"Stop, stop! Jangan menangis lagi, nanti aku ikut menangis. Kau ingin mati? tidak tahan hidup lagi? Pengecut, penakut, tidak pantas kau menjadi isteri seorang pendekar patriot seperti Bu Kiat apa kau tidak ingin membalas kejahatan perwira anjing Mancu?"
"Aduh, Kui-bo, bagaimana mungkin? Aku hanya seorang wanita yang Ielah dan sudah mulai tua. Tentu saja aku ingin membasmi penjajah Mancu yang telah membunuh suamiku dan kini membuuh mantuku dan membuat puteriku melarikan diri entah ke mana. Hidupku sengsara semenjak bangsa Mancu menjajah tanah air kita. Aku ingin membalas lendam, akan tetapi bagaimana?"
"Ho-ho-heh-heh, dasar perempuan goblok! Lihat aku ini. Apa aku ini kurang tua? Akan tetapi aku sudah membunuh banyak anjing Mancu. Jadilah muridku dan engkau akan dapat membunuh banyak musuh!"
Mendengar ini, Nyonya Bu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki nenek itu. "Su-bo (Ibu guru), tee-cu (murid) suka sekali kalau Subo sudi mengajarkan ilmu kepada tee-cu:"'
"Hemm, kalau engkau benar-benar ingin menjadi muridku, mulai sekarang engkau harus tunduk dan taat kepadaku, melaksanakan semua perintahku, En gkau sanggup?"
“T ee-cu sanggup, su-bo!"
"Nah, perintahku yang pertama. Mulai saat ini engkau tidak boleh menyebut Subo kepadaku. Sebut saja Kui-bo karena aku dikenal sebagai Pek-sim Kui-bo (Biang Iblis Berhati Putih). Dan aku akan tetap menyebutmu Nyonya Bu!"
"Baik, Kui-bo." kata Nyonya Bu dengan sikap taat. Ia tahu bahwa gurunya ini seorang nenek yang sakti sekali akan tetapi wataknya aneh, seperti orang gila. Kalau tidak di turuti kehendaknya, bisa repot dan berbahaya sekali.
Mungkin ia akan dibunuhnya seketika. Nyonya Bu tidak tahu bahwa nenek itu, biarpun seperti orang gila, namun ia dapat membunuh dengan kejam hanya kepada orang jahat, dan tidak pernah mengganggu orang baik-baik, bahkan selalu menolong orang yang tertindas. Karena itu dunia kangouw (sungai telaga, persilatan) memberinya julukan Biang iblis Berhati Putih.
"Bagus! Nah, sekarang mari kita pergi." Pek-sim Kui-bo memegang tangan Nyonya Bu dan membawanya berlari. Nyonya Bu terkejut bukan main. la menggerakkan kedua kakinya untuk ikut berlari, akan tetapi tiba-tiba ia merasa tubuhnya terangkat, kedua kakinya tidak menyentuh tanah, akan tetapi tubuhnya meluncur dengan cepatnya. la melihat nenek itu berlari cepat sekali dan ia merasa seolah dirinya dibawa terbang!
Setelah matahari condong ke barat, barulah Pek-sim Kui-bo berhenti. Mereka. telah berlari jauh sekali, melewati dua buah bukit dan keluar masuk beberapa buah hutan besar. Ketika Pek-sim Kui-bo berhenti di sebuah hutan, ia melepaskan tangan Nyonya Bu dan sambil menengadahkan mukanya ke atas, hidungnya kembang-kempis mencium-cium. Melihat ini, Nyonya Bu otomatis juga memperhatikan dan menyedot-nyedot dengan hidungnya untuk dapat mencium apa yang agaknya menarik hati nenek itu. Akhirnya ia mencium bau sedap dari daging dibakar dan tahulah ia mengapa nenek itu berhenti. Agaknya bau daging dibakar itulah yang membuat nenek itu berhenti. Kalau tidak, agaknya ia tidak akan pernah menghentikan larinya yang seperti terbang.
"Aduh-aduh …….!" Tiba-tiba Pek- sim Kui-bo terbungkuk-bungkuk dan menekan perutnya dengan kedua tangannya dan mukanya tampak seperti orang kesakitan. Melihat ini, Nyona Bu terkejut dan cepat menghampiri "Kui-bo, ada apakah? Apamu yang sakit?"
“Aduh ……. aduh ……. perutku !" nenek itu mengeluh. “Ada apa dengan perutmu? Sakitkah?"
Nenek itu mengangguk sambil menekan perutnya. "Sakit apakah, Kui-bo? Mulas?"
"Tidak, akan tetapi perih sekali ………, lapar …….!”
Mendengar ini, tak tertahankan lagi. Nyonya Bu tertawa terkekeh-kekeh saking gelinya melihat ulah nenek itu mencium bau daging bakar mendadak perutnya terasa lapar dan ia mengerang kesakitan.
Nenek itu begitu mendengar orang tertawa lalu tertawa bergetak, akan tetapi segera tawanya berubah menjadi tangis dan ia berteriak-teriak, " …….lapar! Lapar …….!”
"Mari, Kui-bo, kita datangi orang yang memanggang daging itu. Mungkin dia mau membagi sedikit untuk kita." kata Nyonya Bu yang tiba-tiba juga merasa betapa lapar perutnya. Menurutkan nalurinya sebagai seorang ibu yang menghadapi seorang anaknya yang rewel,. Nyonya Bu juga menggandeng tangan Pek-sim Kui-bo dan menariknya, mengajaknya memasuki hutan menuju ke arah dari mana datangnya bau sedap daging panggang itu. Pek-sim kui-bo menurut saja dengan lagak manja. Seperti anak kecil merengek kepada ibunya.
Ketika mereka tiba disebuah lapangan rumput yang terbuka di tengah hutan itu, mereka melihat asap mengepul dan ternyata memang ada seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun duduk menghadapi api unggun dan memanggang dua ekor kelenci gemuk yang sudah dikuliti. Agaknya laki-laki itu memberi bumbu kepada dua ekor kelenci yang dipanggangnya maka tercium bau yang sedap seperti bau bawang dimasak. Bahkan Nyonya Bu sendiri yang juga merasa lapar itu terpaksa menjilat bibir dan menelan ludah melihat daging yang kemerahan dan mengeluarkan bau sedap itu.
Ketika mendengar langkah orang laki-laki itu menoleh dan melihat dengan heran kepada dua orang wanita itu. Tentu saja ia merasa heran melihat dua orang wanita tiba-tiba muncul dalam hutan lebat itu. Apalagi melihat nyonya Bu yang dalam usia kurang lebih empat puluh tahun masih tampak cantik jelita dengan bentuk tubuh yang menggairahkan.
Melihat laki-laki itu menengok dan tampak wajahnya yang berkumis, berjienggot dan bercambang tebal, Nyonya Bu lalu melangkah maju dan merangkap kedua tangan depan dada sambil mem)ungkuk sebagai penghormatan.
"Sobat, kami berdua sedang merasa lapar sekali. Kalau boleh kami ingin minta sedikit daging yang kau panggang itu." kata Nyonya Bu dengan halus dan sopan.
Laki-laki itu bangkit berdiri menghadapi Nyonya Bu, mengamati wanita itu dari rambut sampai ke kakinya, kemudian nenyeringai lebar, tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan meraba-raba jenggotnya.
“Nona yang baik, apakah kalian hanya datang berdua saja?”
Nyonya Bu mengangguk, tidak perduli walaupun orang menyebutnya nona” "Tidak ada laki-laki yang mengantar kalian?" Kembali Nyonya Bu menjawab dengan gelengan kepala saja.
Laki-laki itu tampak gembira, lalu melirik ke arah Pek-sim Kui-bo dan dia lalu berkata, "Nona, makanan tidak dapat diberikan dengan cuma-cuma begitu saja."
"Aku mau membelinya, menukamya dengan cincin ini …….." Nyonya Bu hendak mencabut sebuah cinci kecil dari jari manisnya.
"Wah, aku tidak ingin cincinnya. Yang kuinginkan adalah jarinya!" kata laki-laki itu.
Nyonya Bu mengerutkan alisnya dan memandang heran. "Jarinya? mana mungkin jariku ini kuberikan padamu?” tanyanya, masih tidak mengerti.
"Ha-ha-ha, kalau jarinya tidak bisa diberikan karena menempel pada tangannya, berikan saja tanganmu kepadaku!"
“Tapi …. tapi ……” Nyonya Bu membantah sambil memandang kirinya. Mana munkin…..? diberikan?
"Ha-ha-ha-ha, tangan yang menempel pada tubuhmu. Semua anggauta tubuhmu tidak dapat dipisah-pisahkan, maka berikan saja seluruh tubuhmu padaku, nona."
Wajah Nyonya Bu menjadi merah. “Apa maksudmu?" tanyanya ketus.
"Masa engkau tidak tahu? Mari makan bersamaku, nona manis, kemudian kita berdua pergi bersenang-senang. Adapun nenek ini ……. nenek buruk gila seperti setan ini, biar saja ia kelaparan dan nasuk ke neraka ….. heiii! Apa yang kaulakukan itu? Kembalikan dagingku!" laki-laki bertubuh tinggi besar itu nelihat betapa Pek-sim Kui-bo tiba-tiba maju dan menyambar seekor kelenci panggang yang langsung menggigit dan memakan. Tentu saja dia marah sekali dan cepat dia menerjang maju hendak nerampas kembali daging kelenci itu. Akan tetapi sekali kakinya mencuat, laki-laki itu tertendang dan terlempar ke belakang lalu terbanting roboh! Laki-laki itu menjadi marah sekali dan dia sudah mencabut sebatang golok dari ikat pinggangnya, kemudian sambil menggereng seperti seekor binatang dia berlari ke arah Pek-sim Kui-bo lalu menyerangnya dengan golok di tangan. Golok itu menyambar ke arah ke arah kepala nenek itu. Nenek itu masih memegang kelinci panggang di tangan kiri, lalu menggunakan tangan kanannya menyambut golok yang menyambar ke kepalanya.
Dengan tangan kosong ia menyambut golok tajam yang membacok itu. Golok bertemu dengan tangan yang kurus dan jari-jari tangan nenek itu telah dapat menangkap golok. Laki-laki itu tentu saja merasa heran dan penasaran melihat goloknya ditangkap begitu mudah oleh tangan si nenek. Dia mengerahkan tenaga untuk menarik dan mengiris tangan nenek itu agar terbabat putus. Akan tetapi, ia sama sekali tidak mampu menggerakkan goloknya. Golok itu seperti menempel pada tangan itu, sama sekali tidak dapat ditarik kembali. Bahkan nenek itu menarik dengan sentakan dan sekali tangannya merenggut, golok itu telah terlepas dari pegangan pemiliknya
Kemudian, sambi! Terkekeh membawa golok ke mulutnya dan nenggigit lalu makan golok itu seperti yang dilakukan kepada daging kelenci tadi. Terdengar suara krek-krek berkerontokan seperti orang makan krupuk! Laki-laki itu, juga Nyonya Bu sampai bengong terlongong melihat nenek itu makan golok.
Hanya sebentar laki-laki itu terbengong, karena ia segera maklum bahwa lia berhadapan dengan seorang nenek yang memiliki kesaktian seperti iblis. Maka dia menjadi takut sekali. Tanpa pamit lagi dia memutar tubuhnya dan nelompat hendak melarikan diri meninggalkan nenek yang berbahaya itu.
Akan tetapi, Pek Sim Kui-bo tiba-tiba menyemburkan pecahan-pecahan golok dari mulutnya ke arah tubuh laki-laki yang melarikan diri itu. Tampak beberapa sinar kecil meluncur dan nengenai punggung laki-laki itu. Orang tu menjerit kesakitan lalu roboh tertelungkup, berkelojotan sebentar lalu terdiam, mati karena potongan-potongan golok itu menancap dalam sekali di tubuhnya.
Nenek itu membuang sisa golok lalu bersila dekat api unggun, melanjutkan makan daging kelinci dan berkata kepada Nyonya Bu. "Hayo, Nyonya Bu. Kau menunggu apa lagi? Bukankah tadi kau bilang mau makan! Nih, kelincinya masih seekor. Makan dan duduklah di sini!"
Nyonya Bu memang tadi tertegun. Bukan saja melihat kehebatan ilmu kepandaian nenek itu yang amat luar biasa, akan tetapi juga melihat betapa nenek itu demikian mudahnya membuhuh orang. Ia tidak berani membantah, lalu duduk di dekat si nenek, menghadapl api unggun dan ia mengambil kelinci ke dua dan makan daglng kelinci sambil berusaha keras melupakan mayat orang yang menggeletak tak jauh di belakangnya. la tidak mau banyak bertanya tentang peristiwa tadi karena ia tahu bahwa nenek itu tentu akan menjawab dengan kacau dan malah membingungkan hatinya. Ia ingin memikirkan dan mengambil kesimpulan sendiri. Laki-laki itu memang bukan Orang baik-baik, pikirnya. Jelas bahwa laki-laki itu hendak kurang ajar kepadanya, dan andaikata dilanjutkan, mungkin saja laki-laki yang kelihatan kasar itu akan mempergunakan kekerasan Untuk memperkosa atau memaksanya menuruti semua kehendaknya yang mesum. Seperti yang dilakukan Pangeran Abagan! Betapa banyaknya laki-laki macam itu. Kalau melihat wanita yang menarik hatinya, selalu berusaha sekuatnya untuk memilikinya, untuk memuaskan nafsu-nafsunya, kalau perlu menggunakan cara apapun, cara kasar, keji dan jahatpun akan dilakukannya demi tercapai keinginan hatinya yang terdorong nafsu birahi. Akan tetapi, mengapa harus dibunuh'?
Tiba-tiba nenek itu terkekeh. "Heheh-heh, engkau menyayangkan bahwa anjing jantan itu kubunuh?"
Ditanya secara tiba-tiba demikian, padahal ia memang sedang memikirkan tentang laki- laki itu, tentu saja ia terkejut sekali. "Ah, sama sekali aku tidak menyayangkan hal itu, Kui- bo. Hanya aku tidak mengerti mengapa dia harus dibunuh?"
“Ooo, begitu, ya? Jadi engkau, suka melihat laki-laki itu hidup, memperkosamu dan membunuhku? Begitu maumu?"