"Aku titip keponakanku di sini!” katanya.
“Di mana keponakanmu, tai-hiap? Kalian cepat ikut tai-hiap dan mengawal keponakannya ke sini!! perintah pembesar itu kepada para perajurit. Lima orang perajurit lalu mengikuti Ma Giok yang kembali ke tempat di mana Kui Siang menanti. Kui Siang girang melihat Ma Giok muncul, akan tetapi ia memandang kepada lima orang perajurit Mancu dengan alis berkerut. Melihat mereka, teringatlah ia akan para perajurit pengawal ayah tirinya. Betapa dahulu para perajurit Mancu bersikap sangat hormat kepadanya karena ia adalah puteri Panger an Abagan dan isteri Lauw Heng San, komandan dari pasukan Garuda Sakti yang terkenal.
"Kui Siang, engkau ikut mereka dan menunggu aku di rumah pembesar itu. Aku harus mengejar para penjahat yang menculik putera dan mantu sang pembesar itu" kata Ma Giok dan tanpa menanti jawaban dia sudah melompat dan berlari cepat mengejar ke arah larinya para penjahat tadi.
Karena sudah dipesan Ma Giok, pula karena bagi ia sendiri, para perajurit Mancu tidak mendatangkan kesan buruk karena biasanya mereka itu bersikap baik kepadanya, Kui Siang mengangguk ketika lima orang itu memberi hormat kepadanya dan mempersilahkan ia menjalankan kudanya menuju ke rumah gedung pembesar itu. Lima orang perajurit itu mengawalnya dan Kui Siang bertanya kepada perajurit yang berjalan di dekat kudanya.
"Siapakah nama pembesar atasan kalian itu? Dan apa pangkatnya?"
Perajurit itu menjawab dengan sikap hormat. "Beliau adalah seorang pembesar pemungut pajak dan bernama Souw Bu Lai, baru beberapa bulan datang dari kota-raja Peking."
Kui Siang dapat menduga bahwa pembesar yang bernama Souw Bu Lai itu tentu nama aselinya Sabulai, nama Mancu. Setelah tiba di depan gedung itu, pembesar Souw Bu Lai yang bertubuh jangkung kurus bersama isterinya menyambut Kui Siang. Melihat Kui Siang adalah seorang wanita muda yang sedang mengandung, Nyonya Souw lalu membantunya turun dari kuda, dibantu pula oleh dua orang pelayan.
"Marilah, nak, mari istirahat di dalam." kata nyonya gemuk itu dengan ramah, sambil mengandeng tangan Kui lang. Juga Souw-taijin (pembesar Souw) memberi hormat dan bersikap ramah.
"Maafkan kami kalau kami mengganggu, sehingga perjalananmu dengan pamanmu menjadi terganggu, toanio (nyonya)." kata Souw-taijin.
Melihat sikap mereka yang ramah dan horrmat itu, senang juga hati Kui Siang dan iapun ikut memasuki gedung. Karena memang sejak kecil sudah terbiasa bergaul dengan keluarga bangsawan, maka Kui Siang tidak merasa canggung. Melihat sikap Kui Siang yang pandai menyesuaikan diri dan tidak malu-malu, keluarga itu juga merasa suka kepada nyonya muda itu. Ketika Kui Siang diajak makan dan berbincang-bincang di ruangan daJam, keJuarga pembesar itu bertanya tentang keadaan keluarganya. Tentu saja pertanyaan yang wajar ini tidak dapat dihindarkan Kui Siang dan terpaksa ia harus menjawab dan menceritakan riwayatnya. Akan tetapi, ia tidak mau bercerita tentang ayah tirinya, Pangeran Abagan atau pembesar Thio Ci Gan, juga ia tidak menceritakan bahwa mendiang suaminya adalah seorang perwira yang memimpin pasukan Garuda Sakti yang terkenal.
"Nama saya Bu Kui Siang," ia memperkenalkan diri dengan suara lembut, "suami saya sudah meninggal dunia terbunuh orang-orang jahat. Pamanku Ma Giok yang kini mengejar penjahat menyelamatkan diriku sehingga tidak ikut terbunuh."
“Ah , kasihan sekali engkau, nak!" kata Nyonya Souw sambil memegang lengan Kui
Siang. Menerima sikap mereka yang akrab dan mengasihaninya itu, Kui Siang menjadi terharu dan ia tidak dapat menahan menetesnya beberapa butir air mata.
"Hemm, penjahat-penjahat itu harus dihukum berat!" geram Souw-taijin gemas, teringat akan keadaannya sendiri yang diganggu penjahat. "Mereka sudah dihajar oleh Paman Ma Giok dan sahabat-sahabatnya." kata Kui Siang, teringat betapa pangeran Mancu yang menjadi ayah tirinya dan para anak buahnya telah terbunuh oleh mendiang suaminya dan para pendekar, termasuk Ma Giok.
"Dan sekarang, engkau dan pamanmu hendak pergi ke manakah?" tanya Nyonya Souw.
"Karena saya tidak mempunyai keluarga lain lagi, Paman Ma Giok mengajak saya untuk pergi ke Thai San, di mana dia akan tinggal." kata Kui Siang dengan suara sedih karena ia teringat akan ibu kandungnya yang tidak ketahui ke mana lari atau perginya.
"Sudahlah, toa-nio, harap kuatkan hati dan jangan terlalu menuruti hati sedih, terlalu berduka amat tidak baik bagi kandunganmu." kata Souw-taijin.
"Benar, Kui Siang ……..eh, kupanggil namamu begitu saja, ya? Aku merasa dekat denganmu seolah engkau anggauta keluarga kami sendiri. Jangan terlalu bersedih. Kalau engkau sudah tidak mempunyai keluarga lagi, anggaplah kami sebagai keluargamu dan engkau tinggallah saja di sini bersama kami." kata Nyonya Souw dengan ramah.
"Wah, usul yang baik sekali itu!" kata, Souw-taijin. "Aku setuju, Kui Siang., Tinggallah di sini bersama kami, kalau tidak selamanya ya sampai engkau melahirkan dan anakmu menjadi besar. Kami tidak tega melihat engkau yang sedang mengandung begini melakukan perjalanan jauh yang amat melelahkan." Kata-kata ini terdengar wajar, tidak dibuat-buat atau sekedar pemanis bibir belaka.
Kui Siang menjadi terharu sekali. Kembali, setelah Pangeran Abagan yang menjadi ayah tirinya, la bertemu dengan pembesar Mancu dan isterinya yang amat baik hati la semakin yakin bahwa tidak semua orang Mancu itu jahat, juga tidak semua orang Han itu baik. Yang jahat adalah para penguasa Mancu, pemerintahnya, yang menjajah tanah air bangsa Han.
"Terima kasih kepada Souw-taijin dan Souw-hujin (Nyonya Souw) berdua. Soal itu harus dibicarakan dengan Paman Ma, karena dialah yang berhak memutuskan apa yang harus saya lakukan. Hanya dialah pelindung saya dan saya akan mentaati segala petunjuknya."
Souw-taijin mengangguk-angguk. "Dia seorang pendekar sakti yang pantas kautaati. Mudah-mudahan dia dapat menyelamatkan putera dan mantu kami."
Putera pembesar Souw yang ditawan gerombolan itu bernama Souw Cln, berusia dua puluh lima tahun, berwajah tampan dan sikapnya lembut, seorang yang telah lulus dalam pelajaran kesusasteraan. Baru sepekan yang lalu Sduw Cin melangsungkan pernikahannya dengan Lui In, isterinya yang baru berusia delapan belas tahun, yang kini ikut pula terculik bersamanya. Pernikahan itu menghebohkan di kalangan para pejabat bangsa Mancu, juga menggegerkan para pejuang karena Souw Cin adalah seorang bangsa Mancu aseli, sedangkan Lui In adalah seorang gadis bangsa Han aseli. Akan tetapi Souw-taijin yang bijaksana tidak memperdulikan perbedaan ras ini. Dia menyetujui pernikahan itu karena dia tahu benar bahwa perjodohan itu berdasarkan cinta kasih kedua pihak.
Akan tetapi ternyata perkawinan itu mendatangkan akibat buruk, yaitu diserangnya keluarga pembesar Souw pada hari itu, bahkan sepasang pengantin yang baru sepekan menikah itu sempat diculik dan dilarikan gerombolan. Sepasang suami isteri muda itu dilarikan naik ke sebuah bukit kecil yang permukaannya penuh dengan hutan lebat. Baik Souw Cin maupun Lui In, keduanya tidak mampu meronta atau berteriak karena mereka telah lemas oleh totokan dua orang pimpinan gerombolan yang kini memanggul mereka sambil lari bersama kawan-kawannya yang kesemuanya berjumlah tiga puluh orang. Akhirnya mereka tiba di puncak bukit, dalam sebuah hutan cemara. Di tempat terbuka, di mana pohon-pohonnya sudah. ditebang, terdapat beberapa buah rumah darurat terbuat dari kayu dan bambu.
Mereka membentuk lingkaran yang besar dan dua orang tawanan itu diturunkan di tengah- tengah lingkaran. Souw Cin diturunkan dengan kasar, setengah dibanting sehingga pemuda Mancu itu terguling. Akan tetapi Lui In diturunkan perlahan-lahan.
"Kalian berlutut, beri hormat kepada para pimpinan kami!" bentak seorang anak buah gerombolan yang tinggi besar dan brewok. Yang disebut pimpinan itu adalah orang yang memondong tawanan tadi, ditambah seorang lagi. Mereka bertiga duduk di sebuah bangku, sedangkan para anak buah berjongkok atau duduk di atas tanah. Di sebelah mereka terdapat pula tiga bangku kosong, yaitu tempat duduk tiga orang pemimpin lain yang tadi dirobohkan Ma Giok dan sekarang berada di dalam rumah untuk mengobati luka-luka mereka.
"Hayo berlutut!" bentak lagi si brewok kemuka Souw Cin dan Lui In yang duduk bersimpuh di atas tanah depan para pimpinan itu tidak segera berlutut memberi hormat.
"Kalian ingin disiksa, ya?" si brewok yang agaknya menjadi algojo Itu melangkah maju dan menampar muka Souw Cin.
"Plakk! Tubuh Souw Cin terguling dan pipi kirinya membengkak. Lui In menubruknya dan menangis. Akan tetapi mereka berdua tetap tidak mau berlutut, hanya duduk sambil berangkulan.
Tiga orang pimpinan lain yang tadi merawat luka mereka kini meloncat dari atas bangku- bangku yang kosong. Seorang di antara mereka, yang bertubuh. tinggi kurus dan mukanya kuning, melihat algojo hendak menjambak rambut panjang Lui In, cepat mengangkat tangan.
"Hentikan! Aku akan memeriksa mereka!" Algojo itu tidak jadi menyiksa dan melepaskan rambut panjang Lui In.
"Heh, kalian berdua! Tidak tahukah Kalian siapa kami? Siapa aku?" bentak pemimpin gerombolan bermuka kuning itu.
Souw Cin dan Lui In mengangkat muka memandang ke arah si muka kuning, lalu kepalanya menggeleng sebagai jawaban bahwa mereka tidak mengenal mereka.
"Hemm, orang-orang Mancu memang sombong dan bodoh! Ketahuilah engkau, heh Souw Cin orang Mancu keparat, kami adalah para pejuang, orang-orang Han yang membela kerajaan Beng dan menentang kalian para penjajah Mancu! Dan aku adalah Ui-bin-houw (Harimau Muka Kuning), satu di antara Enam Harimau yang memimpin pasukan pejuang ini!” Mendengar ucapan itu, Souw Cin menatap dengan muka berubah pucat karena dia maklum bahwa nyawanya tidak akan tertolong lagi. Dia hanya mempererat rangkulannya kepada isterinya siap untuk mati bersama isterinya. “Dan engkau, Lui In, perempuan rendah dan hina tak tahu malu! Engkau adalah seorang wanita Han, bagaimana mau merendahkan diri diperisteri seorang penjajah Mancu? Engkau pengkhianat! Kalian berdua harus dihukum dan dengarlah keputusan hukuman bagi kalian! Souw Cin, isterimu akan dlperkosa beramai-ramai di depan matamu, baru kami akan membunuhmu!"
“Tidak …. !!" Souw Cln bangkit berdiri sehingga Lui In yang didekapnya dengan erat itu terbawa berdiri pula. "Kalau kalian mau membunuhku, lakukanlah! Akan tetapi jangan mengganggu Lui In, Ia tidak bersalah apa-apa dan bukankah ia itu sebangsa dengan kalian?" Pada saat itu ternyata totokan yang membuat Souw Cin dan Lui In tidak mampu bicara telah habis pengaruhnya dan mereka mampu menggerakkan semua anggauta tubuh dan dapat mengeluarkan suara. "Ha-ha-ha!!” Kepala gerombolan nomor satu yang berjuluk Harimau Muka Kuning itu tertawa. "Justeru kami ingin engkau melihat isterimu diperkosa beramai-ramai itulah sebagian dari hukumanmu!"
"Tidak! Tidak, jangan ganggu isteriku!" Souw Cin memeluk isterinya yang mulai menangis tersedu-sedu.