Setelah menghaturkan terima kasih, ia tergesa-gesa membawa keluarganya meninggalkan tempat itu. Setelah rombongan ini pergi, sampai sore hari, hanya serombongan pengungsi lagi yang lewat disitu, terdiri dari belasan orang yang kesemuanya, dari anak bayi sampai kakek-kakek, dibunuh oleh kakek lumpuh ini karena mereka itu semua hendak mengungsi ke kota raja Liang, yaitu kota Lok-yang! Bertumpuk-tumpuk mayat pengungsi ditempat itu, dan Si Kakek Lumpuh lalu pergi dari situ, duduk diatas pikulan yang berupa dipan bambu digotong dua orang pemikulnya. Liu Lu Sian adalah puteri ketua Beng-kauw. Semenjak kecil gadis ini berdekatan dengan orang kang-ouw yang sakti dan aneh, tidak heran pula melihat kekejaman-kekejaman dilakukan orang. Ayahnya dan para pimpinan Beng-kauw juga merupakan orang-orang aneh yang dapat membunuh orang lain begitu saja tanpa berkedip.
Akan tetapi kini menyaksikan kakek lumpuh yang membunuh para pengungsi tanpa pilih bulu, laki perempuan tua muda, sampai bayi dibunuh hanya karena mereka hendak mengungsi ke Lok-yang, benar-benar menjadi kaget dan bergidik. Bukan main kejamnya kakek lumpuh ini, pikirnya. Biarpun urusannya itu tiada tiada sangkut-pautnya dengan dirinya, namun ia sudah merasa tertarik untuk mengikuti kakek lumpuh itu, dan kalau perlu ia hendak turun tangan mencoba-coba kehebatan Si Kakek Lumpuh yang ia percaya tentu mempunyai kepandaian tinggi sekali. Kakek itu bermalam disebuah gubuk rusak dipinggir sawah, dilayani oleh kedua orang pemikulnya. Betapa herannya hati Lu Sian ketika kakek itu mengeluarkan sekantung uang emas, memberikan kepada kedua pemikulnya sambil berpesan agar besok kedua orang itu mencarikan sebuah kereta dan kuda yang baik untuknya.
"Aku hendak melakukan perjalanan jauh ke selatan, kalian mana kuat memikul aku terus?"
Demikian katanya dengan suara perlahan akan tetapi berpengaruh sedangkan kalimatnya teratur baik seperti ucapan seorang pembesar atau bangsawan. Dua orang pemikul itu tidak banyak cakap, akan tetapi mereka itu memperlihatkan sikap menghormat sekali, menyanggupi dan menyebut paduka kepada kakek itu, kadang-kadang menyebut Ong-ya atau Taijin.
Malam itu bulan bersinar penuh,Lu Sian masih mengintai disekitar tempat itu ketika ia melihat berkelebatnya bayangan yang gerakannya cepat bukan main. Tahu-tahu bayangan itu sudah tiba didepan gubuk dimana Si Kakek Lumpuh berada, dan terdengar suara erang laki-laki yang parau tetapi nyaring.
"Hee, Couw Pa Ong! Kau terkenal dengan julukan Sin-jiu (Tangan Sakti), apakah tangan saktimu itu hanya untuk membunuhi rakyat tidak berdosa? Sin-jiu Couw Pa Ong, kalau ada kepandaian, keluarlah!"
Terdengar suara tertawa mengejek dari dalam gubuk.
"Couw Pa Ong Si Raja Muda sudah lenyap bersama lenyapnya Kerajaan Tang yang besar! Akan tetapi aku Si Tua Bangka Kong Lo Sengjin akan membunuh setiap orang yang tidak setia kepada Dinasti Tang. Orang usilan, kau siapa?"
Orang diluar itu tertawa juga,
"Ha-ha-ha, Couw Pa Ong! Setelah kau kalah dan remuk kedua kakimu, kau merasa malu dengan kekelahanmu sehingga kau mengganti nama? Ha-ha-ha, sungguh lucu! Biarpun mengganti nama seribu kali, siapa tidak akan mengenal Sin-jiu Couw Pa Ong yang besar namanya akan tetapi kini sudah bangkrut dan lumpuh? Pinceng Houw Hwat Hwesio dari Siauw-lim-si, tidak akan mendiamkan saja melihat kau bertindak sewenang-wenang!"
Dari dalam gubuk terdengar suara meludah.
"Cuhhh! Segala macam pendeta! Kau selalu hanya membantu yang menang, untuk yang kuat memberi
sumbangan, untuk orang-orang kaya dan orang-orang segolongan. He, pendeta tengik! Selama kau menjadi pendeta pernahkah kau berdoa untuk si miskin jembel kelaparan? Pernahkah kau berdoa untuk si jahat agar kembali ke jalan yang benar? Pernah kau membantu untuk pelaksanaan doa-doamu dengan perbuatan nyata? Apa jasamu untuk negara dan bangsa? Apakah orang-orang menjadi baik setelah kau setiap hari bersembahyang?"
"Cukup! Kau bekas raja muda memang terkenal jahat, tidak mengenal Thian!"
Si Hwesio marah, memutar toya (tongkat panjang) dan mendekati pintu gubuk.
"Ha-ha-ha-ha! Apakah tandanya orang mengenal Tuhan? Hanya karena gerak bibir dan goyang lidah cukup menjadi tanda mengenal Tuhan? Dengar, pendeta tengik, orang bisa saja mengenal Tuhan tanpa mempedulikan perilaku kebajikan, akan tetapi tak mungkin orang mengabdi kebajikan tanpa mengenal Tuhan! Perbuatan nyata yang menjadi ukuran, bukan gerak bibir dan goyang lidah!"
"Apa perbuatanmu baik? Ihhh, manusia yang sudah gelap hatinya! Kalau pinceng (aku) tidak turun tangan menghukummu mewakili Thian, kau tentu akan makin merajalela!"
Setelah berkata demikian, hwesio itu berkelebat memasuki pintu gubuk. Liu Lu Sian memandang penuh perhatian. Gerakan hwesio cukup hebat dan ia pikir tentu kakek lumpuh itu akan menghadapi lawan tangguh. Akan tetapi setelah hwesio itu menerobos masuk, ia hanya mendengar suara ketawa Si Kakek Lumpuh, dibarengi suara
"krakkk!"
Dan disusul melayangnya tubuh hwesio itu keluar gubuk bersama toyanya yang sudah patah-patah menjadi tiga potong! Akan tetapi hwesio itu bukan terlempar melainkan melompat keluar. Agaknya ia gentar dan juga marah.
"Couw Pa Ong orang buronan (pelarian)! Pinceng datang memang bukan untuk melawanmu seorang diri, akan tetapi hendak menyampaikan tantangan! Kalau memang gagah, datanglah ditepi sungai, kami Wei-ho Si-eng (Empat Orang Gagah Sungai Wei-ho) menantimu malam ini juga!"
"Ha-ha-ha! Aku Kong Lo Sengjin mana kenal segala cacing tanah yang bernama Wei-ho Si-eng segala? Akan tetapi jangan kira karena kedua kakiku lumpuh, kalian empat ekor cacing tanah dapat menghinaku. Kalian tentulah empat orang pengkhianat dan penjilat Kerajaan Liang, harus kubunuh. Kau tunggulah, sekarang juga aku datang memenuhi tantanganmu!"
Hwesio itu meleset pergi dengan gerakan cepat sekali. Liu Sian makin tertarik. Ia sudah mendengar dari ayahnya akan nama Sin-jiu Couw Pa Ong yang terhitung seorang diantara tokoh-tokoh besar di dunian persilatan.
Menurut cerita ayahnya, Couw-Pa Ong adalah seorang Raja Muda Kerajaan Tang yang memiliki ilmu silat tinggi sekali, seorang yang mempertahankan Kerajaan Tang, akan tetapi karena pengeroyokan orang-orang gagah yang berusaha menjatuhkan kerajaan itu, ia kalah dan terpukul hancur kedua kakinya. Semenjak itu orang tidak mendengar lagi namanya dan ia dianggap sebagai seorang pelarian yang selalu dicari oleh Kerajaan Liang untuk dibinasakan. Sekarang ia secara kebetulan bertemu dengan tokoh ini, menyaksikan keganasan yang luar biasa dan juga sebentar lagi ia akan menyaksikan kelihaian kakek lumpuh ini menghadapi empat orang gagah yang berjuluk Wei-ho Si-eng. Maka ketika ia melihat kakek itu keluar dari gubuk, duduk di atas dipan bambu dan dipukul dua orang pelayannya, secara diam-diam ia mengikuti dari jauh.