Suling Emas Chapter 47

NIC

"Ahh, bagaimana Ong-ya masih dapat menyangsikan kami? Tidak sudi kami menjadi anjing penjilat mengekor kepada raja pemberontak! Hamba berdua malah akan masuk hutan menjadi perampok, mengacaukan wilayah kerajaan Liang!"

"Bagus! Nah, kau perhatikan baik-baik ilmu ini untuk bekal!"

Kakek itu lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya sambil tiada hentinya memberi petunjuk bagaimana kedudukan dan perubahan kaki harus dilakukan.

Agaknya kedua orang bekas pemikul itu sudah pernah menerima pelajaran ini dan sekarang mereka mendapatkan petunjuk tentang rahasia-rahasianya, maka dalam waktu setengah malam, mereka sudah berhasil menyelesaikan pelajaran ilmu silat yang luar biasa itu. Liu Lu Sian demikian tertariknya sehingga ia bertahan untuk mengintai terus sampai semalam suntuk. Ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang diwariskan kakek lumpuh itu kepada dua orang bekas pemikulnya, merupakan ilmu pilihan yang termasuk tingkat tinggi. Ia percaya bahwa biarpun baginya sendiri ilmu itu masih tidak usah mendatangkan kuatir, namun menghadapi orang lain, dua orang bekas pemikul ini tentu merupakan dua orang perampok yang amat tangguh dan berbahaya. Ilmu silat tadi gerakan-gerakannya seperti ilmu silat Sin-coa-kun, agaknya ciptaan Si Kakek Lumpuh mengambil contoh ular pula.

Teringat ini, ia membayangkan betapa hebatnya kepandaian Si Kakek Lumpuh, dan kalau dibanding dengan ayahnya, agaknya mereka itu seimbang. Dia sendiri terang tidak akan dapat menangkan Kong Lo Sengjin, akan tetapi kalau di situ ada Kwee Seng, tentu ia akan berani keluar mencoba-coba. Hanya ayahnya, atau Kwee Seng, yang agaknya akan dapat menandingi kakek ini dalam pertandingan yang luar biasa tegang dan ramainya. Menjelang pagi, pada saat ayam ramai berkokok menyambut munculnya matahari yang sudah mengirim lebih dulu cahaya merahnya, dua orang bekas pemikul itu berpamit, kemudian berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu. Kong Lo Sengjin lalu merenggut lepas dua batang bambu bekas pikulan, kemudian ia... berjalan dengan langkah-langkah lebar, dengan kedua kaki masih bersila, tergantung di antara dua batang bambu yang menggantikan sepasang kakinya.

Biarpun kedua kakinya terganti bambu yang terpegang kedua tangannya, namun dibandingkan dengan orang yang tidak lumpuh, jalannya jauh lebih sigap dan cepat. Bahkan dibandingkan dengan ahli-ahli ilmu lari cepat, kakek lumpuh ini masih menang jauh! Sebentar saja bayangannya lenyap kearah timur dari mana malam tadi muncul. Liu Lu Sian menarik napas panjang. Sayang tidak ada Kwee Seng disitu. Kalau ada, agaknya pemuda sakti itu tidak akan mau melepaskan kakek lumpuh itu begitu saja. Berbeda sekali dengan dia. Andaikata dia selihai Kwee Seng, ia akan mengajak kakek itu bertempur, bukan sekali-kali untuk membalaskan kematian sekian banyaknya pengungsi yang menjadi korban, melainkan untuk diukur kepandaiannya, karena ia memang mempunyai watak tidak mau kalah oleh siapapun juga. Kalau Kwee Seng tentu lain, tentu menggempur kakek itu karena telah membunuhi orang tak bersalah.

Teringat akan Kwee Seng, wajah Lu Sian menjadi muram dan agaknya ia kecewa. Betapapun juga, Kwee Seng adalah seorang pemuda tampan dan menyenangkan, apalagi amat mencintainya, merupakan seorang teman seperjalanan yang lumayan, daripada sekarang ini berjalan tanpa teman! Akan tetapi setelah wajah Kam Si Ek terbayang lenyaplah segala kekecewaan dan pemikiran tentang Kwee Seng, dan tiba-tiba ia teringat akan keadaan Kam Si Ek yang berbahaya, timbul kekhawatirannya dan segera ia meninggalkan tempat itu untuk cepat-cepat pergi ke kota raja dari Kerajaan Liang, yaitu kota raja Lok-yang yang terletak di Propinsi Honan. Karena ia sama sekali kehilangan jejak Kam Si Ek dan disepanjang jalan tak seorang pun pernah melihat jenderal muda ini, Lu Sian menduga bahwa andaikata benar pemujaan hatinya itu diculik oleh kaki tangan Kerajaan Liang, agaknya mereka itu membawa Kam Si Ek ke kota raja melalui jalan sungai.

Maka ia pun segera mencari tukang perahu dan menyewa perahu itu ke timur. Kota raja Lok-yang letaknya masih diLembah Sungai Kuning, namun agak jauh dari sungai, disebelah selatan. Pada saat itu, Sungai Kunimg airnya penuh, bahkan dibeberapa bagian membanjir, meluap sampai jauh dari sungai, menyelimuti ratusan hektar sawah ladang. Dusun-dusun yang berada dilembah, yang terlalu dekat sungai, sudah banyak yang dilanda banjir. Namun karena airnya mengalir tenang, Si Tukang Perahu berani melayarkan perahunya menurut aliran air. Keadaan dikanan kiri sungai amat menyedihkan dan perjalanan dengan perahu kali ini bagi Lu Sian benar-benar tidak menyenangkan sama sekali. Lenyap pemandangan alam yang biasanya amat indah, terganti keadaan yang mengenaskan, sungguhpun Lu Sian tidak ambil peduli terhadap bencana alam ini. Hatinya sendiri sedang penuh dengan rasa gelisah kalau ia memikirkan nasib Kam Si Ek.

"Tahan perahumu, minggir kesana...!"

Tiba-tiba Lu Sian memerintah tukang perahu ketika ia melihat sebuah perahu besar berlabuh disebelah kanan. Ia merasa curiga.

Perahu itu besar dan mewah, sama sekali bukan perahu nelayan miskin, patutnya perahu bangsawan atau hartawan yang sedang pesiar. Saat seperti itu sama sekali bukan saat yang patut untuk berpesiar, maka adanya perahu ditempat sunyi itu sungguh mencurigakan hatinya. Apalagi ketika ia melihat bahwa dusun ditempat itu juga sudah tenggelam oleh air bah, hanya satu-satunya rumah gedung yang berada didusun, yang kebetulan letaknya ditempat agak tinggi masih belum kemasukan air. Tak seorang pun manusia tampak di dusun yang kebanjiran itu, agaknya semua penghuninya telah pergi mengungsi. Kalau demikian halnya, mengapa perahu besar berada di situ dan perahu itu pun kosong tidak ada orangnya? Setelah perahu kecil itu minggir dan Lu Sian mendapat kenyataan bahwa perahu besar itu benar-benar kosong ia berkata,

"Kau tunggu disini, aku hendak menyelidiki kemana perginya orang-orang dari perahu ini!"

Tanpa menanti jawaban, Lu Sian menggerakkan tubuhnya meloncat keatas wuwungan rumah yang terendam air, kemudian dengan kelincahan yang mengagumkan ia berloncatan dari rumah ke rumah, kadang-kadang melalui pohon yang juga terendam air, menuju ke rumah gedung yang masih belum terendam air. Tukang perahu itu melongo, lalu bergidik ia sudah mengira bahwa penumpangnya adalah seorang wanita kang-ouw yang pandai ilmu silat, kalu tidak demikian tak mungkin gadis muda dan cantik jelita ini berani melakukan perjalanan seorang diri, apalagi gadis ini membawa pedang! Akan tetapi ia hanya mengira Lu Sian seorang gadis yang pandai main pedang seperti biasa dipertunjukan para penjual obat, siapa kira gadis ini dapat berloncatan seperti itu.

Jangan-jangan dia bukan manusia, pikir Si Tukang Perahu. Diwaktu sungai banjir meluap-luap seperti itu, menurut cerita rakyat, siluman-siluman pada bermunculan, juga para dewi-dewi yang sengaja turun dari khayangan untuk menggempur para siluman yang hendak merusak manusia dengan air banjir. Biarpun rakyat tak pernah melihatnya, akan tetapi selalu terjadi pertarungan hebat antara para dewa-dewi melawan siluman-siluman, dan betapapun juga dewa-dewi yang menang dan air yang digerakkan siluman mengamuk kedusun-dusun itu kembali kesungai pula seperti biasa! Kini melihat gadis penyewa perahunya pandai "terbang"

Melayang-layang dari rumah kerumah, Si Tukang Perahu bergidik.

"Tidak tahu dia itu dewi atau siluman, akan tetapi sinar matanya tajam mengerikan. Lebih baik aku pegi sebelum ia kembali!"

Melihat Lu Sian berloncatan makin jauh, diam-diam tukang perahu segera mendayung perahunya ketengah lagi dan melarikan diri dengan perahunya dari tempat itu! Ia tidak peduli bahwa uang sewa perahu belum dibayar, ia sudah merasa lega dan puas dapat meninggalkan gadis itu, karena siapa tahu, bukan dia menerima pembayaran, malah dia harus membayar nyawa.

Liu Lu Sian tidak tahu bahwa perahunya telah pergi meninggalkannya, karena ia sedang berloncatan mendekati gedung dengan hati berdebar penuh harapan akan dapat melihat Kam Si Ek. Ia meloncat keatas genteng gedung itu dan dari atas genteng ia mengintai kedalam. Ternyata didalamnya terdapat enam orang anak perahu. Mereka duduk menghangatkan tubuh didekat tempat perapian sambil makan roti kering dan dendeng. Terdengar mereka bersungut-sungut.

"Kita ditinggalkan disini, untuk apa? Kalau banjir makin besar, kemana kita harus bawa perahu? Ah, lebih enak menjadi pegawai didarat kalau begini. Banyak teman dan aman. Masa untuk mengawal seorang tawanan saja harus menggunakan pasukan lima puluh orang lebih? Dan keadaan tawanan itu lebih enak daripada kita!"

"Sam-lote, jangan kau bilang begitu."

Cela temannya.

"Tawanan itu memang seorang penting, siapa tidak mengenal Jenderal Kam Si Ek? Malah aku mendengar dari anggota pasukan, bahwa komandan mereka menerima perintah khusus dari kota raja untuk menghormati Kam-goanswe sebagai tamu agung. Kita hanya petugas-petugas biasa, mau apa lagi?"

Posting Komentar