Dua kali cambukan mengenai lengan tentara yang hendak berbuat tidak sopan itu, disusul bentakan nyaring,
"Mundur kau! Masuk barisan kembali! Di wilayah Kam-goanswe, apakah kau berani hendak mencemarkan namaku? Orang tolol!"
Kiranya yang mencambuk dan membentak itu adalah Si Opsir Muda. Wanita itu cepat-cepat menggendong anaknya yang menangis dan lenyap kebelakang sebuah rumah. Akan tetapi mata opsir tinggi besar hitam itu kini mengerling kearah Lu Sian, jelas bayangan matanya penuh kekaguman dan kekurangajaran. Akan tetapi agaknya si opsir menahan napsunya dan melanjutkan kudanya, memimpin barisannya menuju ke benteng. Hanya sekali lagi ia menengok dan tersenyum kepada Lu Sian. Juga hampir semua anggota barisan menengok kearahnya, tersenyum-senyum menyeringai.
Muak rasa hati Lu Sian dan ia masuk kembali kedalam warung. Akan tetapi kejadian itu membuat ia duduk termenung, lenyap nafsu makannya. Kam Si Ek agaknya amat disegani oleh para tentara pikirnya. Benar-benar seorang muda yang mengagumkan. Akan tetapi mengapa pemuda seperti itu suka menjadi seorang jenderal, padahal sebagian besar anak buahnya terdiri dari orang-orang yang suka mempergunakan kedudukan dan kekuasaan serta kekuatan menindas Si Lemah? Ia harus menguji kepandaiannya. Setelah rombongan tentara itu lenyap berangsur-angsur penduduk kembali ke rumah masing-masing jalan penuh lagi oleh orang-orang yang hilir mudik. Pemilik warung juga datang kembali dan ia terheran-heran melihat Lu Sian masih duduk disitu,
"Eh, kau masih berada disini, Nona? Hebat, benar-benar Nona memiliki ketabahan yang luar biasa. Untung bahwa dusun ini dekat dengan benteng Kam-goanswe, kalau tidak, tentu sudah rusak binasa dusun ini sejak lama seperti dusun-dusun lain yang dilewati rombongan seperti itu."
"Lopek (Paman Tua), apakah semua tentara selalu berbuat kejahatan seperti itu terhadap rakyat?"
"Boleh dibilang semua. Tergantung kepada komandannya. Kalau si komandan baik, anak buahnya pun baik. Ah, kalau saja semua perwira seperti Jenderal Kam, tentu hidup ini akan lebih aman dan tenteram. Semoga orang seperti Kam-goanswe diberi panjang umur!"
Lu Sian termenung. Orang muda seperti Kam Si Ek memang sukar dicari keduanya. Dalam hal ilmu silat, tentu saja tidak mungkin dapat mengalahkan Kwee Seng. Akan tetapi dalam hal-hal lain Kam Si Ek jauh menang kalau dibandingkan dengan Kwee Seng. Teringat ia penuh kekaguman betapa Kam Si Ek menghadapi rayuan tiga orang wanita cantik. Dan ia merasa jantungnya berdebar ketika ia teringat ucapan Kam Si Ek sebulan lebih yang lalu ketika panglima muda itu naik kepanggung dipesta Beng-kauw untuk menolong seorang pemuda yang kalah. Masih terngiang ditelinganya kata-kata Kam Si Ek ketika itu,
"Hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya hatiku menjadi pemenang .... Akan tetapi .... Bukan beginilah caranya. Maafkan, Nona, biarlah aku mengaku kalah terhadapmu."
Itulah kata-katanya, kata-kata yang jelas merupakan pengakuan bahwa pemuda ganteng itu juga "ada hati"
Terhadapnya.
Malam hari itu, dengan mengenakan pakaian ringkas akan tetapi setelah menghias diri serapi-rapinya, Lu Sian membawa pedangnya, berlari cepat menuju ke benteng Kam Si Ek. Ia menjadi heran dan juga lega melihat bahwa penjagaan disekitar benteng sekarang sama sekali tidaklah sekuat kemarin, bahkan beberapa orang penjaga yang berada dipintu benteng, kelihatan sedang bermain kartu dibawah sinar pelita reng. Dengan mudah Lu Sian lalu melompati tembok benteng melalui sebatang pohon, dan beberapa menit kemudian ia telah berloncatan keatas genteng. Akan tetapi ketika ia berada diatas genteng gedung tempat tinggal Kam Si Ek yang berada ditengah-tengah kumpulan bangunan itu, ia mendengar suara orang berkata-kata dengan keras, seperti orang bertengkar.
Cepat ia berindap dan dengan hati-hati melayang ke bawah memasuki gedung dari belakang, dan dilain saat ia mengintai dari sebuah jendela ke dalam ruangan dimana terjadi pertengkaran. Ia melihat seorang wanita berpakaian serba putih yang bukan lain adalah Lai Kui Lan kakak seperguruan Kam Si Ek. Kui Lan berdiri ditengah ruangan sambil bertolak pinggang, mukanya kemerahan metanya berapi-api marah sekali. Di hadapannya duduk tiga orang perwira, dengan muka tertawa-tawa mengejek. Seorang di antaranya, yang duduk ditengah bukan lain adalah komandan pasukan yang tadi dilihat Lu Sian ketika pasukan lewat didusun.
"Lai Li-hiap, sebagai bekas pembantu Sutemu, saya harap Li-hiap (Nona Yang Gagah) suka ingat bahwa urusan mengenai ketentaraan adalah urusan kami, Li-hiap tidak berhak mencampurinya."
Kata perwira yang duduk dikiri.
"Betul, sudah cukup lama kami terpaksa bersabar dan tak berkutik di bawah kekerasan Kam-goanswe. Sekarang Phang-ciangkun (Panglima Phang) yang memegang komando di benteng ini, Lai-hiap tidak berhak mencampuri urusan kami!"
Kata perwira ke dua yang duduk di sebelah kanan.
"Sudah terlalu banyak Li-hiap biasanya mencampuri urusan ketenteraan, sewenang-wenang menghukum anak buah kami padahal biarpun Li-hiap adalah kakak sepergurun Kam-goanswe namun Li-hiap tetap seorang biasa, bukan anggauta ketentaraan."
Makin marahlah Lai Kui Lan. Ia menuding telunjuknya ke arah dua orang bekas pembntu adik seperguruannya itu.
"Kalian manusia-manusia yang pada dasarnya sesat! Suteku menjalankan disiplin keras, menghukum tentara menyeleweng, itu sudah semestinya! Dan aku membantu Suteku menegakkan nama baik benteng ini, mencegah anak buah melakukan penganiayaan kepada rakyat, juga sudah merupakan kewajiban setiap orang gagah. Didepan Sute, kalian berpura-pura baik, sekarang, baru setengah hari Sute pergi memenuhi panggilan gubernur untuk menghadapi bahaya serangan bangsa Khitan, kalian sudah memperlihatkan sifat asli kalian yang buruk! Membiarkan anak buah kalian menculik wanita, merampas harta benda rakyat. Orang-orang macam kalian ini mana patut memimpin tentara? Pantasnya dikirim ke neraka!"
Dua orang perwira itu marah dan bangkit berdiri sambil mencabut golok mereka, sedangkan Kui Lan masih berdiri tegak tanpa mencabut senjata, memandang dengan senyum mengejek karena ia sudah maklum sampai di mana kepandaian kedua orang bekas pembantu sutenya itu. Akan tetapi komandan baru benteng itu, Phang-ciangkun yang tinggi besar dan berkulit hitam itu segera berdiri, tertawa dan menjura kepada Kui Lan.
"Nona, betapapun juga, kedua orang saudara ini berkata benar bahwa semenjak saat berangkatnya Sutemu tadi, secara sah akulah yang menjadi komandan di sini dan bertanggung jawab terhadap semua peristiwa. Nona, sebagai seorang yang sudah lama hidup di dalam benteng, tentu Nona tahu akan peraturan-peraturan di sini, tahu bahwa segala apa yang terjadi adalah tanggung jawab sepenuhnya daripada komandan benteng. Mengapa Nona sekarang hendak turun tangan sendiri? Bukankah ini
berarti Nona melakukan pemberontakan dan sama sekali tidak memandang mata kepada komandan barunya? Nona, harap nona suka bersabar dan daripada kita bertengkar yang hanya akan menimbulkan hal-hal tidak baik dan memalukan kalau terdengar anak buah, lebih baik mari kita bergembira, makan minum bersama dan bersenang-senang!"
Setelah demikian, komandan muda itu memandang kepada Kui Lan dengan sinar mata bercahaya, muka berseri-seri mulut tersenyum, jelas membayangkan maksud hati yang kurang ajar. Hampir meledak rasa dada Kui Lan saking marahnya. Akan tetapi ia tahu bahwa sutenya sendiri akan marah kalau ia menimbulkan keributan didalam kekuasaan komandannya, maka ia segera berkata keras,
"Aku akan menyusul Sute, akan kuceritakan semua dan awaslah kalian kalau dia kembali!"
Setelah berkata demikian, ia membalikkan tubuhnya dan meloncat keluar dari dalam rumah itu. Tiga orang perwira itu tertawa-tawa bergelak.
"Ha-ha-ha, perempuan galak itu pergi! Baik sekali! Dia memang akan mendatangkan kesulitan saja kalau tetap tinggal disini. Dia hendak menyusul Kam Si Ek? Ha-ha-ha!"
Kata seorang yang duduk dikiri. Temannya, yang duduk di kanan berkata pula sambil tertawa,
"Begitu datang ke kota, Kam Si Ek akan terjeblos ke dalam perangkap. Sucinya menyusul, biarlah ditangkap sekali. Phang-ciangkun, mari kita bersenang-senang makan minum sepuasnya, dan anak buah kami tadi berhasil menangkap beberapa ekor anak ayam, kau boleh pilih yang paling mungil, ha-ha-ha!"
Mereka bertiga tertawa-tawa gembira, akan tetapi hanya sebentar karena secara tiba-tiba saja mereka berhenti tertawa, berdiri dan mencabut senjata.
Didepan mereka telah berdiri seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa. Gadis yang bertubuh ramping padat, berpakaian indah tapi ringkas sehingga mencetak bentuk tubuhnya, rambutnya yang hitam gemuk digelung keatas, diikat dengan pita sutera kuning, wajahnya jelita sekali dengan sepasang mata bintang, hidung mancung dan bibir merah. Begitu dia muncul, ruangan itu penuh bau yang harum semerbak. Ditangannya tampak sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya, gagang pedang berupa kepala naga. Tiga orang perwira itu berdiri ternganga, tidak hanya kaget melihat tadi ada sinar berkelebat dan ternyata berubah menjadi seorang gadis, kan tetapi juga terpesona, kagum menyaksikan kecantikan yang tiada taranya ini. Phang-ciangkun agaknya teringat akan gadis ini, gadis yang siang tadi keluar dari sebuah rumah makan. Ia adalah seorang yang sudah banyak mengalami pertempuran, seorang yang sudah mengeras oleh tempaan pengalaman, maka cepat ia dapat menenteramkan hatinya, malah segera tertawa dan berkata.
"Ah, Nona yang cantik seperti bidadari! Kau sudah menyusul datang? Apakah hendak menemaniku makan minum?"
Akan tetapi tiba-tiba ia berteriak kaget karena tahu-tahu meja didepannya telah melayang ke arahnya. Tidak tampak siapa yang melakukan ini, hanya kelihatan gadis jelita itu sedikit menggerakkan kaki. Dengan goloknya, Phang-ciangkun menangkis dan membacok meja yang pecah menjadi dua sedangkan dia sendiri melompat kepingir, akan tetapi tetap saja ada kuah sayur asin yang menyambar kemukanya, membuat matanya pedas sekali. Dua orang temannya berseru marah dan meloncat maju dengan golok di tangan, menerjang Lu Sian.
"Tahan!"
Teriak Phang-ciangkun, yang betapapun juga, merasa sayang kepada gadis yang luar biasa cantiknya ini, tidak ingin melihat gadis itu terbunuh dan ingin menawannya hidup-hidup. Dua orang temannya menahan golok dan meloncat mundur.