Suling Emas Chapter 48

NIC

Mendengar percakapan mereka ini.

Lu Sian girang sekali. Dengan kepandaiannya yang tinggi, ia meninggalkan tempat itu tanpa ada yang mengetahui. Gedung itu letaknya ditempat tinggi maka tidak terlanda banjir, dibagian belakang gedung merupakan kaki sebuah bukit kecil dan kesinilah Lu Sian mengambil jalan keselatan, ke kota raja Lok-yang. Tak lama kemudian ia sampai di jalan besar dan segera mempercepat larinya. Sayang kudanya ia tinggalkan ketika ia mempergunakan jalan sungai, akan tetapi karena ilmu lari cepatnya juga sudah mencapai tingkat tinggi, Lu Sian segera mempergunakan Ilmu Lari Cepat Liok-te-hui-teng sehingga tubuhnya berkelebat seperti terbang cepatnya, tidak kalah cepatnya, oleh larinya seekor kuda biasa!

Perjalanan selanjutnya melalui pegunungan yang biarpun jalannya lebar, namun banyak naik turun dan amat sunyi. Ini pegunungan Fu-niu yang puncaknya menjulang tinggi. Dari atas puncak ini tampaklah gunung-gunung yang memang banyak mengepung daerah itu. Di utara tampak puncak-puncak Pegunungan Luliang-san dan Tai-hang-san, disebelah barat tampak Pegunungan Cin-ling-san, di selatan samar-samar tampak dibalik mega puncak Pegunungan Tapa-san. Biasanya Lu Sian amat suka menikmati tamasya alam di pegunungan, akan tetapi kali ini ia tidak mempunyai perhatian terhadap semua keindahan itu karena hati dan pikirannya penuh oleh bayangan Kam Si Ek yang hendak ditolongnya.

Ketika ia membelok disebuah lereng, tiba-tiba ia melihat banyak tubuh orang menggeletak di pinggir jalan. Golok dan pedang malang melintang, darah berceceran dan dua belas orang itu sudah menjadi mayat. Mereka ini kelihatan sebagai orang-orang kang-ouw yang gagah, dan melihat betapa senjata-senjata mereka tidak berjauhan, malah ada yang masih didalam cengkraman tangan, melihat tubuh mereka penuh luka, agaknya orang-orang ini telah melakukan pertandingan mati-matian dan nekat. Jelas kejadian ini belum lewat lama, mungkin pagi tadi dan di situ tampak bekas-bekas pertempuran dahsayat. Lu Sian berdebar. Apakah hubungannya belasan mayat orang ini dengan ditawannya Kam Si Ek? Hatinya makin kuatir dan ia mempercepat larinya mengejar kedepan.

Menjelang senja, ketika ia menuruni lereng, ia mendengar suara hiruk-pikuk dikaki bukit. Jelas terdengar suara banyak orang sedang berkelahi, diseling ringkik kuda dan denting senjata tajam saling bertemu. Lu Sian mempercepat larinya dan napasnya terengah-engah ketika ia tiba ditempat pertempuran, karena selain terus-menerus ia mengerahkan gin-kang untuk berlari cepat juga hatinya selalu penuh ketegangan dan kekuatiran akan keselamatan pemuda idaman hatinya. Kiranya banyak sekali orang yang bertanding didepan sebuah danau kecil dikaki bukit itu. Hampir seratus orang banyaknya saling gempur dan merupakan perang kecil yang kacau-balau.

Ada yang masih menunggang kuda, ada yang sudah bertanding diatas tanah, bahkan ada yang bergulat sambil bergulingan, saling cekik dan saling jotos. Tidak kurang pula yang terlempar ke danau sedang berusaha berenang minggir. Kacau-balau dan hiruk-pikuk, suara makian diseling teriakan marah, keluh kesakitan dan ketakutan. Lu Sian dapat menduga bahwa orang-orang yang berpakaian seragam biru itu tentulah pasukan yang mengawal atau yang menawan Kam Si Ek, karena diantara mereka ini masih banyak yang menunggang kuda. Adapun lawan pasukan ini adalah orang-orang yang berpakaian macam-macam, ada yang berpakaian petani, ada pula yang berpakaian pendeta, akan tetapi sebagian besar berpakaian pengemis. Tentulah segolongan dengan Wei-ho-kai-pang, pikir Lu Sian dan tentu saja hatinya lalu condong membantu para pengemis.

Bukankah Kam Si Ek tertawan oleh pasukan itu dan kini para pengemis hendak menolongnya? Akan tetapi, Lu Sian tidak berniat membantu mereka, matanya mencari-cari karena ia tidak melihat Kam Si Ek. Ia tidak mempedulikan pertempuran hebat itu, karena yang ia butuhkan untuk dicari adalah Jenderal Kam. Dengan sama sekali tidak mengacuhkan pertandingan, Lu Sian berjalan terus memasuki gelangang perang. Kalau ada senjata menyambar, tidak perduli senjata pihak pasukan atau lawan mereka ia mengelak dan kaki tangannya bergerak merobohkan siapa saja yang menghalangi jalannya! Hebat sepak terjang gadis ini. Baik pihak pasukan maupun pihak pengemis, sekali terkena pukulan maupun tendangannya pasti roboh!

"Dimana Kam Si Ek?"

Berkali-kali Lu Sian bertanya kepada seorang anggota pasukan yang ia robohkan, akan tetapi tak seorangpun mau menjawabnya, bahkan ia segera dikeroyok empat anggota pasukan. Golok gagang panjang dari dua orang lawan yang masih menunggang kuda, menyambar kearah leher dan pinggang Lu Sian. Cepat gadis itu melompat, menyambar belakang golok, membetot dengan gerakan mendadak sambil menendang ke arah golok ke dua. Golok pertama yang ia tarik itu terlepas dari pegangan dan menghantam kawan sendiri yang menyerang dari kiri, tepat mengenai pahanya dan menembus memasuki perut kuda!

Kuda itu meringkik keras dan kabur membawa penungganya yang hampir putus paha kakinya. Adapun orang yang terampas goloknya, hampir saja jatuh terguling karena terbetotot. Pada saat itu, dua orang pasukan yang tidak berkuda sudah menyerbu pula dari depan dan belakang, menggunakan pedang, Lu Sian tidak pedulikan mereka, tubuhnya meloncat keatas dan tahu-tahu ia sudah berdiri diatas punggung kuda, tepat dibelakang lawan yang terampas goloknya tadi. Sekali menggerakan tangan, ia sudah mencekik leher lawan dari belakang. Dua orang temannya hendak menolong, akan tetapi Lu Sian mengangkat tubuh lawan dan menggunakannya sebagai perisai! Tentu saja dua orang itu tidak berani menyerang, takut melukai tubuh teman mereka sendiri yang ternyata adalah seorang atasan mereka.

"Hayo, katakan dimana adanya Kam-goanswe!"

Lu Sian membentak sambil mempererat cekikan pada tengkuk Si Perwira yang sudah tidak berdaya itu.

"Di... disana..."

Perwira itu menuding kearah batu karang besar dan Lu Sian cepat membanting tubuhnya ke atas tanah, meloncat turun dari kuda dan berloncatan ke arah sekelompok batu karang yang memang terdapat tidak jauh dari tempat itu.

Tempat itu terjaga oleh beberapa orang anggota pasukan, dan agaknya orang tawanan itu disembunyika dibelakang batu-batu. Sebelum Lu Sian sempat turun tangan, tiba-tiba ia mendengar gaduh luar biasa diantara orang-orang yang bertanding. Alangkah heran dan kagetnya ketika ia melihat seorang laki-laki tinggi besar seperti raksasa, berkepala gundul menggunakan kedua lengan bajunya mengamuk. Seperti sepak terjangnya sendiri tadi, laki-laki gundul itu tidak peduli siapa saja, asal berada dekatnya, lalu disapu roboh oleh ujung kedua lengan bajunya. Akan tetapi gerakan laki-laki ini jauh lebih hebat, lebih ganas dan sebentar saja tubuh orang-orang bergelimpangan disekitarnya. Kemudian laki-laki itu melompat dan bagaikan terbang saja tahu-tahu ia sudah tiba di depan batu-batu karang besar.

Lima orang penjaganya segera mencegat dengan senjata di tangan, akan tetapi sekali laki-laki tinggi besar itu menggerakkan tangan kakinya, lima orang itu terlempar semua, terbanting pada batu karang dan hebatlah kesudahannya. Dua di antaranya pecah-pecah kepalanya, yang tiga mungkin patah-patah tulang iganya karena mereka roboh tak dapat berkutik lagi! Raksasa gundul itu tertawa ha-ha-he-heh, lalu melangkah lebar memasuki sekelompok batu karang itu dan di lain saat ia telah melesat keluar mengempit tubuh Kam Si Ek! Kagetlah Lu Sian. Cepat ia menggerakkan kakinya menjejak tanah dan tubuhnya melesat pula mengejar. Akan tetapi gerakan Si Raksasa gundul itu benar-benar hebat karena sebentar saja ia sudah jauh meninggalkan tempat pertempuran. Betapapun juga, Lu Sian tidak mau mengalah, gadis ini mengeluarkan ilmunya berlari cepat sehingga kedua kakinya seakan-akan tidak menyentuh tanah lagi!

"Lepaskan dia!!"

Ia membentak setelah dapat menyusul sehingga jarak mereka hanya tinggal lima meter lagi. Kedua tangan gadis ini bergerak dan serangkum sinar kemerahan menyambar ke depan. Itulah jarum-jarum rahasia yang amat hebat.

Gadis ini amat suka akan bunga-bunga yang harum, maka sejak kecil ia mempelajari keadaan segala macam bunga. Setelah ia pandai ilmu silat dan banyak mendapat petunjuk ayahnya tentang pelbagai macam racun, maka ia lalu dapat mencampur racun-racun berbahaya dengan sari keharuman bunga, maka terciptalah jarum-jarumnya yang ia namakan Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum). Memang amat harum baunya jarum-jarum ini, bahkan ketika menyambar dengan sinar merah, sudah tercium baunya yang amat harum, begitu harumnya sehingga dapat memabokkan orang. Tidak terkena jarumnya, baru mencium baunya saja sudah cukup berbahaya, apalagi kalau sampai jarum itu menembus kulit memasuki jalan darah! Akan tetapi, raksasa gundul itu benar-benar lihai sekali. Tanpa menoleh ia sudah mengebutkan lengan bajunya dan... jarum-jarum itu memasuki lubang tangan baju dan menancap disitu. Tiba-tiba raksasa gundul itu berseru keras, tangannya bergerak dan jarum-jarum itu menyambar keluar, kembali kepemiliknya!

Tentu saja Lu Sian terkejut sekali, cepat ia menyampok jarum-jarumnya sendiri dengan pedangnya yang sudah ia cabut keluar. Lawan ini benar lihai, pikirnya dan terkejutlah ia ketika teringat bahwa raksasa gundul selihai ini kiranya hanya ada seorang saja di dunia, yaitu Ban-pi Lo-cia! Ban-pi Lo-cia tokoh utara yang sudah bertanding dua hari dua malam melawan ayahnya dan berkesudahan seri! Bahkan Kwee Seng sendiri yang begitu sakti, sampai dapat dihancurkan sulingnya oleh raksasa gundul ini. Sejenak Lu Sian meragu. Terang bahwa dia bukan lawan kakek itu. Akan tetapi Kam Si Ek telah dikempit dan dibawa lari, bagaimana ia dapat mendiamkannya saja? Gadis ini sudah mempersiapkan jarum-jarumnya lagi, akan tetapi melihat kakek itu tidak mempedulikannya dan malah lari makin cepat, ia berpikir dan tidak jadi menyerang, melainkan terus mengikuti dengan cepat pula, takut kalau-kalau tak dapat menyusul.

"Ia tentu tidak berniat membunuh Kam Si Ek."

"Kalau hendak membunuhnya, perlu apa dibawa-bawa lari? Agaknya Kam Si Ek tidak berdaya, kelihatannya lemas tentu sudah terkena totokan, kalau mau dibunuh sekali pukul juga mati."

Karena berpikir demikian maka Lu Sian tidak jadi menyerang secara nekat, melainkan kini ia membayangi Ban-pi Lo-cia yang terus lari memasuki sebuah hutan dikaki bukit.

Dengan hati-hati sekali Lu Sian menghampiri sebuah bangunan kuil tua yang berada didalam hutan. Ia tahu bahwa Ban-pi Lo-cia memasuki kuil itu maka ia tidak berani menerjang masuk secara sembrono. Bukan ia takut menhadapi bahaya, melainkan Lu Sian seorang gadis yang cerdik. Sia-sia saja kalau harus menempuh bahaya dan membiarkan dirinya dirobohkan atau ditangkap pula, akan gagallah usahanya menolong Kam Si Ek. Ia berindap menghampiri kuil dan mengintai. Senja telah datang akan tetapi cuaca diluar kuil belum gelap benar. Hanya disebelah dalam kuil yang tua dan rusak itu sudah gelap. Akan tetapi ia dapat mendengar suara Ban-pi Lo-cia yang parau diselingi suara ketawanya penuh ejekan.

"Heh-heh-heh, Kam-goanswe tentu banyak kaget. Untung saya keburu datang, kalau tidak tentu keselamatan Goanswe takkan dapat dipertahankan lagi."

Kembali kakek itu tertawa. Lu Sian merasa heran mendengar kata-kata ini dan ia mengerahkan pandang matanya untuk melihat sebelah dalam yang agak gelap. Setelah matanya biasa, ia dapat melihat bayangan Kam Si Ek duduk bersila diatas lantai, agaknya mengatur napas dan tenaga, sedangkan Ban-pi Lo-cia juga duduk bersandar tembok. Kam Si Ek menggerakkan kedua lengannya menjura, masih sambil bersila, dan terdengar suaranya yang nyaring,

"Losuhu (Bapak Pendeta) siapakah? Harap suka memperkenalkan diri, agar aku yang sudah menerima budi pertolongan akan dapat mengingat nama besar Losuhu."

Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha! Kam Si Ek, dengarlah. Aku bukan seorang hwesio seperti kau sangka, aku orang biasa. Sebaliknya kau seorang jenderal yang amat dibutuhkan orang pada saat seperti sekarang ini. Oleh karena itu, aku menolongmu tentu bukan sekali untuk melepas budi, melainkan untuk keperluan yang tiada bedanya dengan para penculikmu. Ha-ha-ha!"

"Hemmm, kiranya begitulah? Kalau begitu, siapapun adanya kau, dan betapapun tinggi kepandaianmu, tak mungkin kau akan dapat memaksa aku untuk tunduk dan mentaati perintahmu. Raja Liang bermaksud menculikku, akan tetapi kau lihat sendiri, banyak orang mencoba menggagalkan penculikannya. Kulihat pendeta, orang-orang Kang-ouw, dan para pengemis yang menyerbu. Aku boleh jadi terkenal dalam perang, akan tetapi aku sama sekali tidak terkenal diantara mereka. Kalau mereka juga berusaha menolongku, tentu juga bermaksud menguasaiku. Ah, alangkah bodoh dan sia-sia! Selama negara terpecah-pecah seperti sekarang, selama orang-orang besar dan pemimpin rakyat main berebutan, kemuliaan dan kedudukan, selama tentara dipergunakan untuk memerangi saudara sebangsa, aku Kam Si Ek takkan sudi mengeluarkan setetes pun keringat untuk membantu!"

Ban-pi Lo-cia bangkit berdiri, bertolak pinggang dan menundukkan muka memandang orang muda yang sedang duduk bersila itu.

"Ah, Kam Si Ek, tahukah kau siapa aku?"

"Kau seorang tua yang berilmu tinggi, sayang..."

"Eh, kenapa sayang?"

"Sayang bahwa seorang tua yang lihai seperti kau ini masih dapat diperalat oleh orang-orang yang haus akan kedudukan tinggi, yang ingin memperoleh kekuasaan dan kemuliaan diatas ratusan ribu mayat dari rakyat!"

"Ha-ha-ha! Kalau aku memperkenalkan diriku, tentu kau juga takkan mengenal namaku, karena kau bukan seorang kang-ouw, melainkan seorang ahli perang. Akan tetapi agaknya menarik bagimu kalau kukatakan bahwa aku menangkapmu untuk kuserahkan kepada rajaku di Khitan."

"Ahhh...!"

Kam Si Ek benar-benar terkejut mendengar ini. Ia sudah amat terkenal sebagai pemukul orang-orang Khitan sehingga di kalangan musuh besar ini, yaitu para prajurit Khitan, menjulukinya Im-kan-ciangkun (Panglima Akhirat)! Ia tahu bahwa orang-orang Khitan paling membencinya, maka tahulah Kam Si Ek bahwa kali ini ia tentu akan tewas. Akan tetapi ia sama sekali tidak sudi memperlihatkan rasa takut, maka ia lalu tertawa mengejek.

"Hemm, sejak dahulu aku tahu bahwa orang-orang Khitan amat licik dan pengecut..."

Ban-pi Lo-cia berseru keras dan diluar kuil, Lu Sian sudah siap dengan jarum-jarum dan pedangnya. Kalau kakek itu turun tangan membunuh Kam Si Ek, ia akan mendahuluinya dengan serangan jarum beracun disusul serbuannya ke dalam untuk mengadu nyawa!

"Apa kau bilang? Bangsa Khitan adalah bangsa yang paling besar, bangsa paling gagah perkasa. Bagaimana kau berani menyebut licik dan pengecut?"

Posting Komentar