Dengan lembut, jelas dan panjang lebar Ma Giok menceritakan tentang kematian Pat-jiu Sin-kai yang sudah sakit-sakitan itu, yang tewas saking marahnya melihat muridnya yang bernama Lauw Heng San dapat terbujuk dan tertipu sehingga Lauw Heng San menjadi perwira pembesar Mancu, yaitu Pangeran Abagan yang mengubah nama menjadi Thio Ci Gan dan dikenal sebagai Thio-ciangkun (Panglima Thio). Karena ketidaktahuannya itu, Lauw Heng San bahkan dengan pasukan istimewanya membasmi para pejuang yang dianggapnya sebagai penjahat-penjahat dan gerombolan pemberontak! Bahkan Lauw Heng San juga khilaf telah membunuh Ngo-jiauw-eng Tan Kok, murid Pek In San-jin.
Mendengar penuturan itu Pek In San-jin menghela napas panjang. "Aiih, bagaimana sute Pat-jiu Sin-kai begitu bodoh dan lengah sehingga mengangkat seseorang yang seperti itu menjadi muridnya?"
"Lo-cian-pwe, sebetulnya Lauw Heng San itu bukan orang jahat atau sesat. Dia seorang gagah yang berjiwa pendekar. Dia hanya tertipu, terbujuk oleh Pangeran Abagan yang dia kira seorang pembesar Han sejati, bahkan dia diambil mantu, dijodohkan dengan puteri tiri pembesar itu. Akan tetapi setelah bertemu dengan lo-cianpwe Pat-jiu Sin- kai, dia menyadari kesalahannya dan dia lalu mengamuk, membunuh Pangeran Abagan dan para jagoannya, akan tetapi dia sendiri juga tewas."
Dengan panjang lebar Ma Giok menceritakan tentang Lauw Heng San ketika pendekar itu membalik dan mengamuk di gedung Pangeran Abagan atau Thio-ciangkun.
"Melihat bahwa Lauw Heng San telah menyadari kesalahannya, maka kami semua merasa
kasihan kepada isterinya yang sedang hamil tua. Maka, ketika isterinya melarikan diri, saya mengajak Bu Kui Siang, isterinya itu, menyelamatkan diri, meninggalkan kota Keng- koan. Kami tidak tahu apa yang terjadi dengan keluarganya yang lain."
"Sian-cai........, buruk sekali nasib mereka itu." kata Pek In San-jin dengan hati dipenuhi belas kasihan.
"Memang sesungguhnya, lo-cian-pwe, buruk sekali nasib mereka, Lauw Heng San, dan isteri serta anaknya. Isterinya itu saya ajak melarikan diri, dengan tujuan ke sini karena saya kira di sinilah tempat yang aman dari pengejaran orang Mancu terhadap isteri Lauw Heng San. Akan tetapi, di tengah perjalanan, nyonya muda Bu Kui Siang melahirkan, pada saat kami diserang oleh Hui-kiam Lomo dan muridnya beserta beberapa orang anak buahnya. Saya berhasil menewaskan anak buahnya dan mengusir Hui-kiam Lomo dan muridnya dan pada saat itu pula Kui Siang juga melahirkan seorang putera. Akan tetapi.......... ketika melahirkan itu puteranya selamat dan ia..... ia..... ia meninggal dunia "
"Sian-cai, semoga Tuhan memberi tempat yang baik untuk nyonya muda itu …. " kata Pek In San-jin.
"Saya menunggu sampai anaknya berusia tiga bulan, baru saya bawa anak itu melakukan perjalanan ke Thai-san dan hari ini saya berhasil membawanya menghadap lo-cian-pwe. Inilah anak itu, lo-cian-pwe, namanya Lauw Beng, saya sebut Siauw Beng."
"Akan tetapi, mengapa engkau mengajak dia ke sini, Ma-sicu?"
"Ke mana lagi saya membawanya, locian-pwe? Anak ini adalah putera murid mendiang Pat-jiu Sin-kai, berarti masih cucu murid lo-cian-pwe sendiri. Saya hendak menyerahkan anak ini kepada locian-pwe untuk dididik agar kelak dia dapat melanjutkan perjuangan kami, dapat menjadi orang ho-han (patriot) dan pendekar yang akan berbakti kepada bangsa dan tanah air." "Akan tetapi, bagaimana mungkin aku dapat merawat seorang bayi sekecil ini, Ma-sicu?" bantah Pek In San-jin yang tentu saja merasa tidak sanggup untuk merawat anak sekecil itu.
"Tentu saja tidak, lo-cian-pwe. Saya akan mencarikan ibu pengasuh di pedusunan kaki gunung yang akan merawat dan memeliharanya sampai usianya cukup besar untuk mulai mempelajari ilmu dari lo-cian-pwe. "
"Hemm, usiaku sudah tua sekarang, Ma-sicu. Aku khawatir, kalau dia sudah besar, aku sudah terlalu tua atau mungkin sudah mati untuk dapat mengajarnya. Karena itu, aku mau menerima Siauw Beng menjadi murid hanya dengan satu syarat."
"Apakah syaratnya itu, lo-cian-pwe?" "Syaratnya adalah bahwa engkau harus pula membantuku untuk mendidik dan mengajarnya, sicu. Aku sudah mendengar banyak tentang engkau, aku tahu bahwa engkau seorang ahli silat aliran Siauwlim-pai. Aliran Siauw-lim merupakan sumber dari aliran-aliran lain, karena itu aku menghendaki agar anak ini mempelajari dasar-dasar ilmu silatnya darimu, juga engkau yang wajib memberi tuntunan dalam ilmu sastra kepadanya. Setelah dia menyerap semua ilmumu, barulah aku akan mengajarkan apa yang aku bisa kepadanya. Dengan demikian, andaikata aku mati sebelum dia menjadi besar, dia sudah menerima banyak darimu. Kalau syarat itu tidak kaupenuhi, sebaiknya engkau membawa dia ke tempat lain saja, Ma-sicu."
Ma Giok terkejut mendengar syarat yang mengikatnya itu. Dia berpikir keras karena syarat itu demikian mendadak dan bersangkutan dengan kehidupan selanjutnya. Dia seolah mendengar suara Kui Siang yang bicara kepadanya tentang tugas seorang patriot dan seorang pendekar. Sekarang bukan masanya untuk menjadi pejuang, karena perjuangan menentang penjajah tidak mungkin dilakukan seorang diri. Akan tetapi seorang pendekar dapat berjuang di mana saja dan kapan saja seorang diri, menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas, menentang yang kuat tapi jahat. Dia menghela napas, teringat akan usahanya selama beberapa tahun berjuang namun tanpa hasil karena dia hanya mampu mengumpulkan para pejuang yang amat kecil jumlahnya, diban- dingkan dengan pasukan Mancu yang besar dan kuat. Dia menjadi patah semangat, apalagi kalau dia lihat kenyataan betapa dia menolong putera seorang pembesar Mancu yang berada di pihak yang benar dan tertindas maka harus dibelanya terhadap kejahatan orang-orang yang mengaku sebagai pejuang! Memang sebaiknya dia menerima syarat Pek In Sanjin. Dia menganggap dirinya sebagai pengganti ayah bunda Siauw Beng, maka sudah sepantasnyalah kalau dia yang merawat dan memelihara anak itu. Dia juga menerima sebuah kitab yang ditemukan di antara pakaian Kui Siang, yaitu kitab Ngo-heng Kun-hoat, peninggalan dari Lauw Heng San yang mengubah sendiri ilmu silat tangan kosong itu, yang membuat dirinya dijuluki sebagai Lui-kongdang (Si Tangan Halilintar).
Dia berkewajiban untuk ikut menggembleng Siauw Beng agar kelak anak itu dapat pula melanjutkan julukan ayahnya, yaitu Si Tangan Halilintar! Dia harus menerima syarat itu, demi Siauw Beng, demi Kui Siang yang suaranya seolah-olah terdengar membujuk- bujuknya. Demi cintanya terhadap Kui Siang!.
"Baiklah, lo-dan-pwe. Saya terima syarat itu!" katanya dengan suara mantap.
"Sian-cai ! Agaknya kita dan Siauw Beng memang berjodoh, Ma-sicu. Nah, biarlah A-
siong mengantarmu ke dusun di bawah sana. Dia mengenal banyak orang dan tentu dapat mencarikan seorang ibu pengasuh untuk Siauw Beng. Engkau sendiri boleh tinggal di mana saja yang kau sukai. Kalau mau tinggal di tempat sepi ini, boleh saja."
Ma Giok mengucapkan terima kasih, lalu dia turun dari puncak, menggendong Siauw Beng dan mengajak A Siong. Setelah tiba di dusun pertama, dia mengambil kudanya, kemudian atas petunjuk A Siong, dia menyerahkan Siauw Beng dalam asuhan Bibi Hwa, demikian panggilan seorang janda yang hidup seorang diri di dusun itu. Wanita ini peramah, memiliki sebidang tanah dan rumahnya. Ma Giok memberikan kudanya kepadanya berikut sejumlah emas dan perak untuk biaya merawat Siauw Beng. Bibi Hwa menerima Siauw Beng dengan senang hati. Sebagai seorang janda yang hidup sebatang kara, tentu saja ia senang tiba-tiba mendapatkan seorang anak yang demikian sehat dan mungil, ditambah seekor kuda dan beberapa potong emas pula! Dalam perbincangan di antara mereka, Ma Giok tahu bahwa wanita itu banyak pengalaman dan mengerti benar bagaimana harus merawat anak kecil. Bibi Hwa menjelaskan bahwa mula-mula ia akan minta pertolongan para ibu yang masih menyusui anaknya untuk membagi. sedikit susunya kepada Siauw Beng. Kemudian, setelah dengan uangnya ia dapat membeli seekor sapi perah, ia akan memelihara anak itu dengan susu sapi. Dan Bibi Hwa sudah berpengalaman memelihara anak kecil karena ia pernah dulu mempunyai dua orang anak yang sekarang telah mati semua terserang wabah penyakit ganas.
Demikianlah, mulai hari itu, Ma Giok Si Naga Selatan seperti lenyap dari dunia kangouw. Para tokoh kangouw kehilangan dia dan banyak orang menduga bahwa mungkin Lam Liong (Naga Selatan) telah tewas dalam perjuanganhya yang gigih melawan pemerintah penjajah Mancu.
Ma Giok menemukan kebahagiaan tersendiri selama dia mengasingkan diri di puncak Thai-san. Dia memperdalam pengetahuannya tentang agama To dari Pek In San-jin, juga tentang ilmu silat. Bahkan setelah dia berada di situ, dialah yang melatih ilmu silat kepada A Siong yang biarpun di situ bekerja sebagai pembantu atau pelayan, namun dianggap keluarga sendiri dan diberi pelajaran silat. Walaupun otak A Siong agak tumpul, dan dia hanya dapat mempelajari dan menghafal gerakan silat yang sederhana, namun secara alami dia memiliki tenaga yang amat kuat. Setelah dapat menghimpun tenaga sakti, dia semakin kuat. Wataknya yang terbuka dan jujur, juga setia, membuat Ma Giok amat suka kepadanya. Ma Giok mengharapkan kelak A Siong dapat menjadi teman yang baik dan setia dari Siauw Beng yang dia anggap sebagai puteranya sendiri.