sebaliknya. Juga merupakan tempat di mana orang-orang memperdagangkan barang-barang dagangan mereka dari negara masing-masing, pendeknya merupakan pasar bagi para pedagang dari berbagai negeri yang bertetangga. Tempat perbatasan Lhagat ini dikepalai oleh seorang Kepala Daerah. Menurut pengakuannya, secara resmi. Lhagat termasuk wilayah atau daerah dari Negara Tibet. Akan tetapi, karena tempat ini amat jauh dari kota-kota lain, juga amat terpencil dan berada di antara gunung-gunung yang amat luas dan liar, sedangkan tetangganya hanya dusun-dusun kecil terpencil di sana-sini, maka Kepala Daerah itu memerintah tempat ini seperti seorang raja kecil saja!
Semua hal termasuk keamanan, pajak, dan peraturan-peratuan menjadi wewenangnya, bahkan Kepala Daerah ini mempunyai pasukan sendiri. Akan tetapi dia terkenal sebagai seorang pembesar atau kepala daerah yang bijaksana, karena Kepala Daerah ini maklum bahwa tempatnya merupakan sumber penghasilan yang besar dengan adanya pusat perdagangan jual beli antara pedagang-pedagang berbagai negeri itu. Dari mereka ini dia memperoleh bantuan berupa pungutan derma semacam pajak yang diberikan secara suka rela oleh para pedagang yang tentu saja mendapatkan banyak keuntungan dari perdagangan mereka. Pada hari-hari biasa yang lalu, Lhagat merupakan tempat yang tenang dan tenteram, keramaian yang ada hanya keramaian dagang yang tidak segan-segan membuang sebagian dari pada keuntungan mereka untuk bersenang-senang.
Akan tetapi pada waktu itu, ada semacam ketegangan yang hebat mencekam hati penduduk Lhagat, membuat semua wajah nampak muram dan ketakutan. Ada dua peristiwa terjadi dan inilah yang membuat para penghuni kehilangan kegembiraannya. Yang pertama adalah orangorang asing yang membanjiri Lhagat. Orang-orang asing dengan pakaian dan sikap aneh-aneh dan biarpun sebagian besar mereka itu mengaku pelancong dan pedagang, namun sikap mereka amat mencurigakan karena yang mengaku pelancong lebih mirip jago-jago silat sedangkan yang mengaku pedagang tidak membawa barang dagangan melainkan membawa-bawa segala macam senjata tajam dan aneh-aneh! Jelaslah bahwa mereka itu adalah petualang-petualang, orang-orang kang-ouw dan berkumpulnya mereka pada suatu saat di tempat itu tentu telah terjadi hal-hal yang amat hebat.
Hal ini saja belum meninggalkan kecemasan bagi para penduduk Lhagat. Yang membuat mereka ketakutan adalah peristiwa ke dua, yaitu banyaknya mayat-mayat ditemukan di sekitar Lhagat, di lembah-lembah, di gunung-gunung, di rawa-rawa dan di hutan-hutan. Hampir setiap hari datang laporan kepada Kepala Daerah tentang adanya mayat-mayat yang ditemukan oleh para pelancong itu atau oleh para pemburu, pedagang dan juga para penggembala setempat. Dan selalu mayat-mayat itu ditemukan dalam keadaan mengerikan, tubuh mereka koyak-koyak. Biarpun peristiwa ini dihubungkan dengan dongeng tentang manusia salju yang mengamuk, namun para penghuni Lhagat tetap saja menyalahkan para pendatang asing itu, dan memandang mereka dengan sinar mata tidak senang.
"Yeti tidak pernah mengamuk dan membunuhi manusia."
Kata seorang kakek penghuni aseli Lhagat.
"Selama hidupku belum pernah mendengar ada Yeti mengamuk karena mahluk itu bukan sebangsa binatang buas pemakan bangkai. Kalau ada Yeti mengamuk, kalau memang benar Yeti yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, maka tentu ada sebabnya, tentu dia dibikin marah dan siapa lagi yang berani membikin marah Yeti kecuali orang-orang asing itu?"
Inilah sebabnya mengapa kota atau dusun yang biasanya ramai meriah itu kini nampak muram dan sunyi, wajah para penghuni membayangkan kegelisahan. Dalam suasana seperti itulah rombongan Lauw-piauwsu memasuki Lhagat.
Rombongan Pek-i-piauw-kiok tentu saja sudah dikenal oleh penghuni Lhagat, bahkan Kepala Daerah sendiri memiliki hubungan baik dengan Lauw-piauwsu, maka kedatangan rombongan ini tentu saja disambut dengan gembira karena biasanya rombongan ini membawa saudagar-saudagar dan siapa pun yang datang bersama rombongan ini tentu saja tidak dicurigai. Maka, biarpun hotel-hotel sudah penuh, tempat yang disebut dusun itu banyak mempunyai hotel karena banyaknya pedagang dari luar daerah yang berdatangan, tidaklah sukar bagi rombongan Lauw-piauwsu untuk memperoleh tempat penginapan. Banyak penghuni yang menawarkan tempatnya untuk Lauw-piauwsu, akan tetapi Lauw-piauwsu yang membawa dua orang teman yang terluka itu lebih suka tinggal menumpang di rumah samping milik Kepala Daerah yang dengan senang hati menerima kedatangan Lauw-piauwsu dan rombongannya.
Lauw-piauwsu menyuruh anak buahnya yang tinggal sembilan orang itu untuk melanjutkan perjalanan ke perbatasan Nepal yang tidak berapa jauh lagi dari Lhagat dan melalui jalan yang sudah aman dan baik, dan dari perbatasan ini nanti barang-barang kawalan milik pedagang Katmandu itu akan dioper oleh kafilah atau rombongan penyambut dari pedagang itu sendiri, Lauw-piauwsu sendiri bersama Siauw Goat dan dua orang anak buahnya yang terluka tinggal di rumah samping gedung kepala daerah sambil merawat dan mengobatkan dua orang yang terluka itu. Tiga orang saudagar gendut yang ikut dalam rombongan, sudah memisahkan diri setelah membayar biaya pengawalan kepada Lauw-piauwsu dan mereka sudah melupakan kesengsaraan dan ketakutan yang mereka derita dalam perjalanan itu. Kini dengan muka penuh senyum mereka mulai memperdagangkan barang-barang berharga mereka di pasar dengan keuntungan yang berlipat ganda.
Juga sastrawan muda itu sudah tidak nampak lagi, tanpa mengucapkan terima kasih kepada Lauw-piauwsu, karena memang dia tidak merasa menumpang, hanya "kebetulan"
Saja melakukan perjalanan bersama rombongan itu. Lauw-piauwsu mendengar dari para perajurit penjaga gedung kepala daerah bahwa para pelancong asing itu tertunda keberangkatan mereka di Lhagat. Semua orang tidak dapat melanjutkan perjalanan karena pada waktu itu terdapat badai salju mengamuk, dan biasanya badai seperti ini makan waktu dua tiga pekan. Siapa yang berani melanjutkan perjalanan ke daerah Himalaya pada waktu badai mengamuk berarti ingin mati konyol. Karena hambatan inilah maka Lhagat menjadi semakin penuh saja, karena orang-orang kang-ouw makin banyak membanjir datang, sedangkan yang sudah berada di situ tidak dapat pergi karena adanya badai salju itu.
Maka kini hampir semua rumah menerima tamu! Keadaan ini ditambah dengan laporan-laporan tentang ditemukannya mayat-mayat disekitar daerah Lhagat, cukup membuat penghuni dusun atau kota itu menjadi panik. Apalagi ketika mereka mendengar kabar bahwa Kepala Daerah yang tentu saja amat mengkhawatirkan adanya kematian-kematian aneh itu, sudah mengutus sepasukan perajurit untuk melakukan penyelidikan dan telah tiga hari lamanya pasukan itu berangkat, sampai kini belum ada kabar beritianya! Mereka semua kini menanti-nanti dengan gelisah. Karena Lauw-piauwsu sibuk merawat dua orang anak buahnya, maka Siauw Goat memperoleh banyak kesempatan untuk menyendiri. Akan tetapi dara cilik ini agaknya telah reda kedukaannya karena kematian kakeknya dan dia bahkan mendapatkan kembali kelincahan dan kegembiraannya.
"Lauw-pek, kapan kita melanjutkan perjalanan?"
Berkali-kali dia bertanya.
"Sabarlah, Siauw Goat. Dua orang paman yang luka itu sudah hampir sembuh dan nanti kalau para pamanmu piauwsu itu sudah kembali, kita akan melanjutkan perjalanan memenuhi pesan kakekmu. Pula, sekarang terdapat badai salju, tak seorang pun yang akan mampu melakukan perjalanan karena badai itu berbahaya sekali."
Siauw Goat tidak banyak membantah karena dia yang banyak berkeliaran keluar sudah mendengar jelas tentang hal itu, bahkan dia sudah mempunyai banyak sekali kenalan dan sudah banyak mengobrol dengan para penghuni dusun Lhagat. Dia dikenal sebagai Goat-siocia (Nona Goat) dan sebagai puteri angkat Lauw-piauwsu!
"Lauw-pek, aku ingin mempunyai busur dan anak panah, ada kulihat dijual orang busur dan anak panahnya yang baik di ujung dusun."
Lauw Sek memandang dengan alis berkerut dan penuh keheranan.
"Busur dan anak panah? Untuk apa?"
"Untuk mempersenjatai diri! Bukankah perjalanan yang akan kita tempuh penuh bahaya? Aku dapat melindungi diri sendiri dengan senjata itu."