Si Tangan Sakti Chapter 04

NIC

Kita ma-tangkan urusan ini dengan keluarga Pa-ngeran Cia Yan." "Mudah-mudahan mereka berjodoh." kata isterinya, akan tetapi di dalam hatinya Kao Hong Li tidak yakin benar.

Ia mengenal benar watak puterinya, Sian Li yang lincah gembira itu memiliki pendirian yang sekeras baja.

Kalau puteri-nya itu tidak setuju untuk dijodohkan dengan seseorang, biar dengan pangeran sekalipun, tidak akan ada kekuatan di dunia ini yang akan mampu memaksanya.

Aken tetapi tentu saja ia tidak mau merisaukan hati suaminya dengan pen-dapat hatinya ini dan hanya disimpannya saja.

Keluarga ini membuat persiapan, dan pada keesokan harinya pagi-pagi berang-katlah mereka bertiga menuju ke kota raja, menggunakan sebuah kareta yang ditarik dua ekor kuda.

Akan tetapi Sian Li melihat bahwa setelah tiba di perempatan, kereta yang mestinya berbelok ke utara menuju ke kota raja tidak dibelokkan ayahnya dan terus menuju ke timur.

"He, apakah Ayah tidak salah jalan" Kota raja berada di sana!" katanya menuding ke kiri.

"Kita pergi ke dusun Hong-cun lebih dulu.

Lupakah engkau akan perayaan ulang tahun paman Suma Ceng Liong?" kata ibunya.

Sian Li terbelalak, lalu berseru gem-bira.

"Aih, kenapa Ayah dan Ibu tidak memberitahukan lebih dahulu" Aku sam-pai lupa! Tentu saja Kakek Suma Ceng Liong akan merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh, dan perayaan itu dipergunakan pula untuk mengumpulkan semua anggauta keluarga Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Gunung Naga!" Teringat akan itu, Sian Li gembira bukan main.

Tidak saja ia akan dapat bertemu dengan kakek Suma Ceng Liong dan is-terinya, Kam Bi Eng, dua orang tua yang pernah menggemblengnya selama lima tahun, dan bertemu pula dengan para anggauta tiga keluarga besar, akan tetapi terutama sekali karena adanya kemung-kinan ia berjumpa dengan Yo Han di sana! Tan Sin Hong dan isterinya tertawa.

Mereka memang ingin mengadakan kejutan maka tidak mengingatkan puteri me-reka tentang itu dan benar saja, kini gadis itu gembira bukan main.

Perjalanan yang cukup jauh itu me-reka lakukan dengan santai, seperti orang sedang pesiar sehingga tidak terasa lelah dan di sepanjang perjalanan mereka me-nikmati alam, berhenti di kota-kota yang ramai.

Waktunya masih banyak dan biar-pun dengan santai, mereka tidak akan terlambat.

*** "Berhenti....!" Teriakan itu lantang sekali dan tiga belas orang yang meng-hadang dan menghentikan kereta itu nampak bengis dan dari sikap, pakaian dan wajah mereka dapat diduga bahwa mereka tentulah orang-orang yang sudah biasa memaksakan kehendak mereka dengan kekerasan.

Melihat ada belasan orang menghadang di jalan pegunungan yang sunyi itu, Tan Sin Hong yang memegang kendali kuda, menghentikan dua ekor kuda itu dan ke-reta pun berhenti.

Kao Hong Li dan Tan Sian Li men-jenguk dari jendela kereta dan dua orang wanita ini saling pandang.

Mereka bah-kan merasa heran melihat keberanian gerombolan itu yang berani menghadang mereka! "Biarkan aku menghadapi mereka, Ibu.

Ayah, jangan turun tangan, biar aku menghajar orang-orang jahat itu!" Ayahnya tersenyum dan mengangguk.

"Ingat, jangan sembarangan membunuh orang, Sian Li." "Jangan khawatir, Ayah.

Aku tidak pernah melupakan semua nasihatmu, aku tidak akan membunuh mereka, hanya menghajar biar mereka jera!" Sian Li turun dari atas kereta, se-ngaja tidak memperlihatkan kepandaian-nya, turun dengan biasa saja seperti seorang gadis yang lemah.

Ketika ada seorang gadis berpakaian serba merah turun dari kereta yang mereka hadang, dan gadis itu cantik jelita, tidak memegang senjata dan nampak lemah de-ngan langkahnya yang lembut mengham-piri mereka, para perampok itu terheran--heran.

Pemimpin mereka, seorang yang mukanya hitam dan tubuhnya seperti rak-sasa, segera melangkah maju menghadapi Sian Li, matanya memandang dengan melotot, seperti harimau kelaparan me-lihat datangnya seekor kelinci yang ber-daging gemuk dan lunak.

"Aduh-aduh....

kiranya penumpang kereta adalah seorang bidadari merah yang cantik rupawan...." kata raksasa muka hitam itu.

"Hari ini aku Hek-bin-gu (Kerbau Muka Hitam) bertemu bida-dari, sungguh beruntung!" Mendengar ucapan si raksasa muka hitam itu, dua belas orang anak buahnya yang rata-rata juga kasar dan bengis, tertawa-tawa dan semua mata memandang kepada Sian Li seolah-olah hendak melahapnya.

Sian Li sengaja tersenyum semanisnya sehingga lesung pipi bermunculan di ka-nan kiri mulutnya.

Wajahnya menjadi demikian manis sehingga tiga belas orang kasar itu tak dapat menahan air liur dan mereka menelan ludah, membuat kala-menjing di kerongkongan mereka ber-gerak naik turun.

"Kalian ini belasan orang menghadang perjalananku, ada urusan apakah?" tanya-nya, bersikap polos dan tidak mengerti.

Si muka hitam menoleh kepada ka-wan-kawannya.

"Haiii, dengar, kawan--kawan.

Kita ini menghadang kereta bi-dadari ini mau apa" Hayo jawab, mau apa, ya" Ha-ha-ha-ha-ha!" Kembali me-reka semua tertawa bergelak.

Sian Li mengernyitkan hidungnya karena dari mulut tiga belas orang yang terbuka lebar itu keluar bau yang tidak sedap.

Agaknya sebagian dari mereka telah minum banyak arak keras sepagi itu.

"Kalau kalian tidak mempunyai urusan denganku, mundurlah dan jangan meng-halang jalan, keretaku akan lewat." kata pula Sian Li.

Hek-bin-gu melangkah makin dekat.

"Nona manis, tadinya kukira kereta ini tumpangi pembesar Mancu dan kalau demikian halnya, tentu keretanya kami rampas, orang-orangnya kami bunuh.

Akan tetapi, karena engkau yang menjadi penumpang, biarlah kami sambut sebagai tamu agung dan mari engkau bersamaku bersenang-senang di puncak bukit." Sian Li mengerutkan alisnya, akan tetapi kemarahan hatinya ia tutupi de-ngan wataknya yang jenaka.

"Hei, bukan-kah engkau ini kerbau, kerbau yang hitam pula mukanya" Bagaimana aku dapat bergaul dengan kerbau, apalagi yang hitam mukanya" Baru berdekatan saja, baunya sudah membuat aku hampir mun-tah.

Menggelindinglah kalian pergi.

Kali-an ini perampokperampok busuk, jangan mencoba untuk menakut-nakuti aku." Tentu saja sikap ini mengejutkan dan mengherankan tiga belas orang perampok itu.

Nona ini kelihatan lembut dan le-mah, akan tetapi kenapa begini tenang dan jelas sedikit pun tidak merasa takut menghadapi mereka" Hek-bin-gu bukan orang bodoh.

Maka dia pun sudah dapat menduga bahwa agaknya nona cantik ini mempunyai andalan maka sikapnya demi-kian tabah.

Biarpun demikian dia geli melihat sikap itu.

"Aih, Nona.

Engkau tidak takut, ber-arti engkau berani melawanku?" "Kenapa tidak berani" Orang macam engkau ini hanya bisa menakuti-nakuti anak kecil saja!" Hek-bin-gu masih memandang ren-dah.

Dia menanggalkan kancing bajunya, memperlihatkan dada dan lengan yang berotot.

"Lihat, tubuhku empat kali lebih besar dan kuat daripadamu, bagaimana engkau akan mampu melawan aku?" "Hemmm, betapapun besarnya sebuah gentong, kalau kosong bunyinya saja nya-ring akan tetapi tidak ada gunanya." Kini Hek-bin-gu mulai marah.

"Mari kita bertaruh! Kalau engkau dapat ber-tahan melawanku selama sepuluh jurus biarlah kubiarkan keretamu lewat.

Kalau sebelum itu engkau dapat kuringkus, eng-kau harus mau menjadi isteriku!" Sian Li tersenyum.

"Begitukah" Bagai-mana kalau sebelum sepuluh jurus engkau yang roboh?" Si muka hitam tidak menjawab me-lainkan tertawa, diikuti dua belas orang kawannya.

Mereka agaknya merasa geli membayangkan hal yang mereka anggap tidak mungkin terjadi itu.

"Ha-ha-ha-ha-ha, Toako kami ini ka-lah olehmu, nona manis" Mungkin dalam pertandingan bentuk lain, ha-ha-ha!" ter-dengar suara mereka dalam kelakar yang bermaksud mesum.

"Nona, kalau sampai aku Hek-bin--gu kalah sebelum sepuluh jurus olehmu, aku akan berlutut di depan kakimu!" kata si muka hitam.

"Bagus! Mulailah dan bersiaplah untuk berlutut menciumi tanah yang terkena tahi kudaku!" kata Sian Li, sama sekali tidak marah mendengar kelakar tadi karena memang ia tidak menangkap arti-nya.

Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, tentu saja mengerti akan mak-na kelakar mesum itu, akan tetapi me-reka pun ingin melihat sepak terjang puteri tersayang mereka.

Hek-bin-gu melangkah maju semakin dekat dan bertambah muaklah rasa hati Sian Li karena bau yang penguk dan masam segera menerpa hidungnya.

Ia menahan napas dan si kerbau muka hi-tam itu mengeluarkan bentakan nyaring, kedua lengannya yang besar panjang itu dikembangkan, jari-jari kedua tangan terbuka dan dia menerkam bagaikan se-ekor beruang menerkam mangsanya.

Ten-tu saja dia mengira bahwa sekali terkam dia akan mampu menangkap dan men-dekap gadis yang menggemaskan hatinya itu.

"Wuuuuuttttt...." Terkamannya me-ngenai tempat kosong dan hanya nampak bayangan merah berkelebat, tahu-tahu gadis itu telah lenyap dari depannya.

"Hahhh....?" Dia memutar tubuh de-ngan cepat, akan tetap mukanya disam-but sepatu.

"Plakkk!" "Auhhhppp....!" Tubuhnya yang gem-pal itu terjengkang dan terbanting keras! Dua belas orang kawannya ternganga.

Mereka tadi hanya melihat betapa gadis itu meloncat dengan kecepatan luar biasa ke atas, bagaikan seekor burung saja melayang di atas kepala Hek-bin-gu dan tiba di belakang raksasa muka hitam itu, pada saat Hek-bin-gu memutar tubuh, gadis itu telah meloncat ke atas lagi dan kakinya menyambut muka lawan dengan gerakan seekor burung bangau kalau akan hinggap di cabang pohon, dengan sebelah kaki lebih dahulu.

Sebelah kaki itulah yang menyambut muka Hek-bin-gu, seolah muka itu hendak dijadikan landasan mendarat! Hek-bin-gu mempunyai tubuh yang kuat dan kulitnya keras seperti kulit buaya, maka karena Sian Li hanya me-nendang biasa tanpa mengerahkan sin-kang, dia pun begitu terbanting sudah cepat meloncat bangkit lagi.

Sejenak dia ter-belalak, akan tetapi mukanya menjadi semakin hitam.

Baru satu gebrakan saja, belum sejurus penuh, dia sudah terjeng-kang! Dia bukan manusia yang berani mengakui kelemahannya, maka dengan lebih ganas dia sudah menerjang lagi, kini menggunakan kedua tangan untuk mencengkeram.

Entah apa jadinya kulit dan daging lunak seorang gadis kalau terkena cengkeraman sepuluh jari tangan yang membentuk cakar itu.

Se-belah mata kiri Hek-bin-gu lebih hitam daripada kulit mukanya dan agak mem-bengkak karena mata itu tadi kebagian sisi sepatu yang menonjol.

Posting Komentar