Mereka segera menjerit-jerit minta tolong. Gegerlah keadaan di rumah tangga Shi Men. Nyonya Peng berlarian dengan muka pucat mendengar bahwa puteranya tertimpa kecelakaan. Hatinya seperti ditusuk-tusuk, penuh kengerian, kedukaan dan kekhawatiran ketika ia melihat keadaan puteranya yang masih mendelik dan berkelojotan itu. Didekapnya puteranya sambil mendengarkan cerita Ciu Hwa dan Yu I yang menceritakan kejadian itu sambil menangis. Goat Toanio datang dan mendengar apa yang terjadi, ia segera menyuruh pelayan memanggil Kim Lian. Yu I dan Ciu Hwa menerangkan dengan pasti bahwa kucing putih milik Nyonya ke lima itulah yang menyerang Kwan Ko, anak bayi itu. Ketika Kim Lian ditanya, ia bersikap tenang dan berbalik tanya. “Siapakah yang mengatakan bahwa Si Salju yang melakukannya?” Goat Toanio menunjuk kepada pengasuh dan pelayan itu.
“Merekalah yang menjadi saksi?”
“Hemm, mereka adalah dua orang pembohong besar!” kata Kim Lian dengan sikap dingin.
“Pada waktu itu kucingku sedang tidur tenang di atas pembaringanku.” Goat Toanio kehabisan akal. “Bagaimanakah kucing itu dapat masuk ke sini?” ia bertanya kepada dua orang saksi itu.
“Sebelum ini ia memang sering meloncat masuk ke sini,” kata Ciu Hwa.
“Kalau begitu, kenapa ia tidak pernah mengganggu anak itu sebelumnya? Nah, jelaslah bahwa itu hanya fitnah belaka.” kata Kim Lian, merasa menang, dan dengan sikap marah ia lalu kembali ke pondoknya. Tentu saja sikap ini hanya permainan sandiwara saja bagi Kim Lian. Telah lama ia merencanakan ini. Dengan hati penuh cemburu dan iri ia melihat suaminya kini semakin dekat dengan Isteri ke Enam dan anaknya. Ia tahu bahwa ia kalah dalam memperebutkan perhatian Shi Men hanya karena adanya anak bayi itu. Oleh karena itu, demiklan ia mengambil keputusan, bayi itu harus disingkirkan! Tabib Liu yang diundang segera memeriksa keadaan bayi itu. Alisnya berkerut ketika dia berkata,
“Anak ini menderita guncangan batin yang hebat. Kalau saja dia dapat mengatasi ini secepatnya.” Segera tabib itu membuatkan ramuan jamu yang dimasak dan setelah dingin, dicekokkan ke dalam mulut anak itu. Tabib Liu masih belum puas dengan pengobatannya dan dia berkata,
“Cara terbaik untuk menolongnya adalah pembakaran di beberapa bagian tubuhnya menggunakan bara kayu cacing.”
“Akan tetapi hal itu hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Ayahnya, kalau tidak dia akan marah.” Goat Toanio rnenyatakan keberatannya. Akan tetapi Nyonya Peng yang amat mengkhawatirkan keadaan puteranya, berkata, “Ini adalah urusan mati hidup. Kalau kita menanti sampai Ayahnya pulang. jangan- jangan akan terlambat. Biarlah, aku yang bertanggung jawab kalau dia marah.”
“Kalau begitu, terserah dia adalah anakmu,” kata Goat Toanio. Tabib Liu lalu membakar ujung kayu cacing, dan dengan bara api itu dia membakar lima tempat, diantara alis mata, di bawah tenggorokan, di belakang kedua tangan, dan di pusar. Setelah dilakukan pengobatan ini, bayi itu tertidur nyenyak.
Ketika malam itu Shi Men pulang, Goat Toanio memberi uang kepada tabib itu dan cepat menyuruhnya pergi. Ia menceritakan kepada suaminya bahwa anak itu menderita sakit sawan dan sekarang belum begitu sembuh. Akan tetapi agaknya Shi Men merasa tidak enak hatinya, apalagi melihat betapa kedua mata isterinya yang ke enam merah bekas tangis, dan kecurigaannya timbul karena pengasuh dan para pelayan nampak diam saja dan tidak ada yang berani bercerita kepadanya ketika ditanya. Dia lalu memasuki kamar Goat Toanio dan dengan serius memaksa isteri pertamanya membuat pengakuan. Karena maklum bahwa hal itu tidak dapat disembunyikan lagi, Goat Toanio lalu menceritakan bahwa anak itu dikejutkan oleh kucing putih Si Salju sehingga terkena sawan dan diobati oleh Tabib Liu dengan bara kayu cacing. “Ibunya menghendaki agar anak itu segera diobati karena ia khawatir akan keselamatannya sehingga tidak menunggu engkau pulang. Tabib Liu membakarnya di lima tempat dan anak itu kini dapat tidur dengan nyenyak.” Shi Men terkejut dan marah bukan main. Sambil mengeluarkan suara kutukan dia meloncat dan lari ke pondok Kim Lian. Dia melihat kucing berbulu putih itu tiduran. Disambarnya kucing itu, dipegangnya kedua kaki belakangnya dan dibawa ke pekarangan, lalu diayunnya tubuh kucing dan dihantamkan ke dinding sehingga kepala kucing itu pecah, otak dan darah berhamburan, semua giginya rontok dan mati seketika. Dengan alis berkerut, duduk tak bergerak di atas dipan, Kim Lian melihat semua itu.
“Hemm, betapa kejamnya. Apa salahnya kucing yang malang itu maka dibunuh secara kejam dan penasaran?” Shi Men diam saja. Setelah membunuh kucing itu, dengan hati gelisah diapun memasuki pondok Nyonya Peng.
“Bagaimana engkau membiarkan tabib itu melakukan pengobatan seperti itu kepada anak kita?” Shi Men menegur isterinya yang ke enam. Kalau pengobatan itu berhasil baik, sudahlah. Akan tetapi kalau sebaliknya, aku akan membawa tabib itu ke pengadilan dan akan menghukumnya dengan siksaan.”
“Ah, sudahlah! Dia bermaksud baik, berusaha rnenyelamatkan anak kita.” Nyonya Peng membelanya. Akan tetapi harapannya untuk melihat puteranya Sembuh makin menipis. Malam itu, anaknya terserang demam panas dan pingsan, dan pada keesokan harinya, bayi itu tidak mau menyusu lagi.
Segala usaha dilakukan, bahkan seorang dukun peramal di undang untuk menolong. Segala macam pengobatan pedukunan dipergunakan, namun anak itu tidak dapat ditolong lagi Pada malam harinya, tepat ketika Shi Men datang, anak itu menghembuskan napas terakhir. Nyonya Peng tak dapat menahan ksedihannya. Seperti kemasukan setan nyonya ini menangis, bergulung-guJung di lantai, mencakari pipinya sendiri sampai berdarah, menjambaki rambutnya seadiri dan memukul-mukulkan kepalanya di atas lantai sampai pingsan. Setelah siuman, ia memondong mayat anaknya dan menangis terus tiada hentinya. Setelah berkabung selama dua puluh tujuh hari, akhirnya peti kecil yang terbuat dari kayu tebal dan dirias bagus itu diangkatlah oleh empat orang menuju ke pintu gerbang.
Di depan peti berjalan orang-orang yang membawa bendera merah tanda kematian, kipas-kipas bulu, dupa mengepul dan segala macam alat perlengkapan penguburan. Dua belas orang pendeta To dari Kuil Raja Kemala barjalan di kanan kiri peti, membunyikan musik kematian dan berdoa di sapanjang jalan. Setelah masa perkabungan selesai, kehidupan yang meriah dan gembira kembali nampak dalam rumah tangga keluarga Shi Men. Pesta meriah diadakan ketika Shi Men membuka sebuah toko cita yang baru. Lai Pao dan Han Tao Kok telah kembali dari perjalanan mereka ke Yang-Couw untuk urusan garam dan mereka kembali membawa ijin monopoli penjualan garam yang mendatangkan keuntungan besar. Kemudian kedua orang pegawai ini diutus lagi, yang seorang ke Nang-Kouw, seorang ke Nan-King, untuk membeli sutera seharga sepuluh ribu ons untuk mengisi tokonya yang baru.
Toko sutera besar ini dibuka oleh Shi Men dengan berkongsi. Kongsinya adalah keluarga Kiao, tetangga mereka yang kaya raya itu. Dan pesta pembukaan toko itu dirayakan dengan meriah, dihadiri oleh Shi Men dan Kiao, semua pegawai dan sahabat baik. Tentu saja Lai Pao dan Han Tao Kok yang diutus untuk mengurus pembelian sutera itu, selain memperoleh hadiah, juga diam-diam mereka dapat menyisihkan keuntungan untuk mereka sendiri di tempat pembelian. Maka, ketika Han Tao Kok pulang, dia memperlihatkan uang dua ratus ons kepada isterinya. Itulah uang keuntungan yang diperolehnya di tempat pembelian sutera, dan suami-isteri ini menjadi gembira sekali karena mereka diam-diam telah dapat mengumpulkan sejumlah modal uang yang tidak kecil untuk persiapan modal. Nyonya Peng tak pernah dapat sembuh kembali dari guncangan batin yang amat hebat sejak anaknya meninggal dunia. Semua usaha pengobatan dari tabib yang diundang, sia-sia belaka. Wajahnya menjadi pucat sekali, tubuhnya semakin kurus sehingga kecantikannya memudar. Pada suatu malam, ia tidur dengan gelisah sekali, ia tersiksa oleh sebuah mimpi. la seperti mendengar ada orang mengetuk-ngetuk daun jendela kamarnya. Tergesa-gesa ia bangkit, mengenakan sandal dan pakaian, lalu memanggil pelayan dan pengasuh. Akan tetapi tidak ada jawaban karena mereka itu tidur pulas. Karena itu, ia sendiri lalu keluar dari pintu untuk melihat siapa orangnya yang mengetuk daun jendela itu. Dan di bawah sinar bulan ia melihat suaminya yang dulu, yaitu Hua Ce Shu yang telah mati, kini berdiri di depannya.
Hua Ce Shu memondong anaknya yang, telah mati di dalam rangkulannya, dan memberi isyarat kepadanya untuk ikut. “Rumah baru untuk kita bertiga telah jadi. Mari ikut bersamaku!” Dia berbisik. Nyonya Peng menggigil. Ia tidak ingin meninggalkan Shi Men, namun ia ingin sekali berada bersama anaknya. la berusaha untuk merampas anak itu dari pondongan suaminya yang pertama. Akan tetapi dia mendorongnya dengan keras sehingga ia terhuyung ke belakang dan diapun lenyap bersama anak itu. Dengan kaget dan mengeluarkan keringat dingin, Nyonya Peng kembali ke tempat tidurnya. la telah bermimpi. Hidup memang seperti mimpi saja. Suka dan duka datang silih berganti. Tiada yang kekal di dunia ini. Yang pasti, kesenangan hanya selewatan saja seperti tiupan angin, lalu berganti dengan yang agaknya lebih berkuasa, lebih sering mengisi kehidupan manusia.
Ciu Hwa terbangun dengan kaget, seperti ada yang menggugahnya. Lampu perak di atas meja masih menyala. la bangkit dan menghampiri tempat tidur majikannya, membungkuk dan mengamati wajah majikannya yang disangkanya masih tidur pulas. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati pelayan itu. Wajah nyonya majikannya demikian pucat, dan tidak ada pernapasan keluar dari hidung dan mulutnya! Ia meraba, mendengarkan, dan akhirnya menjerit dan menangis sehingga mengejutkan seluruh anggauta keluarga yang segera lari berdatangan. Seorang wanita muda yang cantik jelita telah meninggal dunia dalam usia yang Muda sekali! Dan kembali Kim Lian memperoleh kemenangan untuk ke sekian kalinya! Akan tetapi benarkah bahwa kejahatan selalu memperoleh kemenangan atas kebaikan?
Benarkah orang-orang yang curang dan jahat dapat hidup makmur penuh kemenangan, sebaliknya orang-orang yang jujur dan baik hidup serba kekurangan? Benarkah bahwa yang jahat selalu menang dan sebaliknya yang baik selalu kalah? Memang demikian nampaknya, karena memang di dunia ini penuh dengan kepalsuan manusia. Kekuasaan setan kelihatan menang di dunia ini, sehingga kebenaran dan keadilan nampaknya terinjak-injak, teriakan penasaran menjulang tinggi ke langit. Namun, yang jahat tapi menang dan yang baik tapi kalah tidak boleh melupakan bahwa bagaimanapun juga, terdapat HUKUM KARMA di dunia ini. Hukum Karma adalah bukti Keadilan Tuhan. Siapa menanam, dia menuai. Cepat atau lambat, Hukum Karma akan menyusul dan menangkapnya, dan akan menjatuhkan imbalan yang setimpal dengan segala perbuatannya.
Di dalam kehidupan ini, yang ada hanyalah dua hal yang tersembunyi dalam setiap peristiwa dan perbuatan, yaitu menanam atau menuai. Asal saja kita ingat untuk menanam yang baik-baik saja dalam perbuatan kita! Asal saja kita ingat bahwa segala peristiwa yang menimpa kita hanyalah buah yang kita tuai dari bibit yang kita tanam sendiri! Tuhan Maha Adil, dan jalan keadilan yang diambil Tuhan memang sukar dimengerti oleh otak kita yang terbatas kemampuannya, namun keadilan itu PASTI datang. Karena itu, dalam lembaran-lembaran berikutnya, kita akan melihat betapa hukum karma akan mengejar dan menangkap semua tokoh dalam cerita ini, menjatuhkan hukuman atau memberi ganjaran sesuai dengan amal perbuatan mereka masing-masing. HUKUM KARMA tak dapat dielakkan!
Ada tiga peristiwa dalam hidup yang amat penting bagi setiap orang manusia, di mana dia menjadi pusat perhatian orang-orang lain, yaitu di waktu dia lahir, kemudian di waktu dia menikah dan yang terakhir, di waktu dia meninggal yang pertama dan terakhir merupakan peristiwa yang bertolak belakang, dengan sambutan-sambutan yang saling bertolak belakang pula. Setiap orang manusia terlahir dengan menangis dan gaduh akan tetapi disambut oleh orang-orang lain dengan tertawa gembira, kemudian ketika mati dia tersenyum atau setidaknya wajahnya tenang, namun disambut oleh orang-orang lain dengan tangis sedih!