Kwee Seng mulai tidak sabar.
".... dan... kita menjadi suami isteri sampai hujan berhenti!"
"Apa?"
Kini Kwee Seng terloncat keatas dan jatuh berdebuk diatas tanah. Begitu saja ia terguling dari atas pembaringan batu, saking kagetnya. Ia terhenyak diatas lantai, terlongong keheranan, seketika menjadi bisu tak dapat mengeluarkan suara. Setelah lidahnya tidak kaku lagi, suara yang dapat keluar dari mulutnya hanya,
"apa...? ah... bagaimana...?"
Ia tidak percaya kepada telinganya sendiri. Suara nenek itu penuh kegetiran, terdengar lirih mengandung rasa malu.
"Hanya itu permintaanku. Kita menjadi suami isteri sampai pada saat kau berhasil keluar dari sini, yaitu setelah hujan berhenti."
Kwee Seng meloncat berdiri, mengepal tinjunya, mengerutkan keningnya.
"Apa? Gila ini! Tak mungkin!"
Sunyi sejenak, lalu terdengar nenek itu tersedu-sedu menangis, ditahan-tahan sehingga suara tangisnya tertutup, agaknya kedua tangan nenek yang kecil itu menutupi mulut dan hidung agar sedu sedannya tidak terlalu keras. Kemudian terdengar suara nenek itu makin jauh dari situ, diantara tangisnya,
"Ah, aku tahu...kau tentu menolak..."
Kwee Seng terduduk diatas pembaringan batu, ada sejam lebih tak bergerak-gerak, seakan-akan ia sudah pula berubah menjadi batu. Suara sedu-sedan nenek itu seakan-akan pisau menusuk-nusuk jantungnya. Apakah nenek itu sudah menjadi gila? Nenek-nenek yang melihat keriput di mukanya tentu berusia enam puluh tahun kurang lebih, bagaimana ingin menjadi isterinya? Mana ia sudi melayani kehendak nenek yang gila-gilaan ini? Menjemukan sekali! Sialan! Kwee Seng mengumpat diri sendiri. Ada wanita yang mencintanya, seorang nenek-nenek hampir mati! Mana mungkin ia membalas cinta seorang nenek-nenek yang buruk rupa? Teringat ia akan Ang-siauw-hwa. Teringat pula Liu Lu Sian.
Gadis puteri Beng-kauw itu pun menolak cintanya. Padahal ia tergila-gila kepada nona itu. Penolakan cinta yang menyakitkan hati. Kwee Seng terkejut teringat akan hal ini. Nenek itu pun mencintanya, mencinta dengan suci, sudah dibuktikan dengan perawatan dan pelayanan yang demikian sungguh-sungguh penuh kasih sayang selama seribu hari! Dan dia menolak cinta nenek itu. Menolak begitu saja! Padahal nenek itu pun hanya menghendaki pembalasan cinta hanya untuk beberapa hari lamanya! Ah, betapa sakit hati nenek itu, dapat ia membayangkannya. Ia menjadi seorang yang tak kenal budi! Mungkin nenek itu pun hanya ingin diakui sebagai isteri saja, hanya ingin ia dekati dan ia sebut isteri, tak lebih daripada itu. Mungkin nenek itu, ingin menjadikan pengalaman manis ini sebagai kenang-kenangan manis untuk dibawa mati!
Nenek ini semenjak kecil berada disini, demikian pengakuannya beberapa hari yang lalu secara pendek ketika ia tanya. Berarti bahwa nenek ini tak pernah mengalami dewasa didunia ramai! Sebagai wanita yang selamanya tak pernah menjadi isteri orang, tentu timbul keinginan untuk menerima perlakuan manis dari seorang pria yang mengaku sebagai suaminya! Ah, betapa bodohnya. Apa sih artinya pengorbanan sekecil ini? Hanya bermain sandiwara, menyebut nenek itu sebagai isteri, bicara manis dan menghibur dengan kata-kata penuh sayang. Kiranya cukup bagi Si Nenek yang tak mungkin menghendaki lebih daripada itu. Berjam-jam Kwee Seng duduk termenung. Terjadi perang didalam hatinya sendiri, sedangkan suara sedu-sedan nenek itu tetap terdengar olehnya makin lama makin menusuk jantung.
Teringat ia akan pengalamannya bersama Ang-siauw-hwa. Selama ia hidup, baru sekali itu ia bercinta kasih dengan seorang wanita. Mencinta dan dibalas cinta. Merasai kemesraan seorang kekasih yang mencinta sepenuh hatinya. Mendengar bisikan halus yang menyatakan cinta kasih Ang-siauw-hwa, melihat mata indah dari dekat, mata yang memandang kepadanya penuh bayangan kasih sayang, mata yang..! Kwee Seng tersentak kaget. Mata itu! Mata nenek itu! Itulah mata Ang-siauw-hwa! Tak salah lagi. Mata Ang-siauw-hwa Si Kembang Pelacur Telaga Barat. Sama jernihnya, sama lebarnya, sama tajamnya dan lirikannya pun sama. Mata Ang-siauw-hwa! Pantas ia merasa seperti pernah mengenal mata itu apabila Si Nenek memandangnya.
"Ahhh...!"
Terdengar Kwee Seng berseru melalui kerongkongannya. Akan tetapi Ang-siauw-hwa sudah mati. Hanya persamaan yang kebetulan saja. Banyak mata wanita yang cantik-cantik hampir serupa dan agaknya nenek ini dahulu pun seorang wanita cantik. Seorang wanita terpelajar dan cantik jelita. Kecantikan hanya sebatas kulit. Kalau orang sudah mencinta, apa artinya usia? Apa artinya keburukan rupa? Nenek itu masih menangis terus. Dari suara tangisnya, Kwee Seng tahu bahwa nenek itu tentu pergi menyendiri di kamar kitab.
Memang seringkali nenek itu tidur disana, ditempat yang sunyi, tempat istirahat yang paling jauh dalam "rumah tinggal"
Itu. Kalau ia menangis terus sampai jatuh sakit dan mati, maka akulah pembunuhnya! Aku membalas budinya dengan menghancurkan hatinya. Ah, betapa rendah perbuatan ini! Kwee Seng berdiri, meraba-raba dalam gelap, membawa pelita dan batu api, akan tetapi tidak berani menyalakannya. Pertama, karena ia takut kalau-kalau nenek itu marah melihat ia menyalakan pelita. Kedua, karena untuk melakukan "sandiwara"
Yang bertentangan dengan hatinya ini, lebih baik di dalam gelap, tanpa melihat wajah Si Nenek! Ia meraba-raba dan akhirnya kedua kakinya yang sudah hafal keadaan disitu, membawanya kedepan pintu kamar kitab. Nenek itu masih terisak-isak perlahan.
"Nek... aku datang..."
"...pergi! Mau apa lagi kau datang? Kalau kau mengejekku, mau menghinaku..., demi setan... akan kubunuh kau!"
"Tidak, aku berhutang budi kepadamu, berhutang nyawa, bagaimana aku sampai hati melukai hatimu? Aku datang kepadamu untuk... untuk memenuhi permintaanmu..."
Tiba-tiba isak tangis itu berhenti dan sejenak keadaan menjadi sunyi sekali. Tak terdengar sesuatu oleh Kwee Seng, seakan-akan nenek itu tidak hanya berhenti menangis tapi juga berhenti bernapas! Kemudian tedengar gerakan nenek itu mendekat, terdengar suaranya menggetar berbisik.
"Apa...? Kau.. kau tidak menipuku...? Kau... kau mau menerimaku sebagai... sebagai isterimu...?"
"Ya!"
Jawab Kwee Seng dengan suara penuh keyakinan.
"Karena inilah cara terbaik untuk menyenangkan hatimu, untuk membalas budimu. Aku menerima permintaanmu dengan kesungguhan hati, walaupun kita sama tahu bahwa aku tidak mencintamu."
Hal inilah yang mengganggu perasaan hati Kwee Seng tadi, maka kini ia terpaksa mengucapkannya agar ia tidak merasa seperti seorang penipu.
"Ah, terimakasih...!"
Nenek itu tahu-tahu sudah merangkulnya dan menangis, mendekapkan muka pada dadanya, berbisik-bisik.
"Terimakasih... Kwee-koko (Kanda Kwee)... sekarang matipun aku tidak akan penasaran lagi..."
Girang rasa hati Kwee Seng. Ternyata dugaannya cocok. Nenek ini ingin mendapatkan kenang-kenangan manis untuk dibawa mati. Biarlah ia memenuhi hasrat hati ini, bukan menipu, melainkan bersandiwara, karena bukankah tadi ia sudah menyatakan sejujurnya bahwa ia memenuhi permintaan ini hanya untuk membalas budi, sama sekali bukan karena cinta? Betapapun juga, meremang bulu tengkuknya mendengar suara halus nenek itu menyebutnya "kakanda"!
"Niocu.."
Katanya perlahan sambil mengelus rambut di kepala yang bersandar didadanya. Menggigil tubuh yang bersandar dan merapat padanya itu ketika mendengar sebutan "niocu".
"Karena keadaan tidak mengijinkan, maka kita menikah tanpa upacara. Biarlah Tuhan yang menyaksikan pernikahan kita tanpa upacara ini, menyaksikan bahwa pada saat ini aku, Kwee Seng menyatakan dirimu sebagai isteriku."
"Dan aku, Nenek Neraka Bumi, pada saat ini menyatakan bahwa kau menjadi suamiku... ah, Koko, betapa rindu hatiku selama tiga tahun ini! Hampir gila aku dibuatnya, melihat engkau sama sekali tidak pernah pedulikan aku...!"