Si Tangan Halilintar Chapter 47

NIC

Dalam perawatan Bibi Hwa, Siauw Beng menjadi anak yang sehat dan kuat. Juga sikap Bibi Hwa yang lembut dalam merawat, selain lembut juga Bibi Hwa memang pandai bicara, pandai bercerita yang lucu-lucu, maka dengan sendirinya Siauw Beng berangkat besar dengan watak yang lembut, namun suka melucu, jenaka dan lincah. Dia menganggap wanita yang gendut, yang disebutnya bibi itu sebagai pengganti ibunya dan kepada Ma Giok yang datang berkunjung seminggu dua kali, dia menyebut ayah dan menganggap Ma Giok sebagai ayah kandungnya. Ketika Siauw Beng berusia tujuh tahun dan sudah mulai mengerti, dia mulai bertanya-tanya tentang ibu kandungnya dan Ma Giok lalu menceritakan bahwa ibu kandungnya tewas ketika melahirkan dia.

Mulailah Ma Giok mengajarkan ilmu membaca dan menulis, dan seringkali dia bercerita tentang perjuangannya menentang pemerintah penjajah Mancu. Juga dia banyak bercerita tentang para pendekar dengan kegagahan mereka, menentang kejahatan membela yang benar tertindas, menegakkan kebenaran dan keadilan dengan modal ketangguhan ilmu silat mereka. Semua cerita ini merupakan pupuk bagi jiwa kependekaran Siauw Beng sehingga semakin besar, Siauw Beng semakin bercita-cita untuk menjadi seorang pendekar yang selalu menegakkan kebenaran dan keadilan!

Ma Giok mulai melatih ilmu silat kepada Siauw Beng. Dasar-dasar ilmu silat Siauw-lim-pai yang kokoh. Dengan pasangan kuda-kudanya yang kokoh, gerakan dasar kedua kaki yang kuat, maka Siauw Beng akan dapat melatih Hmu silat aliran manapun dengan baik karena gerakan kedua kaki itu merupakan pondasi bagi semua llmu silat.

Tentu saja teman berlatihnya adalah A Siong. Biarpun usia A Siong jauh lebih tua, selisih dua belas tahun, namun A Siong yang amat sayang kepada Siauw Beng suka melayaninya berlatih dan banyak mengalah. Setelah Siauw Beng berusia sepuluh tahun, mulailah Ma Giok membawanya ke puncak Thai-san dan Pek In San-jin sendiri yang membimbingnya dalam ilmu-ilmu silat yang lebih tinggi. *****

Sang waktu bergerak dengan amat cepatnya kalau tidak diamati. Seperti jalannya sang matahari, kalau diamati seolah matahari tidak pernah bergeser dari tempatnya. Akan tetapi kalau kita lengah dan tidak memperhatikan, tahutahu matahari yang tadinya muncul di ujung timur, tahu-tahu sudah hampir tenggelam di ujung barat! Demikian pula, tanpa diperhatikan dan tanpa disadari sang waktu melesat cepat dan tahu- tahu dua puluh tahun telah lewat sejak Siauw Beng, bayi berusia beberapa bulan itu dibawa ke Thai-san oleh Ma Giok!

Pada pagi hari itu, matahari pagi bersinar terang. Udara cerah, tidak berkabut seperti biasanya sehingga semua tanaman dapat menikmati sinar matahari yang menghidupkan sepuas mereka. Sejak pagi-pagi tadi, A Siong telah sibuk mengangkut air dari sumber, menggunakan pikulan yang membawa dua tong air besar, dibawa naik ke puncak dan dituangkan ke dalam bak mandi yang besar dan gentung-gentung di dapur. Siauw Beng membantunya dan seperti biasa setiap pagi, mereka berlomba siapa yang lebih cepat dan lebih banyak mengangkut air. Dan, seperti sudah terjadi sejak tiga tahun yang lalu, A Siong selalu kalah!

Setelah menyelesaikan pekerjaan sehari-hari, A Siong dan Siauw Beng pergi ke taman belakang pondok di mana terdapat sebuah tempat terbuka yang mereka pergunakan untuk berlatih silat. Ketika itu, A Siong sudah berusia tiga puluh dua tahun. Seorang laki- laki bertubuh raksasa, tinggi besar kokoh kuat seperti batu karang, otot-ototnya menonjol melingkar-lingkar di lengan, bahu dan dadanya, demikian pula pada paha dan betisnya. Pakaiannya sederhana namun cukup bersih. Kepalanya besar, sesuai dengan bentuk tubuhnya. Matanya lebar dan dari sinar matanya saja orang sudah dapat menduga bahwa dia seorang yang terbuka dan jujur, dan ada bayang-bayang kebodohan dan kesederhanaan pada sinar matanya. Hidungnya besar agak pesek dan bibirnya tebal namun bentuknya indah dan wama bibirnya merah tanda sehat. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang, merupakan seorang lawan yang menggiriskan hati siapa saja, berhadapan dengan Siauw Beng.

Siauw Beng yang sudah berusia dua puluh tahun itu menjadi seorang pemuda dewasa yang berwajah tampan gagah, tubuhnya sedang dan tegap sekali, namun tampak kecil berhadapan dengan A Siong. Pakaiannya juga sederhana. Ma Giok memang mendidik agar pemuda ini mempunyai sikap hidup sederhana, kesederhanaan yang. timbul dari kerendahan hati dan tidak mudah tergiur oleh keadaan lahiriah yang serba mewah dan gemerlapan. Namun, kesederhanaan pakaiannya tidak menyembunyikan ketampanan Siauw Beng. Sepasang matanya tajam bersinar-sinar, penuh semangat dan kegembiraan hidup,dan pandang matanya amat tajam, sinar matannya terkadang mencorong. Hidungnya mancung dan bibirnya selalu terhias senyum, senyuman khas yang jenaka dari orang yang suka bergurau dan yang memandang segala sesuatu dari segi keindahannya.

"Nah, A Siong sekarang kita mau latihan apa?" tanya Siauw Beng. Sejak kecil, dia biasa memanggil raksasa itu A Siong begitu saja, dan A Siong juga menyebutnya Siauw Beng. Hubungan mereka akrab karena A Siong memang tidak dianggap sebagai pelayan, melainkan sebagai keluarga sendiri. Tiga tahun yang lalu, setelah Pek In San-jin meninggal dunia karena usia tua, pondok itu menjadi tempat tinggal Ma Giok dan A Siong tetap dipertahankan sebagai anggauta keluarga.

A Siong menyeringai. Dia tahu, berlatih apapun juga dengan Siauw Beng, dia pasti akan kalah. Sejak Siauw Beng berusia lima belas tahun, lima tahun yang lalu, dia sudah tersusul dan kalah dalam segala halo Baik itu dalam ilmu baea tulis, menghafat ayat-ayat kitab suci, maupun ilmu-ilmu silat yang pernah mereka pelajari. Adu lari dia kalah cepat, adu loncat kalah tinggi. Hanya kekuatan tenaga kasar atau gwa-kang (tenaga luar) saja ia mampu mengalahkan Siauw Beng, akan tetapi kalau adu tenaga sakti atau tenaga dalam, dia masih kalah kuat. Apalagi dalam ilmu silat. Dia kalah cepat dan kalah mahir. Mungkin dalam ilmu Tiat-pouw-san (Ilmu Kebal Baju Besi) dia lebih kuat daripada Siauw Beng. "Sesukamulah, ilmu apa yang akan kauperlihatkan hari ini, Siauw Beng. Se¬kali ini akan kuusahakan untuk mengalahkanmu!"

"Sekarang begini saja, A Siong. Kita tidak melatih ilmu tertentu, akan tetapi melatih semuanya!"

"Semuanya, apa maksudmu?"

"Begini, kita bertanding seolah dua orang musuh yang saling berhadapan. Jadi, kita keluarkan semua ilmu yang kita kuasai untuk mendapatkan kemenangan."

Mendengar tantangan ini, A Siong tertawa. "Heh-heh-heh, kalau secara bebas begitu, engkau pasti akan kalah, Siauw Beng."

Siauw Beng juga tertawa. "Hemm, benarkah? Kalau belum dicoba, bagaimana engkau bisa memastikan begitu?"

"Kau tahu, aku mempunyai ilmu gulat yang tidak pernah kaupelajari. Sekali sebuah anggauta badanmu tertangkap olehku, engkau akan kubuat tidak berdaya dan akan kalah." kata A Siong sungguh-sungguh dan jawaban ini saja menunjukkan bahwa dia jujur atau kurang cerdik. Masa dalam pertandingan mencari kemenangan, dia sudah memberitahukan rahasia kemenangannya? Akan tetapi biarpun jujur dan kurang cerdik, A Siong bukan sembarangan membual. Dalam pertandingan itu, tentu saja mereka berdua sudah menguasai benar ilmunya dan dapat membatasi tenaganya sehingga kalau pukulan mengenai anggauta tubuh lawan, pukulan itu hanya mengandung se¬bagian tenaga saja. Dan pukulan Siauw Beng yang tidak dilakukan dengan tenaga sepenuhnya itu, dapat diterima oleh tubuhnya yang dilindungi kekebalan dengan baik. Sebaliknya" kalau sampai tangan, kaki, pundak atau pinggang Siauw Beng dapat ditangkapnya, dia akan membuat Siauw Beng tidak mampu berkutik lagi dengan pitingan-pitingan dan kuncian-kuncian ilmu gulatnya!.

"Baiklah, sekarang kita bertaruh," kata Siauw Beng. "Ayah tadi memesan agar siang nanti selain masak sayur seperti biasa juga kita harus merebus enam butir telur, untuk ayah dua butir dan kita masing-masing dua butir. Nah, kita pertaruhkan dua butir telur kita, kalau aku kalah, dua butir telur untukku untukmu dan sebaliknya kalau aku menang, engkau harus makan dengan sayur dan dua butir telurmu kau berikan padaku."

A Siong membelalakkan matanya yang sudah lebar itu sehingga mendelik seperti mata sapi. "Jadi semua empat butir telur rebus untuk makan siangku nanti? Hemm"

"Ingat, engkau harus dapat mengalahkan aku lebih dulu!" Siauw Beng mengingatkannya.

"Baik, mari kita mulai! Demi untuk dua butir telur rebus, sekali ini aku pasti menang!" kata A Siong.

Keduanya lalu memasang kuda-kuda yang sama, kedua kaki dipentang lebar, kedua lutut ditekuk dan dalam keadaan seperti menunggang kuda, mereka saling berhadapan. Kuda- kuda yang kokoh, na¬mun karena bentuk tubuh A Siong demi¬kian besar, maka dia tampak lebih kokoh.

"Nah, mulailah, A Siong!" Siauw Beng menantang. A Siong mulai menerjang maju. Gerakannya kuat dan cepat, kedua lengannya yang panjang besar itu seperti dua buah lengan biruang yang menyam¬bar. Siauw Beng mengenal gerakan- ini, mengelak dan. membalas. Akan tetapi karena A Siong juga mengenal gerakannya, maka A Siong dapat pula menangkis. Keduanya mulai saling serang dengan seru. Kalau ada orang menonton pertan¬dingan itu, dia tentu akan khawatir. Tampaknya mereka itu saling serang dengan sungguh-sungguh dan gerakan se¬pasang tangan mereka mengeluarkan bu¬nyi bersiutan. Akan tetapi dua orang itu telah menguasai ilmu mereka sehingga kalau ada tangan mereka yang mengenai sasaran, sebelum tangan itu menyentuh tubuh lawan, tang an itu tentu akan dikurangi tenaganya sehingga tidak akan membahayakan tubuh yang terpukul. Karena sifat pertandingan ini hanya latihan, maka mereka lebih mengutamakan gerakan otomatis untuk membuat seluruh perasaan mereka hidup dan menyatu dengan ilmu silat yang mereka mainkan.

"Haiiittt …!" A Siong membentak dan dia sudah menyerang derigan jurus yang paling disukainya, yaitu jurus Sam-hoan-to-goat (Tiga Lingkaran Bungkus Bulan). Tubuhnya menyerang dengan kaki melakukan gerakan berputar seperti melingkar-lingkar tiga kali dan dengan demikian dia menyerang lawan dari tiga jurusan yang berbeda. Siauw Beng mengelak ke belakang, lalu memutar tubuh dan menangkis dengan jurus Pek- liong-pai-bwe (Naga Putih Sabetkan Ekor). "Duk-duk!" Dua kali serangan A Siong dapat ditangkis dan ke¬duanya tergetar sehingga terdorong mundur. "Sam but inU" kini Siauw Beng mem¬bentak dan tangan kanannya membentuk seperti leher burung bangau, jari-jarinya disatukan menotok ke arah ulu hati A Siong dengan jurus Pek-ho-tek-hu (Bangau Putih Mematuk Ikan). Namun A Siong maklum akan bahayanya serangan ini dan dia sudah memutar lengan kanannya dari samping, menangkis dengan gerakan memutar dengan jurus To-tui-lim-ciang (Mendorong Roboh Lonceng Emas).

Posting Komentar