Si Tangan Halilintar Chapter 45

NIC

Ma Giok memandang terbelalak, hampir tak percaya. Benarkah anak itu. yang melontarkan batu tadi? Agaknya demikian karena tangan kiri anak itu masih menyangga sebongkah batu lain yang sama besarnya, dan tampaknya sama sekali tidak merasa berat.

PADAHAL, batu itu tentu lebih dari seratus kati beratnya. Bahkan seorang laki-laki dewasa yang bertubuh kokoh sekalipun belum tentu mampu menyangga batu seberat itu dengan sebelah tangan, apalagi melontarkannya dalam jarak kurang lebih sepuluh meter itu.

"Eh, siauw-ko (kakak kecil), engkaukah yang melontarkan batu itu di depanku tadi?" Ma Giok bertanya sambil menghampiri. Dia memandang penuh perhatian. Anak yang usianya sekitar dua belas tahun itu bertubuh tinggi besar, matanya lebar, hidungnya pesek dan bibirnya tebal. Muka yang tak dapat dikatakan tampan, bahkan tampak kasar dan bodoh, akan tetapi sinar matanya mengandung kejujuran.

Sebelum menjawab, anak itu melontarkan batu sebesar perut kerbau yang disangga dengan tangan kirinya ke atas, ada tiga meter tingginya, lalu disambut dan dilontarkan lagi sampai tiga kali. Kemudian dia menurunkan batu itu dan melompat ke atas batu sehingga kini tingginya sama dengan tinggi Ma Giok.

"Benar, aku yang.. melontarkannya di depanmu." jawabnya jujur. Suaranya nyaring dan logatnya masih menunjukkan logat khas desa.

"Akan tetapi mengapa kaulakukan itu, siauw-ko? Seorang tuan rumah yang baik tidak akan menyambut seorang tamu seperti itu."

"Tamu yang balk tentu disambut dengan baik pula. Akan tetapi engkau adalah tamu yang tidak diundang dan kunjunganmu yang tiba-tiba ini tentu hanya akan mengganggu ketenangan suhu." jawab anak itu.

Ma Giok tersenyum. "Aku bukan tamu, melainkan sahabat segolongan, siauwko. Apakah lo-cian-pwe (orang tua gagah) Pek In San-jin berada di rumah? Aku ingin menghadap dia."

"Hemm, engkau adalah sin-khek (tamu baru), bagaimana aku tahu apakah engkau ini sahabat segolongan ataukah bukan?" anak itu membandel.

Ma Giok tersenyum. Anak ini tentu bukan bocah biasa dan tadi menyebut suhu, tentu yang dimaksudkan adalah Pek In San-jin. Jadi anak ini adalah murid Pek In San-jin? Pantas dia bersikap penuh curiga dan agaknya dengan demonstrasi kekuatan mengangkat dan melemparkan batu itu dia hendak mengusir orang yang dianggapnya akan mengganggu gurunya. Orang biasa tentu akan ketakutan dan segera pergi dari situ melihat tenaga bocah yang dahsyat itu.

Ma Giok melangkah maju, mendekati batu yang dilontarkan tadi. Kemudian dengan kaki kanannya, dia mengungkit batu itu dan melontarkan dengan tendangannya ke atas, kemudian selagi batu itu melayang di atas kepalanya, dia menggunakan tangan kanan, memukul batu itu dengan tangan miring sambil mengerahkan sin-kang (tenaga sakti).

"Pyarrrr... !" Batu sebesar perut kerbau itu pecah berantakan terkena pukulan tangan Ma Giok.

"Nah, siauw-ko, katakan kepada Pek In San-jin bahwa aku mohon menghadap untuk menyampaikan berita tentang Pat-jiu Sin-kai dan Ngo-jiauw-eng Tan Kok."

Mendengar disebutnya dua nama ini, anak itu cepat melompat turun dari atas batu, lalu memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap di depan dada sambil berkata. "Mari, silakan ikut saya, lo-sicu (orang tua gagah)." Anak itu bersikap hormat dan mendahului Ma Giok berlari naik ke arah puncak di dekat mana berdiri sebuah pondok kayu itu. Agaknya anak itu sengaja hendak memamerkan kebolehannya berlari cepat sambil berloncatan. Akan tetapi tentu saja dengan mudah Ma Giok dapat mengimbangi, bahkan melampaui kecepatannya.

Di depan. pondok itu, dia berhenti dan menoleh kepada Ma Giok. "Silakan tunggu sebentar, lo-sicu. Saya akan melapor kepada suhu."

Setelah berkata demikian, anak itu masuk ke dalam pondok yang cukup besar itu. Ma Giok berdiri di luar. Siauw Beng tertidur pulas dalam gendongannya. Agaknya hawa sejuk dekatpuncak itu membuat dia keenakan tidur. Ma Giok menikmati keindahan panorama dari atas tempat tinggi itu.

Tak lama kemudian, anak itu keluar. "Lo-sicu dipersilakan masuk. Suhu telah menanti. Silakan."

Ma Giok melangkah, melewati ambang pintu dan memasuki sebuah ruangan depan yang luas. Seorang kakek duduk di atas dipan kayu, bersila seperti arca. Kakek itu usianya sudah tujuh puluh tahun lebih. Rambut, kumis dan jenggotnya yang panjang sudah putih semua. Kepalanya botak dan tubuhnya tinggi kurus.

Namun dia duduk bersila dengan tubuh tegak lurus. Matanya masih bersinar, tajam ketika dia mengamati wajah Ma Giok. Di dekatnya tampak sebatang tongkat bambu putih.

Melihat kakek ini, walaupun tidak mengenalnya, Ma Giok dapat menduga bahwa tentu dialah yang bernama Pek In San-jin, seorang pertapa yang telah berpuluh tahun mengasingkan diri di tempat sunyi ini dan tidak mau mencampuri urusan duniawi. Sambil menggendong Siauw Beng, dia memberi hormat dan berkata dengan suara lantang namun penuh hormat.

"Mohon maaf kepada lo-cian-pwe kalau kunjungan saya ini mengganggu ketenangan lo- cian-pwe. Saya bernama Ma Giok dan saya mohon menghadap lo-cian-pwe Pek In San-jin untuk menyampaikan berita tentang lo-cian-pwe Patjiu Sin-kai dan pendekar Ngo-jiauw- eng Tan Ok."

"Sian-cai (pujian damai)......! Kiranya si-cu adalah pendekar Ma Giok yang berjuluk Lam Liong? Sudah lama aku mendengar bahwa engkau adalah seorang pemimpin pejuang yang gigih melawan penjajah Mancu. Duduklah, Ma-si-cu (orang gagah Ma)!".

Melihat sikap ramah kakek itu, Ma Giok Giok merasa lega dan dia lalu duduk di atas sebuah bangku yang tersedia di ruangan itu, berhadapan dengan Pek In San-jin.

"Ma-sicu datang hendak menyampaikan berita tentang su-te (adik seperguruan) Pat-jiu Sin-kai dan muridku Tan Kok? Apakah itu berita tentang kematian mereka yang akan kausampaikan, sicu?"

Ma Giok terkejut. Apakah kakek ini sudah mengetahuinya? "Apakah lo-cianpwe sudah mendengar akan hal itu?"

Pek In San-jin tersenyum dan menggeleng kepalanya. Luar biasa sekali, ketika dia tersenyum, tampak giginya masih berderet-deret utuh dan rapi!

"Aku tidak pernah pergi dari puncak ini, dan A-song, kacungku itu, juga paling jauh pergi turun ke dusun di lereng bawah. Tentu saja aku tidak pernah mendengar tentang mereka. Akan tetapi kalau engkau datang membawa berita tentang mereka yang menjadi pejuang, berita apalagi yang lebih berharga bagi seorang pejuang kecuali berita kematian? Seorang pejuang baru disebut pahlawan kalau dia mati dalam perjuangan, itupun kalau kebetulan ada yang memperhatikannya. Kalau dia tidak gugur, siapa yang akan memperhatikan dan ingat bahwa mereka itu adalah bekas pejuang? Kecuali kalau mereka kini memperoleh kedudukan tinggi tentunya. Nah, berita apa yang kau bawa, Ma-sicu?"

Posting Komentar