“Sayangku, demi engkau dan nama baikmu, aku telah mengirim permohonan ampun kepada hakim,” Shi Men membohong.
“Aku minta agar dia tidak disiksa dan segera dibebaskan. Dan setelah dia keluar, aku akan tetap membantunya agar dia dapat berdagang. Dan semua itu kulakukan demi engkau.” Tentu saja Lian Cu menjadi girang bukan main dan sambil menangis merangkul Shi Men. “Saya berterima kasih sekaii. Asal dia dapat keluar selanjutnya terserah kepadamu. Dan aku akan memesan agar dia tidak mabuk-mabukan lagi. Dia boleh mencari wanita lain untuk menjadi isterinya. bagaimanapun juga aku tidak dapat menjadi miliknya untuk selamanya.”
“Bagus sekali, manisku. Dan aku akan membeli sebuah rumah yang mungil untukmu, pondok itu akan menjadi tempat kita berkasih sayang. Nah, janganlah bersedih, sayangku, kalau engkau berduka akan mengurangi kecantikanmu.” Dengan bujuk rayu dan kebohongan ini Shi Men mendapatkan pelayanan manis dari Lian Cu yang berterima kasih dan yang mengira bahwa majikannya itu benar seorang laki-laki yang menyayang dan baik budi. Sikap Shi Men ini mendatangkan kepercayaan dalam hati Lian Cu yang tentu saja menyatakan kegembiraannya dengan memberitahukan kepada para pelayan lain. Dan desas- desus ini sampai pula ke dalam telinga Mong Yu Lok, isteri ke tiga dari Shi Men yang segera mencari Kim Lian untuk menyampaikan berita itu.
“Coba saja bayangkan,” kata isteri ke tiga itu kepada Kim Lian,
“Dia terkena bujuk rayu Lian Cu dan akan, menolong agar suaminya segera dibebaskan, dan dia akan memberi hadiah kepada wanita tak tahu malu itu sebuah rumah baru dengan tiga buah kamar, membeli seorang budak untuknya, dan menghadiahkan perhiasan lengkap, pendeknya, dia agaknya akan mengangkat Lian Cu sehingga sederajat dengan kita!” Tentu saja berita yang disampaikan oleh Mong Yu Lok kepada Kim Lian ini sudah membengkak melebihi keadaan sebenarnya.
“Hemm, begitukah?” Kim Lian dengan Senyum mengejek dingin. “Biarlah perempuan itu percaya dan menyangka demikian. Akan tetapi, jangan panggil aku Pang Kim Lian lagi kalau aku tidak dapat mencegah dia mengambilnya sebagai isteri ke tujuh!” Malam itu, ketika Shi Men sedang duduk di dalam pondok tempat dia bekerja tulis-menulis, di taman yang luas itu, menulis surat permohonan keringanan bagi Lai Wang yang akan dikirimkan kepada ketua pengadilan, muncullah Kim Lian dengan tiba-tiba. Sambil menjenguk isi surat itu dari atas pundaknya, merangkul lehernya dari belakang dengan sikap manja, ia bertanya,
“Apakah yang sedang kau tulis itu?” Shi Men terkejut melihat kedatangan isteri ke lima itu secara tiba- tiba. Karena sudah terlihat, apa boleh buat dia menceritakan tentang maksudnya menulis surat permohonan kepada ketua pengadilan agar Lai Wang dapat diampuni dan dibebaskan. Mendengar ini, Kim Lian cepat duduk di depan suaminya dan dengan sikap serius iapun bicara penuh semangat.
“Engkau sungguh tidak patut disebut laki-laki sejati! Setiap hembusan angin dapat membuat goyah dan dapat mengubah pendirianmu dengan cepat. Sekali lagi engkau membiarkan dirimu dibujuk dan ditipu oleh budak itu! Apakah engkau tidak melihat betapa ia masih mencinta dan melekat kepada suaminya itu, walaupun engkau setiap hari melimpahkan gula dan madu kepadanya? Apakah engkau sudah mempertimbangkan baik-baik dan apakah engkau tidak melihat betapa suami itu hanya akan menjadi penghalang besar setelah dibebaskan, apabila engkau ingin bersenang-senang dengan isterinya? Kalau dia bebas, engkau tidak bebas lagi mendekati isterinya, dan engkau hanya akan menjadi orang yang mengilar kelaparan, menjadi bahan tertawaan dan cemooh para pelayan.
Engkau sungguh keliru! Kalau engkau ingin memiliki wanita itu tanpa rasa takut dan tanpa gangguan, engkau harus lebih dulu menyingkirkan suaminya.” Kata-kata yang keluar dari mulut Kim Lian ini rnendatangkan kesan mendalam di batin Shi Men yang seolah-olah mendapatkan kembali kecerdikannya. Dia melihat kebenaran dalam ucapan isterinya ke lima ini. Mengapa dia harus bersusah payah menolong Lai Wang kalau akhirnya orang itu hanya akan menjadi pengganggu kesenangannya? Dan kalau Lian Cu benar cinta kepadanya, seharusnya wanita itu merasa lebih suka kalau Lai Wang dapat tersingkir selamanya agar tidak menjadi pengganggu hubungan antara mereka. Shi Men lalu merobek- robek surat permohonan yang belum selesai ditulisnya tadi, mengambil kertas baru dan menulis sebuah permohonan baru yang isinya berlainan bahkan berlawanan dengan yang ditulisnya pertama.
Dalam surat permohonan ini dia minta kepada pengadilan agar menghukum Lai Wang seberatnya dan melaksanakan hukuman itu secepatnya, paling lambat dalam waktu tiga hari mendatang. Surat permohonan Shi Men mendatangkan sedikit keributan di kantor pengadilan. Siapakah di antara para petugas di situ yang belum pernah mengenal manisnya gula dan mengkilapnya perak yang dilimpahkan oleh Shi Men kepada mereka? Siapa pula yang berani menentang dan tidak memenuhi permintaannya? Untung bagi Lai Wang bahwa sekretaris Yin yang menjadi pembantu utama dari kepala hakim Cia, adalah seorang yang berperikemanusiaan dan dialah yang menyatakan tidak setuju kalau Lai Wang yang belum terbukti kesalahannya ltu menerima siksaan dan hukuman berat seperti yang dikehendaki oleh Shi Men, Hakim Cia merasa serba salah.
Menolak permintaan Shi Men dia tidak berani, juga mengabaikan protes sekretaris Yin dia merasa tidak enak. Karena itu, kim Cia lalu mengambil jalan tengah. Dia memerintahkan agar Lai Wang diberi empat puluh kali cambukan lagi, kemudian dia dibuang ke tempat kelahirannya, yaitu di Se-Couw. Pada hari pemberangkatannya, Lai Wang dikeluarkan dari dalam sel tahanan. Tubuhnya masih luka-luka bekas cambukan, pakaiannya compang-camping dan tubuhnya terasa lemah dan lemas. Lehernya dikalungi sebuah kang (papan kayu yang mengalungi leher). Dengan pengawalan dua orang perajurit penjara, berangkatlah dia menuju ke tempat yang amat jauh itu, dengan hati berat oleh duka dan penasaran. Tidak sesenpun berada dalam saku bajunya yang robek-robek, dan dia menghadapi perjalanan sedemikian sukar dan jauhnya.
“Saudara-saudara, kasihanilah aku yang bernasib malang ini,” dia membujuk dua orang pengawalnya.
“Lebih dulu bawalah aku ke rumah majikanku, di mana isteriku tinggal. Aku akan minta kepada isteriku untuk membekali pakaian dan uang, agar kita tidak sampai kekurangan makanan di dalam perjalanan kita yang jauh.”
“Apakah engkau sudah menjadl gila?” para pengawal itu menjawab. “Apa kau kira majikanmu itu, yang telah mengadukanmu ke pengadilan, akan suka mengijinkan isterimu untuk membukakan pintu dan memberi uang kepadamu? Apakah engkau tidak mempunyai keluarga lain?”
“Saudara, setidaknya berilah kesempatan kepadaku untuk berdiri menunggu sebentar di depan pintu gerbang rumah majikan Shi Men. Mungkin akan ada pengunjung atau pelayan yang melihatku dan membantuku memanggilkan isteriku dan membujuk bekas majikanku agar mengasihani aku.”
Karena Lai Wang terus memohon, kedua orang pengawal yang juga mengharapkan agar tawanan yang mereka kawal itu mempunyai bekal uang secukupnya membawanya ke depan rumah Shi Men. Akan tetapi benar seperti dugaan kedua orang pengawal itu, pintu gerbang rumah Shi Men tertutup dan tak seorangpun mau membukakan pintu untuk Lai Wang. Lai Wang lalu pergi mengunjungi rumah Yi Pong Kui yang tak jauh dari situ, untuk minta tolong kepada sahabat bekas majikannya ini agar suka membujuk Shi Men membiarkan isterinya keluar menemuinya. Namun Ying Po Kui tidak mau keluar menjumpainya, menyuruh pelayan mengatakan bahwa dia tidak berada di rumah. Muncullah dua orang tetangga lain yang merasa kasihan kepada Lai Wang, dan mereka pergi mengunjungi Shi Men untuk membujuknya.
Namun Shi Men tidak rnemperdulikan bujukan ini, bahkan rnengutus tukang-tukang pukulnya untuk keluar dan mengusir Lai Wang dari ambang pintu gerbangnya. Akhirnya para pengawal membawanya ke rumah Ayah mertuanya, yaitu Ayah Lian Cu. Orang-tua ini menaruh hati iba dan mernberinya satu ons perak, beberapa mata uang tembaga dan nasi untuk perbekalan. Berangkatlah Lai Wang yang bernasib malang itu melakukan perjalanannya yang amat jauh dan sukar menuju Se-Couw. Sementara itu Lian Cu sama sekali tidak tahu akan semua yang terjadi itu karena para pelayan telah diancam oleh Shi Men agar jangan memberitahukan tentang kunjungan Lai Wang itu kepadanya. Lian Cu menanti kembalinya suaminya dengan sabar dan setiap hari mengirimkan makanan untuk suaminya yang disangkanya masih berada di dalam kamar tahanan.
Dan para pelayan itu karena takut kepada Shi Men, mengosongkan tempat makanan dan mengembalikannya kepada Lian Cu sehingga nyonya muda ini percaya bahwa suaminya rnasih dalam keadaan selamat dan beberapa hari lagi tentu akan dibebaskan. Namun, asap tak mungkin dapat ditutupi untuk selamanya. Akhirnya iapun mendengar desas-desus bahwa suaminya telah dikeluarkan dari penjara untuk dihukum buang, entah ke mana, dan betapa suaminya sebelum berangkat singgah di depan pintu gerbang narnun tidak berhasil menemui siapapun juga. Mendengar berita ini, Lian Cu menjadi terkejut dan bertanya ke sana-sini, akan tetapi tidak ada pelayan yang berani membuka rahasia. Akhirnya ia bertemu dengan Siauw Tai dan dari pelayan remaja inilah dia mendengar akan keadaan suaminya.
“Enci, suamimu telah dihukum buang ke Se-Couw. Engkau takkan pernah dapat melihatnya lagi. Akan tetapi, mohon jangan memberi tahu bahwa aku yang mengatakannya. Kami semua dilarang keras untuk menyampaikan berita ini kepadamu.” Setelah mendengar berita ini, Lian Cu mengurung diri di dalam kamarnya dan menangis dengan sedih sekali. Kemudian, ketika pintu kamarnya tidak juga dibuka atas ketukan dan dijebol robohkan, orang melihat bahwa nyonya muda ini telah menjadi mayat, mati menggantung diri di dalam kamarnya.
“Perempuan tolol tak tahu diuntung!” Hanya inilah kata-kata Shi Men ketika melihat kekasihnya itu mati dalam keadaan yang demikian mengerikan. Demikianiah, sekali lagi Kim Lian mencapai kemenangannya.
Pada suatu siang yang hawanya panas sekali, Kim Lian keluar dari dalam pondoknya dan berjalan-jalan di dalam taman yang luas dari keluarganya. Ia mengenakan pakaian tipis dalam kegerahan itu dan ketika ia berjalan-jalan di bawah bayangan pohoh-pohon, tertariklah ia akan bayangan Ciu Hwa, pelayan Nyonya Peng yang dulu bernama Nyonya Hua atau isteri ke enam dari Shi Men. Pelayan itu keluar dari pondok merah yang mungil itu sambil tertawa kecil dan nampak genit sekali.
Melihat ini, timbul keinginan tahu dalam hati Kim Lian untuk melihat apa dan siapa yang baru saja ditinggalkan pelayan genit itu. Maka iapun cepat berindap-indap mendekati pondok merah yang berada di ujung taman yang indah itu. Ketika ia mengintai, kedua pipinya berubah merah. Ia melihat suaminya dan madunya yang ke enam sedang bermain cinta di tempat terbuka, di atas petak rumput tebal di dekat pondok merah. Bermain cinta di tempat terbuka dan di siang hari! Pantas saja tadi Ciu Hwa meninggalkan tempat itu sambil tertawa-tawa kecil dengan genit! Dengan napas ditahan Kim Lian terus mengintai sambil mendengarkan. “Aihh Koko, jangan terlalu kasar! Biar aku mengaku, sudah satu bulan lebih aku merasa telah mengandung “Aihh! Benarkah itu? Sayangku, kenapa engkau tidak memberitahu kepadaku agar aku lebih berhati- hati?” Percakapan ini cukup bagi Kim Lian. Dengan perlahan ia meninggalkan pondok itu. Melihat suaminya bermain cinta dengan madunya yang ke enam bukanlah hal aneh dan tidak mendatangkan rasa cemburu, akan tetapi mendengar pengakuan Nyonya Peng bahwa ia telah mengandung, sungguh merupakan ujung pedang berkarat yang menusuk ulu hatinya! Ia membayangkan betapa kedudukannya akan tergeser kalau madunya itu sampai dapat melahirkan seorang anak, apalagi kalau seorang anak laki-laki. Dan tentu kasih sayang Shi Men akan lebih banyak tercurah kepada isteri yang dapat memberinya keturunan itu!
Akan tetapi dengan cerdik Kim Lian menahan perasaannya sehingga sikapnya terhadap suaminya maupun Nyonya Peng biasa saja, walaupun makin lama ia merasa semakin iri. Beberapa bulan kemudian datanglah surat undangan dari Perdana Menteri Cai di Kotaraja yang akan merayakan hari ulang tahunnya. Shi Men maklum bahwa undangan ulang tahun seorang pembesar mengandung maksud mengharapkan sumbangan. Karena itulah Perdana Menteri Cai juga mengirim undangan kepadanya, seperti kepada orang-orang kaya lainnya. Menerima undangan ini Shi Men cepat mengeluarkan tiga ratus ons perak, mengutus Lai Pao yang menjadi orang kepercayaannya untuk membeli barang-barang sumbangan yang indah dan mahal, kemudian mengutus Lai Pao dan Bu Tian Heng, membawa barang- barang sumbangan itu ke Kotaraja.
Bu Tian Heng adalah seorang sahabat, juga seorang ipar dari Shi Men yang kini membantunya sebagai seorang di antara pegawai-pegawai yang dipercaya. Berangkatlah kedua orang utusan itu ke Kotaraja, perjalanan yang jauh dan melelahkan karena dilakukan di musim panas, membawa berpeti-peti barang sumbangan. Melalui Kepala Pengawal Ti, mereka dihadapkan kepada Perdana Menteri Cai. Kedua orang ini berlutut dan mengeluarkan kartu nama majikan mereka sambil menyampaikan penghormatan mewakili majikan mereka, juga memperlihatkan daftar barang sumbangan yang mereka tumpuk di depan kaki sang Perdana Menteri. Melihat banyaknya sumbangan yang amat berharga itu, wajah Perdana Menteri Cai berseri dengan cerahnya. Akan. tetapi, dia mengerutkan alisnya dan berkata dengan sikap seolah-olah merasa tersinggung.
“Aku tak mungkin dapat menerima barang-barang ini! Bawa pergi dari sini!” Dua orang utusan itu cepat bersujud memberi hormat dan Lai Pao yang sudah berpengalaman dalam urusan seperti itu segera berkata,
“Majikan kami mengirim barang-barang tidak berharga ini hanyalah sekedar menjadi tanda peaghormatannya terhadap paduka. Paduka dapat membagi-bagikannya kepada bawahan paduka sesuka hati paduka.”
“Hemm, kalau begitu lain lagi soalnya. Biarlah aku menerima pemberian ini untuk orang-orangku.” Dia lalu memberi isyarat kepada para pengawalnya untuk menyimpan barang-barang sumbangan itu. Setelah itu sikap Perdana Menteri Cai menjadi lebih ramah.
“Majikan kalian berulang kali memperlihatkan perhatiannya kepadaku. Aku tidak tahu bagaimana untuk menyatakan terima kasihku. Apakah dia memiliki suatu pangkat?”
“Majikan kami adalah seorang rakyat biasa, tidak memiliki tanda pangkat apapun.”
“Betulkah? Kebetulan sekali aku mempunyai beberapa tempat kosong. Aku dapat mengangkat majikan kalian menjadi seorang Hakim Pernbantu Daerah untuk mengisi tempat kosong yang ditinggalkan seorang petugas lama. Bagaimana pendapat kalian?” Lai Pao membenturkan dahinya di atas lantai dalam penghormatan yang berlebihan.
“Mendapatkan anugerah pangkat seperti itu majikan kami akan berhutang budi kepada paduka sampai selama hidupnya.” Perdana Menteri Cai lalu menulis surat pengangkatan atas nama Shi Men untuk menjadi Hakim Pembantu di daerah Shantung.
“Dan akupun berkenan memberi anugerah kepada kalian berdua Hei, Lai Pao, siapakah dia yang berlutut di belakangmu itu?”
“Dia adalah saudara ipar dari majikan hamba, namanya Bu Tian Heng.”