Perjalanan mereka kini semakin lambat. Kandungan Kui Siang sudah tua dan hal ini menghalangi ia me!akukan perjalanan cepat. Kuda yang ditungganginya hanya berjalan perlahan saja. Ma Giok tidak memperkenankan ia membedal kudanya, karena kalau kudanya berlari congklang, tentu tubuh Kui Siang akan terguncang-guncang dan hal ini akan berbahaya sekali bagi kandungannya.
Pada suatu senja mereka tiba di sebuah hutan. Ma Giok menghentikan perjalanan, lalu melompat naik ke atas pohon yang paling tinggi, melihat ke sekelilingnya. Dia merasa girang melihat sebuah dusun tak jauh di luar hutan, maka cepat dia melompat turun kembali.
"Di luar hutan ini, tidak terlalu jauh, terdapat sebuah dusun. Aku melihat banyak atap rumah, menunjukkan bahwa dusun itu cukup besar. Sebelum gelap kita akan dapat tiba di sana. Mari kita lanjutkan perjalanan ke dusun itu, Kui Siang."
Akan tetapi, tiba-tiba dua ekor kuda tunggangan mereka meringkik. Ma Giok cepat me lompat turun karena melihat kuda tunggangan Kui Siang mengangkat kedua kaki depan ke atas. Dia khawatir kalau Kui Siang terjatuh. Dengan sigap dia menangkap kendali di moncong kuda sehingga kuda itu tenang kembali. Kui Siang juga segera turun dari atas punggung kuda.
"Ada apakah dengan kuda kita?" tanya wan ita itu.
"Mereka tentu mencium bahaya, entah ada harimau atau ada orang." kata Ma Giok dan dengan penuh kewaspadaan dia berdiri tegak dalam keadaan siap menghadapi bahaya. Tak lama kemudian, telinganya mendengar jejak langkah orang-orang menghampiri tempat itu. Kemudian muncullah dua belas orang, dipimpin oleh seorang laki-laki bermuka hitam yang bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat. Dia tampak gagah perkasa dan usianya sekitar tiga puluh lima tahun. Di punggungnya terselip senjata siang-kiam (sepasang pedang). Ketika Ma Giok memperhatikan, tahulah dia bahwa dua belas orang itu adalah orang-orang yang pernah mengeroyoknya ketika mereka menyerbu rumah Pembesar Souw di dusun Lian-ki-jing tempo hari. Akan tetapi yang memimpin mereka ini adalah seorang. yang belum pernah dilihatnya.
Dua belas orang itu menuding ke arah Ma Giok dan berkata kepada laki-laki muka hitam yang memimpin mereka. "lnilah orangnya, Can-taihiap (pendekar Can)."
Pria muda itu bernama Can Ok dan dia terkenal sebagai seorang tokoh kangouw yang membenci dan memusuhi penjajah Mancu, walaupun ia juga dikenal sebagai seorang tokoh sesat yang tidak pantang melakukan bermacam kejahatan. Mendengar dari gerombolan itu betapa Ma Giok yang tadinya dikenal sebagai pimpinan para pejuang menentang Mancu ini, kini malah membela Pembesar Souw, seorang Mancu, dia menjadi marah dan bersama dua belas orang anggauta gerombolan itu dia mencari dan mengejar Ma Giok. Pada sore hari itu rombongan ini berhasil menemukan Ma Giok dan Kui Siang di dalam hutan itu. Can Ok melangkah maju menghadapi Ma Giok dan sejenak kedua orang itu saling pandang dengan penuh perhatian seperti dua ekor ayam jago hendak berlaga.
"Hemm, jadi inilah yang bernama Ma Giok berjuluk Lam-liong, yang tadinya terkenal sebagai seorang pejuang akan tetapi sekarang menjadi pengkhianat dan membela penjajah Mancu?" Suara Can Ok besar dan lantang, telunjuk kirinya menuding ke arah muka Ma Giok dan tangan kanannya bertolak pinggang.
Ma Giok tersenyum mengejek. Orang ini memimpin para anggauta gerombolan penjahat itu, tentu bukan orang baik-baik dan hal ini kentara pula dad sikapnya yang sombong.
"Benar, aku Ma Giok Siapakah engkau, sobat dan apa maksud kalian menghadang perjalananku?"
“Pengkhianat! Ketahuilah bahwa aku Can Ok yang terkenal sebagai tokoh pejuang yang selalu menentang penjajah Mancu. Guruku adalah Hui-kiam Lo-mo (Iblis Tua Pedang Terbang) yang juga seorang pejuang kenamaan dan datuk Sungai Huang-ho! Karena engkau telah membunuh dan melukai para, pejuang, membela pembesar Mancu, maka berarti engkau. menjadi pengkhianat dan aku datang untuk membunuh pengkhianat bangsa seperti engkau, Lam-liong Ma Giok!" Setelah berkata demikian, Can Ok mencabut sepasang pedang dari punggungnya, menyilangkan sepasang pedang mengkilap itu di de pan dada, siap untuk menyerang.
Ma Giok tersenyum. "Can Ok, kalau engkau sudah tahu bahwa gerombolan yang kau pimpin sekarang ini adalah gerombolan perampok dan penculik wanita, maka berarti engkau sama saja dengan mereka, yaitu penjahat keji yang berkedok pejuang! Tidak perlu kita bicarakan tentang perjuangan karena orang-orang macam kalian tidak akan mengerti. Sekarang kalian adalah penjahat-penjahat yang berhadapan dengan aku sebagai seorang pendekar yang tugasnya menentang kejahatan dan membasmi para penjahat!"
"Keparat sombong! Mampuslah!" Can Ok mengeluarkan bentakan nyaring dan ia sudah menyerang dengan sepasang pedangnya, pedang kiri menusuk ke arah dada disusul pedang Kanan menyambar untuk memenggal leher Ma Giok. Akan tetapi pendekar ini melompat ke belakang, sehingga dua serangan itu tidak menyentuh dirinya. Ketika Can Ok mengejar ke depan, Ma Giok sudah mencabut pedangnya. Kembali Can Ok menye- rang dengansepasang pedangnya dengan jurus Siang-liong-sin-yauw (Sepasang Naga Memutar Tubuh). Pedangnya menyambar dari Kanan kiri dengan cepat dan dahsyat. Melihat gerakan ini, maklumlah Ma Giok bahwa lawannya ini cukup hebat ilmu pedangnya. Dia memang sudah lama mendengar nama guru pemuda ini, yaitu Hui-kiam Lo-mo. yang terkenal sebagai datuk Sungai Huang-ho (Sungai Kuning) dan lihai sekali ilmu pedangnya maka dijuluki lblis Tua Pedang Terbang. Dengan hati-hati namun tidak kalah cepatnya dia menggerakkan pedangnya sehingga tampak sinar pedangnya bergulung-gulung dan berkelebatan ke kanan kiri menangkis serangan lawan. "Trangg ….. cringgg …… !" Tampak bunga api berpijar ketika sepasang pedang itu ditangkis dan Can Ok terkejut bukan main ketika merasa betapa kedua tangannya yang memegang pedang tergetar hebat dan terasa panas. Tahulah dia bahwa Lam-Liong Ma Giok Si Naga Selatan itu memiliki tenaga sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat, jauh lebih kuat daripada tenaganya sendiri. Akan tetapi dasar dia memiliki watak tinggi hati dan mengagulkan kepandaian sendiri, Can Ok tidak menjadi gentar dan menyerang lebih hebat lagi. Ma Giok juga mengeluarkan ilmunya dan selain mengelak dan menangkis, diapun membalas serangan dan setelah lewat belasan jurus, mulailah Can Ok terdesak hebat. Gulungan sinar pedang Ma Giok semakin melebar dan dua gulungan sinar pedang Can Ok menyempit dan terhimpit. Biarpun dia memegang dua batang pedang, tetap saja Can Ok kini hanya mampu memutar sepasang pedangnya untuk menangkis dan melindungi tubuhnya, sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Sementara itu, cuaca mulai menjadi gelap, malam menjelang datang menggantikan cuaca senja yang remang.
Karena lawannya cukup tangguh sehingga Ma Giok harus mencurahkan semua perhatiannya untuk merobohkannya dan kini sudah mampu mendesaknya, maka pendekar itu kurang memperhatikan Kui Siang yang masih berdiri di bawah pohon dan menonton dengan hati khawatir.
Tiba-tiba Ma Giok mendengar Kui Siang menjerit. Dia terkejut sekali dan cepat melompat ke belakang menjauhi Can Ok lalu menoleh ke arah Kui Siang lagi. Alangkah kagetnya melihat tempat itu kosong. Kui Siang tidak lagi berada di situ, dan dia melihat dia di antara selusln orang tadi melarikan dIri sambil memegangi kedua lengan Kui Siang. Melihat ini, Ma Giok mengeluarkan seruan nyaring melengking dan tubuhnya melesat kedepan, mengejar dua, orang yang melarikan Kui Siang itu.
Akan tetapi sepuluh orang anggauta gerombolan menghadangnya dan menye rangnya dengan golok mereka. Juga Can Ok mengejar dan menyerang dengan sepasang pedangnya. Ma Giok marah bukan main. Pedangnya berkelebat menyambar-nyambar, sinarnya bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk. Terdengar teriakan-teriakan dan dalam waktu beberapa detik saja empat orang anggauta gerombolan sudah roboh mandi darah menjadi korban pedang di tangan Ma Giok! Kemarahan Ma Giok kini dltujukan kepada Can Ok yang dianggapnya menjadi sebab terculiknya Kui Siang, maka sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatannya, dia menyerang Can Ok. Can Ok mencoba menangkls dengan sepasang pedangnya, akan tetapi kaki kiri Ma Giok mencuat dan Can Ok berteriak, roboh tertendang. Dengan gerakan Liong ong-lo-hai (Raja Naga Mengacau Lautan) Ma Giok kembali merobohkan dua orang pengeroyok sehingga yang lain menjadi gentar dan mundur. Ma Giok menggunakan kesempatan ini. untuk melompat dan mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) berlari cepat sekali mengejar dua orang penjahat yang melarikan Kui Siang.
Untung Kui Siang masih dapat menjerit sehingga Ma Giok dapat mengejar ke arah yang benar. Tak lama kemudian dia dapat mengejar dua orang yang sedang menyeret-nyeret Kui Siang. Agaknya mereka berduapun tahu bahwa Ma Giok mengejar dan sudah berada di belakang mereka. Seorang di antara mereka, yang,bertubuh tinggi besar dan mukanya brewok, berhenti berlari, membalikkan tubuh, menempelkan goloknya di leher Kui Siangdan membentak,
"Berhenti! Atau akan kupenggal leher wanita inil"
Melihat Kui Siang diancam seperti itu, Ma Giok tertegun dan diapun berhenti bergerak di depan mereka berdua, memandang Kui Siang yang rambutnya awut-awutan dan menangis. Tentu saja Ma Giok. tidak berani menyerang karena maklum bahwa kalau hal itu dia lakukan, biarpun dia tentu dapat membunuh dua orang itu, namun nyawa Kui· Siang tak- kan dapat tertolong lagi. Golok dua orang itu kini sudah menempel di leher Kui Siang!
"Jangan bunuh ia, jangan ganggu ia. Ia tidak bersalah apa-apa." katanya dengan khawatir sekali.
Si brewok 'itu menyeringal. Cuaca belum gelap benar sehingga dalam keremangan ltu mereka semua masih dapat melihat dengan jelas. "Kau tidak ingin kami membunuhnya? Nah, menyerahlah. Lepaskan pedangmu itu!” perintah si brewok sambil menekan goloknya pada leher Kui Siang. "Kalau engkau tidak menurut, leher mulus ini pasti akan kupenggal!"
Terpaksa Ma Giok melemparkan pedangnya ke atas tanah. llSudah kubuang pedangku. Bebaskan ia!" katanya dengan suara tenang walaupun hatinya berdebar tegang karenakhawatir akan keselamatan Kui Siang. Dalam keadaan ini, melihat keselamatan Kui Siang terancam, barulah terasa olehnya betapa besar arti dan nilai wanita itu baginya! Dia akan rela mengorbankan nyawanya sendiri untuk Kui Siang!
Si brewok yang melihat Ma Giok membuang pedangnya, dan mendengar Ma Glok minta mereka membebaskan wanita itu, tertawa bergelak, lalu menoleh kepada kawannya. "Kau tetap tempelkan golokmu di lehernya. Hati-hati, jangan sampai ia lolos, biar kubereskan dulu pengkhianat ini!" Setelah berkata demikian, dia melangkah maju dan mengangkat goloknya untuk dibacokkan ke kepala Ma Giok!
Pada saat itu orang kedua yang menodong Kui Siang dengan goloknya berteriak kesakitan karena wanita itu dengan nekat sekali menggunakan kesempatan itu untuk menggigit lengan yang memegang golok itu. Gigitannya kuat sekali karena Kui Siang telah nekat. Golok itu terlepas dari pegangannya dan pada saat itu pula
Ma Giok cepat bertindak. Ma Giok cepat sekali bergerak ke depan ketika golok di tangan si brewok itu masih terangkat ke atas dan dengan jurus Cun-lui-tong-te (Geledek Musim Semi Menggetarkan Bumi) dia memukul ke arah si muka brewok.
"Wuuuttt ….. desss……!!” si tinggi besar muka brewok itu terlempar dan roboh terjengkang, tewas seketika. Ma Giok tidak berhenti sampai di situ saja. Dia melanjutkan gerakannya, kini memukul ke arah orang ke dua yang baru saja lengannya digigit Kui Siang. Tangannya menampar ke arah kepala orang ke dua itu. Dia mempergunakan jurus Tai-pangtian-ci (Burung Garuda Pen tang Sayap).
"W uuuttt ……. prakkk …… !" Kepala anggauta gerombolan itu pecah terkena tamparan yang amat kuat itu.
Melihat dua orang yang tadi menyeretnya roboh, Kui Siang menubruk Ma Giok sambil menangis. Ma Giok merangkulnya dan mendekap kepala itu ke dadanya. Tiba-tiba Kui Siang mengeluh dan memegangi perutnya.
“Aduhh ……. paman …… aduhhh …… perutku …… !"
Ma Giok terkejut sekali. Tanpa bertanya lagi tahulah dia apa artinya itu. Agaknya Kui Siang hendak melahirkan! Pada saat itu, Kui Siang merintih lalu terkulai, pingsan dalam rangkulan Ma Giok. Ma Giok cepat memondong tubuh Kui Siang, mengambil pedangnya dari atas tanah, kemudian ia berlari cepat menuju ke dusun yang dilihatnya tadi. Dia tidak perduli lagi akan dua ekor kuda tunggangan mereka, buntalan pakaian dan uang. Yang teringat saat itu hanyalah bagaimana menyelamatkan Kui Siang. Dia harus membawa Kui Siang ke dusun itu sebelum wanita itu melahirkan!
Untung baginya bahwa malam itu bulan sepotong muncul lewat senja sehingga dia dapat melihat jalanan. Setelah berlari cepat beberapa lamanya, tampaklah sinar lampu rumah- rumah penduduk sebuah dusun. Pada rumah pertama, karena khawatir sekali akan keadaan Kui Siang, Ma Giok mengetuk pintu rumah itu.
"Siapa di luar?" terdengar suara seorang wanita tua.
"Saya, tolong bukakan pintu, saya butuh pertolongan karena keponakanku sakit!" kata Ma Giok.
Daun pintu terbuka dan seorang wanito. berusia sekitar lima puluh tahun, berpakaian petani, muncul di ambang pintu. Sinar lampu menyorot dari dalam menerangi wajah Ma Giok yang memondong tubuh Kui Siang yang masih pingsan. Wanita itu memandang kepada Kui Siang dan bertanya her an.
“Ia kenapakah?"
“Ia sakit …… eh, sebetulnya, ia ….. agaknya akan melahirkan. Tolonglah, nyonya, beri tempat dan panggilkan seorang bidan untuk menolongnya melahirkan …… "
"Ah, agaknya Thian (Tuhan) yang membimbingmu ke sini, si-cu (tuan), karena kebetulan sekali aku adalah seorang bidan. Mari, bawa ia masuk ke dalam kamar ini." Sambil membawa sebuah lampu meja, wanita itu mengajak Ma Giok yang memondong Kui Siang memasuki sebuah kamar yang tidak seberapa luas namun cukup bersih. "Rebahkan ia di pembaringan ini." kata wanita itu.
Setelah Kui Siang dibaringkan, wanita itu memandang heran. "Ia kenapa? Agaknya ia seperti tidur ……"
"Ia pingsan, tadi kesakitan di jalan. Biar kusadarkan ia." Ma Giok lalu menotok jalan darah dan mengurut tengkuk Kui Siang, mencubit otot besar dan Kui Siang mengeluh lalu membuka mata. Ia memandang kepada MaGiok dan ke kanan kiri sampai ia melihat wanita itu., "Paman, kita berada di mana ?" tanyanya.
"Tenangkan hatimu, Kui Siang. Kita ditolong oleh nyonya bidan yang baik hati ini." kata Ma Giok.