Demikianlah, kedua orang itu saling serang dengan serunya. Tentu saja kalau Siauw Beng menghendaki, dengan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan sinkang (tenaga sakti) yang lebih unggul, dia akan mampu merobohkan A Siong le bih cepat, namun untuk itu dia harus menggunakan tenaga dalam dan hal itu tentu akan membuat A Siong terluka cukup parah. Dia tidak menghendaki hal ini terjadi, maka pertandingan yang sesungguhnya hanya latihan itu berjalan seru, seimbang dan lama.
Akhirnya, setelah mandi peluh dan merasa sudah cukup puas dengan latihan itu, A Siong mengeluarkan simpanannya yang akan membuat dia dapat menikmati dua butir telur rebus tambahan. Tiba-tiba dia membuat gerakan aneh dan tahu-tahu jari-jari tangan kanannya yang besar itu sudah dapat menyambar dan menangkap lengan kiri Siauw Beng. A Siong memang pandai ilmu gulat yang dipelajarinya dari seorang pemburu binatang berbangsa Hui yang kesasar ke Thaisan. Bagi seorang ahli gulat, sekali lengan lawan dapat tertangkap, maka lengan itu akan dipuntir dan ditelikung dalam jurus kuncian yang akan membuat lawan tidak berdaya lagi. A Siong sudah kegirangan dan hendak menelikung lengan itu. Akan tetapi tiba-tiba Siauw Beng membuat gerakan dari samping, tangan kirinya menampar pangkal lengan A Siong yang menangkapnya, disusul tamparan lain yang mengenai pundak raksasa itu.
"Plak! Plak!!" A Siong berseru kaget, pegangannya terlepas karena dia merasa lengan kanannya seperti lumpuh dan ketika tamparan ke dua mengenai pundaknya, diapun terpelanting roboh! A Siong merangkak bangun dan memandang kepada Siauw Beng dengan mata terbelalak.
"Huh, ilmu tamparan macam apa itu? Kenapa aku tidak mengenalnya? itu bukan ilmu yang kaupelajari dari suhu! Engkau menggunakan ilmu dari luar, kau curang, Siauw Beng!" A Siong menegur, penasaran karena dia kalah sehingga kehilangan dua butir telur rebusnya.
"Tidak, A Siong. Itu adalah ilmu silat Lui-kong-ciang, memang belum kau kenaI, akan tetapi bukan ilmu dari luar, melainkan ilmu warisan dari ayah kandungku. Karena tadi aku sudah kaupegang dan hampir kaukuasai, maka dalam kegugupanku, aku terpaksa menggunakan Lui-kong-ciang. Biarlah aku mengaku kalah dan dua butir telur rebusku siang ini boleh kaumakan." "Nanti dulu! Soal telur rebus gampang. Akan tetapi engkau tadi bicara tentang warisan dari ayah kandungmu? Ma lo-sicu masih hidup, bagaimana bisa dikatakan dia meninggalkan warisan untukmu?"
Siauw Beng menjadi bingung. Ma Giok yang selama ini dia anggap sebagai ayah kandungnya, dua tahun yang lalu menyerahkan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kunhoat kepadanya dan menceritakan tentang Lauw Heng San, ayah kandungnya yang tewas sampyuh (sama-sama tewas) dengan seorang pembesar Mancu. Ma Giok juga menceritakan tentang ibunya yang meninggal dunia ketika melahirkan dia. Baru dia tahu bahwa Ma Giok hanyalah ayah angkatnya. Dia lalu melatih diri dengan ilmu silat peninggalan ayah kandungnya itu. Dia masih menganggap Ma Giok sebagai ayahnya sendiri dan tidak menceritakan tentang rahasia dirinya kepada orang lain. Akan tetapi dia kelepasan bicara sehingga membuka rahasianya sendiri. Maka, kini dia tidak mampu menjawab, hanya memandang A Siong dengan muka bodoh.
"Sian-cai...! Sudah waktunya engkau mengetahui juga kenyataan itu, A Siong, karena engkaulah yang akan menemani Siauw Beng dalam perantauannya di dunia kangouw sebagai seorang pendekar, melanjutkan cita-cita ayah kandungnya." Sesosok bayangan berkelebat dan Ma Giok telah berdiri di dekat mereka. Ma Giok kini sudah menjadi seorang kakek berusia enam puluh lima tahun, namun dia masih tampak gagah perkasa dan berwibawa walaupun rambutnya sudah bercampur banyak uban.
A Siong memandang kepada Ma Giok dengan mata bodoh. "Apa artinya ini semua, Malo- sicu?"
Ma Giok duduk bersila di atas sebuah batu bundar yang menjadi tempat duduk yang dia senangi. Seringkali bekas pim¬pinan pejuang itu duduk melamun di at as batu ini seorang diri. "Kalian duduklah dan dengarkan kata-kataku. Aku ingin bicara tentang hal yang penting, dengan kalian."
Siauw Beng dan A Siong duduk di atas batu di depan kakek itu dan siap men¬dengarkan ”A Siong, ketahuilah bahwa Siauw Beng ini sebenarnya bermarga Lauw. Mendiang ayah kandungnya bernama Lauw Heng San, seorang pendekar besar yang gagah perkasa dan yang dahulu dijuluki orang Si Tangan Halilintar! Sayang bahwa dia ditipu dan terbujuk oleh seorang pembesar Mancu sehingga rela menjadi kaki tangannya, menentang kaum pejuang yang gigih melawan penjajah Mancu. Akan tetapi dia sadar bahwa dia tertipu lalu memberontak dan membunuh pembesar Mancu itu berikut para jagoannya. Isterinya yang bernama Bu Kui Siang sedang mengandung ketika itu dan aku membantunya melarikan diri dari pembalasan orang-orang Mancu. Aku membawa Kui Siang menuju ke sini, akan tetapi di tengah perjalanan ia melahirkan. Kami diserang orang-orang jahat. Aku dapat mengusir mereka akan tetapi Kui Siang meninggal dunia ketika melahirkan Lauw Beng ini."
A Siong dengan muka sedih memandang kepada Siauw Beng dan berkata, "Aku ikut merasa berduka mendengar tentang ayah ibumu, Siauw Beng."
"Ah, semua itu sudah berlalu, A Siong. Aku yakin ayah dan ibu kandungku telah mendapatkan tempat yang tenteram dan damai abadi. Kita tidak perlu berduka lagi untuk mereka." kata Siauw Beng.
"Siauw Beng benar, A Siong. Nah, sekarang kalian berdua dengarlah baik-baik. Siauw Beng, setelah engkau mempelajari Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat peninggalan ayah kandungmu, maka tidak ada ilmu lain lagi yang dapat kuajarkan kepadamu. Juga engkau telah mewarisi semua ilmu yang dulu diajarkan mendiang Pek In San-jin. Maka, sekarang tibalah saatnya bagimu untuk turun gunung. Bekal kekuatan jasmani telah engkau miliki, juga bekal kekuatan rohani telah banyak kau pelajari dari aku dan Pek In San¬jin. Engkau boleh melanjutkan perjuanganku, perjuangan ayah kandungmu, dan engkau sudah sepatutnya memakai julukan Si Tangan Halilintar. Dengan julukan ini engkau akan membersihkan nama ayah kandungmu yang sempat ternoda! karena bujukan orang Mancu. Denga perbuatan-perbuatanmu yang bijaksana sebagai seorang pendekar budiman, maka nama Si Tangan Halilintar akan terangkat, yang berarti engkau juga mengangkat nama dan kehormatan ayah kandungmu. Dan engkau, A Siong, engkau bantulah Siauw Beng dalam segala hal. Engkau jadilah seperti saudara sendiri, menentukan jalan hidup kalian masing-masing. Aku hanya dapat mendoakan dari sini semoga Tuhan selalu melindungi kalian dan memberi bimbingan ke arah jalan yang benar dan baik."
Dua orang muda itu sudah mengenal watak Ma Giok. Pendekar ini, sekali mengeluarkan kata-kata, tidak mungkin dibantah dan apa, yang dikatakan itu se¬lalu benar. Maka keduanya lalu meng¬.angguk.
"Baik, ayah. Saya akan menaati perintah ayah." kata Siauw Beng.
"Saya akan menemani Siauw Beng ke manapun dia pergi, Ma-lo-sicu” kata A Siong dengan wajah yang agak sedih dan bingung. Pikirannya kacau. Ke mana mereka harus pergi? Dia tidak mengenal daerah di luar pegunungan Thai-san ini!
”Nah, berkemaslah kalian. Bawa semu pakaian, bungkus dengan kain dan gendong buntalan pakaian itu. Siauw Beng, ada sisa sekantung emas di dalam peti pakaianku itu, boleh. kau ambil dan kau bawa sebagai bekal kalian di perjalanan.”
Ketika dua orang muda itu bangkit dan hendak melaksanakan perintah itu, Ma Giok bertanya kepada A Siong. ”A Siong, apakah enam butir telur itu sudah kau rebus?”
A Siong memandang heran. "Sudah, lo-sicu."
”Bawalah sisa roti kering dan daging kering dari dapur, juga enam butir telur rebus. Bawalah untuk bekal kalian menuruni gunung."
Dua orang muda itu dengan patuh.melaksanakan semua perintah Ma Giok. Setelah siap, sambil menggendong buntalan pakaian masing-masing, mereka menghadap lagi kepada Ma Giok yang masih duduk di atas batu bundar.
Siauw Beng menjatuhkan diri di atas lututnya dan A Siong mengikuti perbuatannya. Sambil berlutut di depan Ma Giok, Siauw Beng berkata dengan suara perlahan. "Ayah, masih ada sebuah pertanyaan lagi yang sampai sekarang belum ayah jawab.”
Ma Giok mengangguk-angguk. "Ada sebuah pantangan besar bagi seorang pendekar, Siauw Beng. Seorang pendekar haruslah bersikap adil dan kalau pantangan ini kau langgar, maka engkau akan kehilangan pertimbangan yang adil itu dan engkau tidak pantas menjadi pendekar. Pantangan itu adalah dendam sakit hati! Segala tindakan yang didasari dendam, merupakan tindakan balas dendam yang timbul dari kemarahan dan kebencian, dan sama sekali tidak diukur dengan keadilan lagi. Bahkan tindakan balas dendam menimbulkan perbuatan kejam, terkadang bahkan jahat. Engkau tentu hendak menanyakan siapa mereka yang menyerang aku sehingga ibumu sampai meninggal ketika melahirkan, bukan?"
"Benar, ayah. Ayah sudah menceritakan tentang kematian ayah Lauw Heng San yang telah berhasil membunuh musuh-musuhnya sehingga tidak ada penasaran lagi. Akan tetapi kematian ibu yang disebabkan serangan orang jahat. Saya tidak akan menentang orang itu karena balas dendam. Kalau nanti saya mendapatkan bahwa dia kini menjadi orang baik-baik, saya tidak akan mengganggunya. Akan tetapi kalau dia masih menjadi orang jahat, saya akan menentangnya, bukan untuk membalas dendam, melainkan untuk menentang kejahatan seperti yang Suhu Pek In San-jin dan Ayah ajarkan kepada saya selama ini."
"Baiklah kalau begitu. Para penyerang itu adalah Hui-kiam Lo-mo, seorang datuk Sungai Huang-ho. Dia lihai sekali akan tetapi sekarang tentu sudah sangat tua kalau dia masih hidup. Mungkin seka¬rang usianya sudah delapan puluh lima tahun. Ketika itu dia menyerang bersama muridnya yang bernama Can Ok dan empat orang anak buahnya. Aku berhasil membunuh empat orang anak buah itu, akan tetapi.Hui-kiam Lo-mo dan Can Ok sempat melarikan diri."
"Terima kasih, ayah." kata Siauw Beng.
"A Siong," kata Ma Giok sambil ter¬senyum. " Engkau agaknya juga hendak menyatakan sesuatu. Kalau ada yang mengganggu hati dan pikiranmu, katakan¬lah dalam kesempatan terakhir ini."