Si Tangan Halilintar Chapter 36

NIC

Dan tiba-tiba terjadi keanehan nyonya Bu tiba-tiba tertawa bergelak ada sesuatu yang membuat ia harus tertawa, seolah perutnya digelitik. Ia hendak bertahan, akan tetapi tidak mampu dan iapun tertawa bergelak, lalu terkekeh-kekeh, merasa geli bukan main sampai ia menekuk pinggangnya, membungkuk-bungkuk sambil menekan perutnya, terus tertawa terpingkal-pingkal.

”........ ha ha ha....... heh heh.......... hi hi hih..... aduuhh......... ampun...... ha ha ha. he he

he...... ampun, Kui-bo... hi hi hi ?”

Tiba-tiba tubuh nenek itu melayang turun dari atas pohon dan sekali ia menepuk punggung Nyonya Bu, wanita itu berhenti tertawa. Tubuhnya terasa lemas dan iapun terkulai ke atas tanah, lalu menangis terisak-isak, sesenggukan

Sikap nenek itupun berubah seketika Ia berhenti terkekeh, lalu berloncat-loncat seperti anak kecil bermain-main ia mengitari Nyonya Bu, kemudian melihat betapa wanita itu tetap saja menangis sedih, nenek itu tiba-tiba mendekam di samping Nyonya Bu dan ikut pula menangis. Tangisnya amat lantang, berkaok-kaok seperti anak kecil digebuk!

Mendengar tangis ini, Nyonya Bu yang sedang berduka karena teringat akan nasibnya yang buruk, menjadi terkejut dan heran. Ia berhenti menangis 5aking herannya dan mengangkat muka memandang ke arah nenek yang menangis berkaok-kaok itu. Ia terbelalak melihat nenek itu menangis sungguh-sungguh bukan sekedar berteriak-teriak, melainkan juga air matanya bercucuran.

"Kui-bo......, kenapa engkau menangis?' Nyonya Bu yang lupa kesedihannya dan tangisnya berhenti sama sekali, bertanya merasa kasihan.

Nenek itu menghentikan tangisnya dan mengambil sehelai saputangan dari balik ikat pinggangnya, lalu menyusut hidungya dengan suara nyaring.

"Heh? Engkau bertanya mengapa aku menangis? Tanyalah kepada dirimu sendiri, kenapa engkau menangis karena ku menangis hanya mengikutimu saja."

Nyonya Bu menghela napas. Ia maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang nenek gila, akan tetapi nenek gila yang amat lihai. Nenek gila yang sakti, yang membunuh banyak orang dengan begitu mudahnya, hanya mengguakan daun-daun! Iamengerling ke arah mayat-mayat itu dan bergidik.

"Kui-bo, aku merasa ngeri sekali melihat mayat-mayat itu. Marilah kita pergi ke tempat lain untuk bicara dan akan kuceritakan mengapa aku bersedih dan menangis.",

Nenek itu menoleh ke arah mayatmayat dan ia terkekeh. Tertawa dengan air mata masih membasahi mata dan pipinya. "Heh-heh-heh, kenapa ngeri? Ketika mereka masih hidup dan dapat bergerak sekalipun, tidak mengerikan. Kenapa setelah mati dan tidak mampu apa-apa lagi, mereka mengerikan? Kenapa manusia takut kepada orang mati? Heh-heh- heh, alangkah tololnya. Kalau. kau merasa ngeri, hayo kita pergi ke tempat lain." Tiba-tiba nenek itu mengulurkan tangan kirinya dan menangkap lengan kanan Nyonya Bu, ditariknya dan diajaknya pergi.

"Nanti dulu, Kui-bo. Kudaku....... Nyonya Bu menengok ke arah kudanya yang masih makan rumput.

"Heh-heh, kuda? Untuk apa?" Nenek itu berhenti dan bertanya heran.

"Untuk apa? Tentu saja untuk ditunggangi. Untuk apa lagi?" tanya nyonya Bu, tidak kalah herannya walaupun la sudah tahu bahwa nenek itu berotak miring.

"Bodoh! Tolol banget kamu!" Nenek dan memaki. "Apa engkau tidak mempunyai kaki? Hayo jawab, apa engkau tidak mempunyai kaki?" Nenek itu memegang pundak Nyonya Bu dan mengguncangnya.

"Eh...... eh, punya, Kui-bo, punya "

"Nah, kalau punya kaki, untuk apa kakimu itu? Mengapa untuk berjalan saja, harus meminjam kaki kuda. Malas kau! bodoh kau!" Nenek itu menarik lagi lengan Nyonya Bu, diajak pergi.

"Ya...... ya , kuda boleh ditinggal, kan tetapi buntalanku itu, berisi pakaian dan uang "

"Untuk apa pakaian dan uang? Kalau butuh itu, ambil saja dari mereka yang nemiliki berlebihan. Sudah, jangan cerewet. Kutampar nanti kau!!

Nyonya Bu tidak berani bicara lagi jan membiarkan dirinya diseret oleh nenek itu menjauhi tempat di mana mayat-mayat itu menggeletak.

Nenek itu berhenti di bawah sebuah pohon besar, melepaskan tangan Nyonya Bu dan duduk di atas sebuah batu. "Hayo duduk dan ceritakan mengapa tadi engkau menangis!" katanya.

Nyonya Bu duduk dan tidak berani membantah. Nenek gila ini berbahaya sekali, pikirnya. Kalau tidak dituruti permintaannya, mungkin saja ia dibunuh. Kalau hanya dibunuh masih mending, bagaimana kalau ia disiksanya? la bergidik ngeri. Maka berceritalah ia dengan sejujurnya.

"Aku bernama Nyonya Bu, delapan belas tahun yang lalu, suamiku tewas dalam perang dan aku menjadi tawanan lalu dipaksa menjadi isteri Thio-ciangkun dan tinggal di kota Keng-koan."

"Mengapa suamimu tewas perang?"

"Suamiku bernama Bu Kiat dan menjadi seorang perwira dalam pasukan Jenderal Gouw Sam Kwi menentang penyerbuan pasukan Mancu."

Nenek itu melompat turun dari batu dan berjingkrak menari-nari.

"Heh-heh, bagus, bagus! Kalau begitu suamimu itu masih rekan seperjuanganku Heh-

heh-heh!" Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti tertawa dan menari, lalu bertanya kepada Nyonya Bu, nadanya penuh teguran. "Eh, siapa itu Thio-ciangkun?"

Dengan terus terang Nyonya Bu menjawab. "Thio Ciangkun (Perwira Thio) adalah Thio Ci Gan, akan tetapi dia setulnya adalah Pangeran Abagan."

"Heee? Seorang pangeran Mancu?" "Benar, kui -bo."

"Keparat! Dan engkau lalu menjadi isterinya setelah suamimu tewas?" Tiba-tiba tangan kiri nenek itu mencengkeram leher Nyonya Bu.

Nyonya Bu yang sudah merasa putus asa hidup di dunia ini menjadi nekat”Hik-hik!" la terkekeh walaupun lehernya dicekik. "Mau bunuh aku? Lekas bunuh, akupun tidak suka lagi hidup di dunia ini bunuhlah, kui-bo!"

Aneh sekali. Ditentang begitu nenek malah hilang marahnya. Ia melepaskan cekikannya dan mengomel. "Tak tahu malu, suaminya yang pejuang terbunuh malah menjadi isteri orang Mancu! Huh, wanita macam apa kau ini!"

Teguran seperti itu lebih menyakitkan daripada kematian sekalipun. Wajah Nyonya Bu menjadi merah. Ia turun dari atas batu dan dengan dada membusung ia menentang pandang mata nenek itu dan berkata lantang.

"Kui-bo, jangan sembarangan saja menuduh. Kalau saja tidak ada hal yang memaksaku, sampai matipun aku tidak sudi menjadi isteri pangeran Mancu. Akan tetapi aku terpaksa. Aku tertawan bersama anak tunggalku, anak perempuan yang baru berusia dua tahun. Kalau aku menolak, tentu anakku itu akan dibunuh! Demi menyelamatkan anakku maka terpaksa aku mengorbankan diri menjadi isteri Pangeran Mancu itu.”

Nenek itu mengangguk-angguk, agaknya otaknya yang miring itu dapat memahami hal ini. Tiba-tiba ia menjadi marah. "Di mana pangeran Mancu iblis laknat itu kini berada? Akan kuhancurkan kepalanya?”

"Percuma, Kui-bo. Dia sudah mampus."

"Eh? Siapa yang lancang mendahului aku membunuhnya? Akan kuhajar pembunuh lancang itu. Dia mengecewakan hatiku!" Nenek yang miring otaknya itu mencak-mencak marah.

Nyonya Bu menghela napas panjang dasar orang gila, pikirnya, bicaranya tidak karuan. "Tidak ada gunanya, kui bo. Pembunuhnya juga sudah mati."

Nenek itu memandang dengan mata terbelalak dan tampak bingung. "Heh? bagaimana ini? Lalu siapa yang harus kubunuh? Apa yang terjadi, Nyonya Bu?"

"Begini, Kui-bo. Setelah anakku itu berusia dua puluh tahun, ia menikah dengan seorang pendekar bernama Lauw leng San. Pendekar itu terbujuk oleh Thio-ciangkun ……"

"Huh, nama palsu. Sebut saja Pangean Abagan!" bentak nenek itu.

"Lauw Heng San yang menjadi mantuku itu terbujuk oleh Pangeran Abagan. Dia mengira bahwa Pangeran Abagan adalah seorang ayah mertua dan pembesar yang baik. Maka diapun ikut dan membantu para pembesar untuk menlumpas para pejuang yang menentang pemerintah Mancu dan menganggap mereka itu pengacau dan penjahat"

"Wah, tolol benar mantumu itu, Mantu apa itu, pecat saja dan ceraikan dari anakmu!" Nenek itu kembali marah dan kalau marah sinar matanya mencorong seperti mata kucing di waktu malam gelap.

"Nanti dulu, Kui-bo, kulanjutkan ceritaku. Mantuku itu kemudian menyadari bahwa Pangeran Abagan adalah orang Mancu yang jahat, bahkan ia mendengar bahwa Pangeran Abagan membunuh banyak pendekar pembela negara dan bangsa. Maka, kemarin, Lauw Heng San mengamuk, dikeroyok para jagoan anak buah Pangeran Abagan. Heng San mengamuk, banyak jagoan dibunuhnya, dan dia akhirnya mati saling bunuh dengan Pangeran Abagan. Melihat keributan ini, aku melarikan diri naik kuda, tidak tahu ke mana perginya puteriku yang melarikan diri lebih dulu. Sampai akhirnya aku tiba di sini bertemu denganmu, Kui-bo. Ahh, rasanya aku lebih baik mati saja. Sejak suamiku, Bu Kiat, tewas, nasib diriku terus dirundung malang. Harapanku satu-satunya hanya pada puteriku. Kalau puteriku berbahagia, akupun rela berkorban dan menanggung kesengsaraan. Akan tetapi sekarang……. ah, lebih baik aku mati saja, Kui-bo……." Nyonya Bu menangis lagi.

Posting Komentar