A Siong yang semula ragu-ragu, lalu berkata, "Hanya ini, lo-sicu. Kalau kami berdua pergi meninggalkan tempat ini, lalu....... lalu bagaimana dengan lo-sicu? Siapa yang akan mengerjakan kesemuanya itu? Mengangsu air, membersihkan rumah dan pekarangan, mencuci dan memasak. Ah, bagaimana lo-sicu dapat hidup seorang diri di sini? Tidak ada yang meng¬urus, tidak ada yang membantu. Sungguh, saya saya tidak tega, lo-sicu."
Ma Giok tersenyum. "Mendiang Pek In San-jin berkata benar ketika mengatakan kepadaku bahwa engkau yang tampak kasar ini memiliki hati yang lembut, di dalam batu yang sederhana itu tersimpan emas. Jangan khawatir, A Siong. Aku adalah seorang yang sudah biasa hidup sendiri dan siapa tahu mungkin akupun akan turun dari puncak ini. Temanilah saja Siauw Beng, kalian berdua dapat saling bantu sehingga kalian akan dapat menemukan kebahagiaan dalam hidup ini. Nah, sekarang berangkatlah!"
Siauw Beng dan A Siong lalu berangkat. Mereka menuruni puncak. Kalau Siauw Beng dengan langkah tegap terus maju ke depan, adalah.A Siong yang berjalan di belakangnya, beberapa kali menengok dan diam-diam laki-laki kasar tinggi besar itu menggunakan punggung kepalan tangan kanannya untuk mengusap air mata yang membasahi kedua matanya.
****
Kota Sauw-ciu merupakan kota yang ramai. Pada waktu bangsa Mancu menyerbu ke Cina, kota itupun menjadi kacau dan rusak. Akan tetapi sekarang kota itu telah dibangun kembali. Pemerintah baru, yaitu dinasti Ceng atau pemerintah penjajah Mancu maklum bahwa kota ini merupakan pasaran yang ramai untuk berdagang. Di sini pemerintah dapat memperoleh banyak penghasil¬an dari pemungutan pajak dan pemungut¬an-pemungutan lain sehingga pemerintah perlu membangun kota itu, menjaganya agar aman sehingga rakyat dapat berda¬gang dengan leluasa. Karena semakin maju dan ramai, maka rumah- rumah penginapan dan rumah-rumah makan yang besar bermunculan seperti jamur di mu¬sim hujan.
Di sudut barat kota itu berdiri sebuah rumah makan besar dengan nama Ho Tin Jai-koan (Rumah Makan Ho Tin). Rumah makan itu selain mempunyai sebuah ruangan besar di bawah, di bagian atas juga ada lotengnya yang memiliki ruangan cukup luas pula. Kalau di ruangan bawah, rumah makan itu mampu menampung sekitar tiga ratus orang tamu, di bagian loteng mampu menampung kurang lebih seratus orang tamu. Rumah makan Ho Tin ini merupakan sebuah di antara tiga buah restoran terbesar di kota Sauwciu dan restoran ini khusus menghidangkan masakan suku Khek dari utara.
Pada pagi hari itu, suasana kota sudah ramai. Toko-toko sudah buka dan yang paling ramai adalah toko-toko besar yang menjual rempah-rempah dan toko-toko kelontong atau toko-toko kain. Di situ orang berjual beli dengan ramainya. Sepagi itu restoran-restoran masih sunyi. Biasanya, para tamu yang bermalam di hotel-hotel, kalau pagi cukup dengan sarapan bubur atau makanan kecil yang dijual oleh penjaja makanan di depan hotel-hotel itu. Kalau hendak makan siang atau makan malam dengan kawan-kawan yang mereka sebut "makan besar", barulah mereka berkunjung ke restoran, memesan masakan- masakan yang lezat dan mahal, lalu makan-makan sambil minum arak sampai mabuk. Akan tetapi, pada pagi hari itu sudah ada belasan tamu yang duduk di ruangan bawah rumah makan Ho Tin. Mereka pada umumnya para pedagang kaya yang untuk sarapan pagi saja ingin menikmati masakan yang lezat dan mahal dari ru¬mah makan besar yang terkenal dikota Sauw-ciu itu. Kecuali dua orang tamu yang sama sekali tidak. mendatangkan kesan sebagai saudagar kaya, bahkan mereka tampak seperti dua orang dusun yang berpakaian sederhana sekali walaupun bersih. Mereka masing-masing menggendong buntalan kain dan kini mereka melepaskan buntalan kain dari punggung dan menaruh di atas lantai dekat meja yang mereka hadapi. Mereka itu bukan lain adalah Siauw Beng dan A Siong. Setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan tanpa halangan di dalam per jalanan karena siapa yang hendak mengganggu dua orang dusun sederhana seperti mereka, pada pagi hari itu, pagi-pagi sekali mereka memasuki kota Sauw-ciu dan karena perut mereka terasa lapar, ketika mendum bau sedap masakan dari rumah makan Ho Tin, mereka segera memasukinya.
Seorang pelayan menghampiri mereka dengan alis berkerut. Dia pernah mengalami orang-orang yang uangnya tidak cukup untuk membayar makanan pesan masakan di rumah makan itu, maka pengalaman ini membuat dia berhati-hati. Apalagi melihat A Siong yang cengar-cengir mencoba menggerak-gerakkan hidungnya yang besar pesek ketika mencium sedapnya masakan, dia merasa curi¬ga. Bagaimana orang-orang dusun seperti mereka berani memasuki restoran Ho Tin yang besar dan tentu saja masakannya serba mahal dan lezat? Biasanya hanya para saudagar kaya saja yang berpesta pora di sini. Belum pernah ada orang dusun makan di situ. Biasanya, orang dusun membeli makan di pinggir jalan, masakan yang murah.
"Kalian berdua masuk ke sini mau apakah?" Sebuah pertanyaan yang kasar dan amat menghina dari seorang pelayan restoran kepada tamunya. Akan tetapi Siauw Beng dan A Siong tidak merasakan kekasaran itu, apalagi penghinaan. Pertanyaan itu hanya membuat Siauw Beng memandang kepada pelayan itu dengan heran.
"Sobat, melihat tulisan di luar itu, bukankah ini sebuah rumah makan? Kami lihat para tamu juga sedang makan. Tentu saja kami masuk ke sini untuk pesan makanan." kata Siauw Beng sambi! tersenyum.
A Siong mengangguk-angguk. "Ya, pesan makan yang baunya sedap ini"
Pelayan itu menyeringai, jelas dia memandang rendah. "Hemm, ketahuilah kalian berdua. Masakan di rumah makan kami ini mahal harganya. Jangan-jangan setelah makan kalian tidak mampu membayarnya!"
Mulailah Siauw Beng merasa bahwa orang ini memandang rendah kepada mereka, akan tetapi dia tidak marah, hanya tersenyum. Sebaliknya, A Siong juga mulai mengerti bahwa mereka disangka tidak mampu membayar harga makanan.
Kebetulan dia yang diserahi membawa kantung uang mereka, maka dia lalu cepat membuka buntalan pakaiannya, mengeluarkan kantung uang itu dan membukanya di depan hidung pelayan sambil membentak. "Tidak mampu membayar katamu? Lihat, kalau kepalamu dimasakpun agaknya kami masih mampu membayarnya. Tentu kepalamu tidak semahal ini, bukan?" Dia mengguncang kantung itu sehingga terdengar bunyi gemerencing emas dan perak di dalamnya. Pelayan itu terbelalak ketika melihat betapa kantung itu berisi banyak sekali emas!
"Maaf " katanya sambi! membungkuk-bungkuk."Ji-wi (kalian berdua) hendak memesan
masakan apakah?" Sikapnya seketika berubah, kini sopan, bahkan menjilat. Siauw Beng tersenyum. Orang macam ini berwatak rendah. Suka menjilat yang di atas dan menghina yang di bawah, menjilat orang kaya dan menghina orang miskin.
"Hemm, kami akan memesan.......... eh, apakah ada masakan kepala seperti yang dikatakan saudaraku tadi?" Siauw Beng menggoda. "Masakan......... kepala........ ?" Pelayan itu otomatis memegangi kepalanya sendiri. ''ah.......... tidak ada......... tidak ada "
"Kalau tidak ada, kami memesan nasi dan dua macam masakan daging ayam dengan sayur." kata Siauw Beng.
"Seperti masakan yang baunya terciurn dari sini sekarang ini" A Siong menambahkan. "Dan minumnya, air teh!"
Pelayan itu kembali merasa heran. Biasanya, orang memesan masakan dengan minuman anggur atau arak, akan tetapi orang-orang dusun ini memesan minuman air teh! Dia mengangkat pundak lalu pergi untuk menyampaikan pesanan ini di bagian dapur.
Sambil menanti dihidangkannya pesanan mereka, dua orang itu memandang ke kanan kiri. Segala yang terdapat di situ menarik perhatian mereka, terutama perhatian A Siong. Siauw Beng masih mampu menahan keheranan dan kekagumannya, akan tetapi A Siong merasa kagum dan mulutnya berdecak-decak kalau melihat sesuatu yang membuatnya kagum dan heran. Seperti ukiran-ukiran pada dinding, lukisan-lukisan. Bahkan sumpit yang halus buatannya, yang sudah tersedia di dalam tempat sumpit di atas meja. Juga dia mengagumi pakaian orang¬orang yang sedang makan minum di ruangan itu. Ketika dia melihat jalan tangga yang menuju ke loteng, dia berdiri untuk dapat melihat ke arah loteng.
"Lihat, di atas ada ruangannya lagi. Kita bisa duduk dan makan di sana!" katanya kepada Siauw Beng. Siauw Beng tersenyum dan menarik tangan A Siong agar duduk kembali.
"Sudahlah, di sini juga sama saja. Lihat, orang-orang lain juga makan di sini. Belum tentu kalau ruangan di atas itu untuk para tamu, mungkin untuk keluarga pemilik rumah rnakan ini sendiri." katanya.
Karena Siauw Beng dan A Siong masih menunggu hidangan dan memperhatikan keadaan sekitarnya, tidak seperti para tamu lain yang sedang sibuk makan, maka perhatian mereka segera tertarik oleh munculnya dua orang laki-Iaki dari luar rumah makan. Mereka memasuki ruangan itu dan Siauw Beng merasa tertarik sekali karena dari langkah mereka, tahulah dia bahwa mereka itu adalah orang-orang yang "berisi". Dari langkah dan sikap mereka, dia tahu bahwa dua orang itu adalah ahli-ahli silat yang pandai. Tentu saja kemunculannya menarik perhatiannya. A Siong yang dalam banyak hal mengikuti gerak- gerik Siauw Beng, juga segera menaruh perhatian kepada dua orang itu.
Yang seorang berusia sekitar lima puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus seperti bambu. Tampaknya lemah saking kurusnya, seolah tertiup angin saja dia akan terpelanting. Juga saking kurusnya, wajahnya seperti tengkorak terbungkus kulit, sehingga tampak menyeramkan. Orang ke dua lebih tua, sekitar lima puluh tiga tahun, tubuhnya sedang dan dia mengenakan jubah longgar kebesaran sehingga tampak lucu walaupun tampangnya boleh dibilang bersih tampan.
Yang lebih menarik perhatian Siauw Beng dan A Siong, di punggung kedua orang itu tergantung sebatang pedang. Menarik sekali melihat orang-orang ini berani membawa pedang di punggung mereka, begitu terang-terangan tidak disembunyikan.
Padahal pada waktu itu, pemerintah kerajaan Ceng, yaitu pemerintah penjajah Mancu, melarang keras rakyat bangsa Han (pribumi) membawa senjata di tempat umum! Maka, Siauw Beng dapat menduga bahwa dua orang itu tentulah sebangsa pendekar yang terkadang tidak mengacuhkan larangan pemerintah penjajah yang mereka anggap musuh, atau mungkin juga mereka berdua sebangsa penjahat yang tentu saja tidak memperdulikan segala macam larangan. Maka diam-diam dia memperhatikan gerak-gerik dua orang itu.
Dia melihat betapa dua orang itu celingukan dan menyapu ke seluruh ruangan, mata mereka seperti mencari-cari. Agaknya mereka tidak menemukan apa yang dicari karena lalu memasuki ruangan dan langsung saja me¬reka berdua melangkahkan kaki ke arah anak tangga yang menuju ke loteng atau ruangan atas.
Pada saat itu, pelayan datang menghidangkan makanan yang dipesan Siauw Beng dan A Siong. Dua piring nasi dan dua miring masakan, sepoci air teh dan mangkok-mangkok teh. Akan tetapi be¬gitu meletakkan hidangan di atas meja, pelayan tadi melihat dua orang tadi hendak naik ke loteng.
"Heii.......... tidak boleh naik ke sana.......... !!" Pelayan itu lalu berlari menghampiri dua orang itu, A Siong tidak perduli, begitu melihat nasi dan masakan, dia lalu mulai makan dengan lahapnya sehingga semangkok nasi itu habis dalam waktu cepat. Dia segera menyambar mangkok nasi ke dua. Akan tetapi Siauw Beng yang tertarik oleh gerak-gerik dua orang itu ingin melihat apa yang hendak dilakukan pelayan yang cerewet dan suka memandang rendah orang miskin dan menjilat orang kaya itu.
Pelayan itu mendahului dua orang itu, menghadang dan menghalang mereka melangkah ke anak tangga. "Harap jiwi (kalian berdua) tidak naik ke loteng karena pada saat ini loteng telah diborong oleh Song-Loya (Tuan tua Song) untuk pesta keluarganya!"
Dua orang tamu itu memang berpakaian agak kotor, agaknya karena habis melakukan perjalanan jauh sehingga sepatu merekapun penuh debu. Maka pelayan itupun agaknya kurang menghormati me¬reka.