Si Tangan Halilintar Chapter 41

NIC

"Bagaimana pendapatmu, Kui Siang?"

Wanita itu balas memandang dan tersenyum, senyum manis penuh kepasrahan kepada pendekar itu, lalu berkata lirih, "Aku hanya menurut dan menaati apa yang kauputuskan, paman. Terserah kepada keputusanmu.

Ma Giok menghela napas lega. Biarpun dia tidak akan menghalangi kalau Kui Siang memilih tinggal di rumah pembesar Mancu itu, namun di dalam hatinya dia akan merasa kecewa.

"Nah, Souw-taijin dan Souw-hujin, kami berdua memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sekarang juga dan terima kasih atas kebaikan hati ji-wi (kalian berdua)."

Souw-taijin dan isterinya merasa kecewa sekali, akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat memaksa kalau kedua orang itu memang bermaksud untuk melanjutkan perjalanan.

Setelah menghela napas panjang, Souw Bu Lai berkata, "Kalau ji-wi (kalian berdua) hendak melanjutkan perjalanan, kami tidak dapat menahan. Akan tetapi, kulihat kuda tunggangan Kui Siang sudah lemah karena kelelahan. Karena itu terimalah sumbangan dua ekor kuda dari kami agar ji-wi dapat melanjutkan perjalanan dengan lancar. Kami harap jiwi tidak akan menolak pemberian kami ini karena hal itu akan membuat hati kami menderita sekali."

Karena khawatir kalau-kalau Ma Giok yang pemimpin pejuang itu akan berkeras menolak, Kui Siang mendahului. "Baiklah, kami terima pemberian tai-jin dengan rasa syukur dan terima kasih. Akan tetapi tai-jin sekeluarga harap berhati-hati karena banyak orang jahat yang dapat mengganggu tai-jin."

"Jangan khawatir, Kui Siang. Kami telah minta bala bantuan dari kota Jiangli dan sebentar lagi tentu datang sepasukan perajurit yang akan bertugas sebagai penjaga keamanan di sini."

Ma Giok tentu saja tidak dapat menolak lagi pemberian itu karena Kui Siang sudah mendahuluinya menerima. Dua ekor kuda yang besar dan kuat diberikan kepada mereka, bahkan Souw-taijin membekali dengan sekantung emas yang diselipkan di sela kuda. Setelah berpamit, berangkatlah Ma Giok dan Kul Siang, melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Gunung Thai-san.

Dua ekor kuda itu ber jalan perlahan di jalan sunyi itu. Sudah tiga hari mereka meninggalkan dusun Lian-ki-jing. Kesunyian itu membuat Kui Siang mendapat kesempatan untuk mengeluarkan gagasan yang membuat ia bingung semenjak ia meninggalkan keluarga Souw di Lian-ki-jing itu.

"Paman Ma, aku merasa heran sekali dan tidak mengerti ……” Ma Giok yang menunggang kuda di sebelah kiri Kui Siang, menoleh dan memandang wanita itu sambil tersenyum. "Apa yang kauherankan dan tidak kau mengerti itu?"

Kui Siang memandang lagi ke depan dan menjalankan kudanya perlahan-lahan. "Ketika aku masih menjadi puteri Pangeran Abagan yang. menyayangku, aku menganggap bahwa dia seorang yang baik dan para pejuang yang kuanggap sebagai penjahat dan pengacau adalah orang-orang jahat. Kemudian, setelah terjadi keributan yang mengakibatkan tewasnya suamiku, aku melakukan perjalanan bersamamu, aku sering mendengar paman bercerita tentang para pejuang yang gagah perkasa, pembela nusa bangsa yang budiman dan tentang orang-orang Mancu yang menjadi pembesar sebagai orang-orang jahat. Aku mulai merasa kagum kepada para pendekar pejuang dan mulai merasa benci kepada orang-orang Mancu. Akan tetapi apa yang kualami semenjak melarikan diri dari gedung Pangeran Abagan, aku melihat kenyataan yang sungguh amat berlawanan dengan apa yang kau ceritakan, paman. Aku menjadi bingung dan ragu. Beberapa kali aku bertemu dengan para pejuang yang merampok dan jahat, suka memperkosa wanita. Sebaliknya, bukan hanya Pangeran Abagan yang baik hati, melainkan juga Pembesar Souw Bu Lai itupun seorang Mancu yang baik hati." Wanita itu berhenti bicara dan menoleh, memandang kepada Ma Giok dengan sinar mata bertanya.

Sebelum menjawab Ma Giok menarik napas panjang. "Akupun seringkali melihat kenyataan yang memuakkan dan membuat aku marah, Kui Siang. Mereka yang jahat itu sebetulnya bukan pejuang sejati, melainkan pejuang palsu, hanya. orang-orang jahat yang berkedok perjuang untuk menutupi kejahatan mereka. Mereka itu adalah orang-orang yang mencemarkan kehormatan para pejuang sejati."

"Dan paman tentu akan menentang orang-orang jahat yang menggunakan nama pejuang itu, bukan?"

"Tentu saja! Mereka orang jahat dan sebagai seorang pendekar aku harus membela kebenaran dan keadilan, menentang yang jahat dan membela yang benar namun lemah tertindas!"

"Dan engkau juga menentang pembesar Mancu, walaupun pembesar itu baik hati?"

Ma Giok meragu, lalu menghela napas kembali. "Di sini kadang terjadi pertentangan batin dalam hatiku, Kui Siang. Sebagai seorang patriot pejuang pembela tanah air dan bangsa, aku harus menentang setiap orang Mancu karena mereka menjajah tanah air kita. Akan tetapi sebagai seorang pendekar, aku harus membela yang benar dan menentang setiap orang penjahat, tidak peduli bangsa dan dari golongan apa penjahat itu. Seperti Souw- taijin itu, kalau aku ingat bahwa dia seorang pembesar Mancu, seharusnya aku menentangnya. Akan tetapi di lain pihak aku melihat dia seorang yang baik hati dan diganggu oleh orang-orang jahat, maka aku harus membela dan menolongnya. Aku sendiri menjadi bingung kalau menghadapi kenyataan seperti itu."

Kui Siang mengerutkan alisnya yang kecil panjang dan hitam. Ia ikut memikirkan persoalan yang dihadapi Ma Giok. Kemudian ia berkata, "Aku mempunyai pendapat dan gagasan, paman. Akan tetapi sebelum kukatakan itu, kuharap lebih dulu agar paman suka memaafkan kelancanganku ini."

Ma Giok tersenyum. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kui Siang. Dan sama sekali tidak lancang kalau engkau mempunyai gagasan. Mungkin pendapatmu itu dapat menjadi bahan pertimbangan untuk aku. Katakanlah bagaimana pendapatmu dan apa gagasanmu itu?"

"Begini, paman. Bangsa Mancu menjatuhkan kerajaan Beng dengan perang. Kalau para pejuang hendak mengusir penjajah Mancu, tentu harus melalui pertempuran, berarti perang yang melibatkan banyak orang. Karena ltu, seyogyanya paman dapat memisahkan antara tugas patriot yang berjuang dan tugas pendekar yang membela kebenaran dan keadilan. Untuk berperang mengusir penjajah, paman membutuhkan pasukan yang besar dan kuat. Akan tetapi kalau paman berada seorang diri seperti sekarang ini, tidakkah lebih baik kalau paman menempatkan diri sebagai seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan? Paman dapat menentang siapa saja yang jahat, baik dia orang Han, orang Mancu, atau orang berbangsa apapun juga. Dan paman membela mereka yang benar akan tetapi lemah tertindas, juga tidak perduli orang itu dari golongan manapun. Paman sekarang menjadi pendekar. Kelak, kalau saatnya tiba dan dapat dihimpun pasukan besar untuk memerangi penjajah, baru paman sebagai pahlawan patriot. Bagaimana pendapat paman?"·

Mendengar ucapan itu, Ma Giok mengerutkan alisnya dan matanya setengah dipejamkan, dia berpikir keras dan menimbang-nimbang. Akhirnya dia membuka matanya dan mengangguk-angguk, lalu menoleh kepada Kui Siang dan berkata lantang bernada gembira. "Bagus! Tepat sekali pendapat dan gagasanmu itu, Kui Siang. Tadinya ada juga pikiran seperti itu menyelinap dalam benakku, akan tetapi aku masih ragu-ragu. Sekarang, mendengar pendapatmu, aku menjadi lega dan hatiku menjadi tetap. Baik, mulai saat ini aku akan berpikir dan bertindak sebagai pendekar dan kelak, kalau saatnya tiba, kalau ada pasukan besar dan kuat yang siap bertempur, baru aku akan bertindak sebagai seorang pejuang."

“Terima kasih kalau paman setuju dengan pendapatku, aku merasa girang sekali!" kata Kui Siang. Wanita itu semakin kagum kepada Ma Giok yang ternyata adalah seorang pendekar yang sakti, berwibawa, dan dapat menerima pendapat orang lain yang berarti bahwa dia memiliki kerendahan hati. Juga selama dalam perjalanan ini Ma Giok selalu bersikap ramah, sabar, penuh pengertian dan selalu menjaganya dengan penuh perhatian. Diam-diam ia merasa berhutang budi dan berterima kasih sekaIi. Kalau tidak ada perlindungan Ma Giok, tentu ia sudah celaka dan bukan mustahil kalau sekarang ia telah tewas.

Posting Komentar