Pembesar ini menerimanya dengan senyum ramah dan bertanya dengan lembut kepada mantunya.
"Heng San, dari manakah engkau? Kami mencarimu sejak tadi untuk kami ajak berunding."
"Jawablah dulu pertanyaanku ini, Benarkah ayah menyuruh bunuh keluarga Lauw Cin tukang obat di dusun Lin-han-kwan?"
Mendengar pertanyaan yang diucapkan kurang hormat oleh mantunya ini, dan melihat pakaian Heng San yang berlepotan darah dan wajahnya yang bengis, Thio-ciangkun menjadi heran, akan tetapi menjawab dengan tenang karena belum timbul persangkaan buruk atau kecurigaan dalam hatinya, hanya keheranan. "Benar, mereka adalah anggauta pemberontak yang berbahaya, mungkin menjadi mata-mata pemberontak, anak buah Pat- jiu Sin-kai yang menjadi buruan kita."
"Binatang keji! Srigala terkutuk! Mereka adalah orang tuaku. Rasakan pembalasanku!" Dan tiba-tiba Heng San sudah menerjang ke depan dan menggu:nakan pukulannya yang paling ampuh, dengan mengerahkan seluruh tenagarnya!
"Dukkk!!" Kiranya sebelum pukulan itu mengenai dada Thio-ciangkun, dari samping Lui Im Hosiang telah melompat dan menangkisnya. Dua lengan tangan bertumbuk dan keduanya terpental ke belakang.
"Hemm, aku harus bunuh dulu pendeta palsu inil" Heng San berkata lalu maju menerjang. Lui Im Hosiang segera meyambutnya dan kedua orang itu berkelai mati-matian. Ternyata Lui im Hosing berkepandaian sangat tinggi sehingga dia dapat mengimbangi amukan Heng San. Para jagoan lain tidak tinnggal diam terutama Lui Tiong yang memang menaruh dendam dan merasa tidak suka kepala Heng San. Melihat Heng San sudah bertanding melawan susioknya (paman giurunya), dia berseru nyaring.
"Bangsat rendah tak mengenal budi! sudah kusangka engkau bukan manusia baik-baik. Hayo kawan-kawan, kepung dan tangkap dia!" Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan dari luar. "Pengkhianat-pengkhimat kecil, bersiaplah untuk menerima kematian!" Enam bayangan berkelebat nasuk dan mereka itu bukan lain adalah Ang Jit Tojin dan lima orang Pendekar besar dari Ciong-yang!
Ang Jit Tojin sudah bergebrak melawan Lui Tiong. Heng San yang sudah terbebas dari pengeroyokan, kini tinggal menghadapi pengeroyokan Auwyang Sin dan Ban Hok yang dibantu pula oleh lima orang perajurit pengawal. Biarpun dia dikeroyok tujuh orang, namun sepak terjang Heng San yang marah seperti kerasukan setan itu dahsyat bukan main sehingga Auwyang Sin dan Ban Hok mengeluarkan keringat dingin dan merasa gentar bukan main.
Ciong-yang Ngo Tai-hiap sudah mengepung Lui Im Hosiang dan terjadilah perkelahian yang seru. Mereka berlima mempergunakan Ngo-heng Kiam-tin (Barisan Pedang Lima Unsur) yang mengangkat nama mereka sebagai pendekar-pendekar besar yang amat terkenal.
Amukan Heng San semakin hebat. Lima orang perajurit itu sudah berpelanting dan disambar tamparan tangan dan tendangan kaki Heng San. Auwyang Sin dan Ban Hok semakin gentar. Akan tetapi mereka tidak sempat melarikan diri karena Heng San terus mendesaknya dan pada suatu kesempatan terbuka, Heng San menyerang sambil memekik dahsyat.
"Haaaiiiiiiittttt ….. !" Pukulan tangannya menghantam dada Ban Hok dan kaki kirinya mencuat ke arah lambung Auwyang Sin. Kedua orang itu menjerit dan roboh tak berkutik lagi. Tulang-tulang iga Ban Hok patah-patah dan isi lambung Auwyang Sin terguncang hebat dan rusak.
Pada saat itu datang belasan orang perajurit yang mengeroyoknya. Namun, Heng San terus mengamuk. Belasan macam senjata tajam dan runcing menghujani tubuhnya. Pakaiannya koyak-koyak namun tubuhnya terlindung ilmu kekebalan sehingga hanya lecet-lecet dan berdarah-darah. Namun, belasan orang itupun dapat dirobohkan satu demi satu. Sungguh hebat sepak terjang Heng San. Benar-benar dia pantas disebut Pukulan Sakti Tanpa Tanding!
Sementara itu, Ciong-yang Ngo-taihiap yang mengeroyok Lui Im Hosiang dapat pula menjepit pendeta sesat yang kosen itu sehingga pada kesempatan terakhir lima batang pedang dengan berbareng bersarang ke dalam tubuh yang berbulu seperti monyet itu dan Lui Im Hosiang memekik seram lalu terkulai roboh dan tewas seketika.
Setelah merobohkan Lui Im Hosiang lima orang pendekar itu segera menyerbu para perajurit yang masih mengeroyok Heng San. Melihat datangnya bantuan ini, Heng San lalu meninggalkan para pengeroyoknya. karena ia melihat betapa Ang Jit Tojin masih belum berhasil mengalahkan Lui Tiong yang membela diri mati-matian. Heng San berteriak keras dan sebuah serangan tangan kanannya dilancarkan dengan hebat ke lambung si harimau muka kuning. Lui Tiong mengelak, akan tetapi pada saat itu kebutan ujung lengan baju Ang Jit Tojin menyerempet mukanya sehingga dia terhuyung ke belakang. Saat itu dipergunakan oleh Heng San untuk mengayun kepalan dan dengan mengeluarkan suara keras pecahlah kepala Lui Tiong dihantam kepalan maut Heng San!
Terdengar suara tawa menyeramkan seperti suara iblis sendiri. Bahkan Ang Jit Tojin sendiri merasa bulu tengkuknya meremang melihat betapa Heng San dengan tubuh penuh darah, juga kedua kepalannya menjadi merah karena darah para korbannya, berjalan perlahan sambil menyeringai menghampiri Thio-ciangkun!
Sebagai seorang panglima perang Thiociangkun atau Thio Ci Gan yang nama aslinya adalah Pangeran Abagan, tidak melarikan diri. Dia cukup jantan untuk menghadapi semua itu dengan gagah. Dia berdiri di situ dengan sebatang golok di tangan, menyaksikan betapa para jagoannya tewas seorang demi seorang Pangeran Mancu itu menghela napas panjang melihat kegagahan luar biasa dari Heng San. Dia merasa menyesal mengapa dia salah tangan membunuh Lauw Cin dan isterinya, tidak tahu bahwa mereka adalah orang tua Heng San. Dia benar-benar merasa kehilangan seorang pembantu yang hebat, yang sudah menjadi mantunya pula. Dia maklum bahwa saat binasanya telah tiba. Akan tetapi dia hendak mati sebagai seorang panglima yang membela bangsanya, dengan golok di tangan. Maka ketika Heng San menghampirinya dengan sikap yang menyeramkan, dia menanti dengan tenang, dengan golok di tangan, siap untuk melawan sampai darah terakhir!
Tiba-tiba Heng San memekik nyaring dan maju menerjang dengan ganasnya. Akan tetapi ternyata Pangeran Mancu itu bukan seorang lemah. Ilmu silatnya cukup tinggi, gerakannya gesit dan tenaganyapun besar. Dia mengelak dan balas menyerang hebat dengan goloknya. Pada saat itu tenaga Heng San hampir habis. Yang menggerakkan kaki tangannya hanya kenekadan dan hawa amarah yang besar didorong sakit hati yang mendalam.
Ketika itu, para pendekar telah berhasil membasmi para pengawal. Mayat berserakan dan bertumpuk di ruangan yang luas itu. Semua pendekar berdiri dan menonton perkelahian mati-matian antara Heng San dan Pangeran Abagan alias Thio Ci Gan. Ketika Ciong-yang Ngo-taihiap hendak membantu, Ang Jit Tojin mencegah mereka.
"Biarkan dia sendiri yang membalas dendamnya," kata pendeta itu.
Karena sudah merasa letih sekali dan kehabisan tenaga, Heng San merasa bahwa tidak mungkin dia dapat merobohkan lawan dengan cara biasa karena lawannya ternyata cukup tangguh. Maka dia lalu mengambil keputusan nekat, yaitu untuk mengadu nyawa. Tiba- tiba dia menggunakan jurus Kong-ciak-kaipeng (Burung Merak Membuka Sayap), kedua tangannya terpentang lalu dia menerkam, tidak memberi jalan keluar bagi lawannya untuk mengelak. Melihat kesempatan ini, Pangeran Abagan lalu menusukkan goloknya ke arah dada Heng San.
"Ceppp..... kekkk...... !" Golok itu menembus dada Heng San, akan tetapi kedua tangan Heng San yang menjadi seperti cakar-cakar baja itu juga berhasil menceengkeram leher lawan. Keduanya roboh dan Heng San berada di atas tubuh Pangeran Abagan.
Ang Jit Tojin dan kawan-kawannya menghampiri dan ternyata kedua orang itu sudah tewas. Golok Thio Ci Gan atau Pangeran Abagan menembus dada Heng San sedang jari- jari kedua tangan Heng San mencengkeram leher lawan sehingga tulang leher itu patah dan biarpun sudah mati, tetap saja kedua tangan Heng San tidak dapat dilepaskan dari leher itu!
Ang Jit Tojin dan lima orang pendekar dari Ciong-yang itu menundukkan kepala dan menindas rasa haru yang menindih hati mereka. Mereka lalu menceari Ma Giok yang mereka ketemukan terbelenggu di sebuah kamar tahanan. Mereka lalu membebaskan Ma Giok dan juga membebaskan seluruh keluarga Thio ciangkun. Sebagian besar dari keluarga itu memang sudah melarikan diri ketika pertempuran terjadi. Setelah gedung itu kosong, para pendekar lalu membakar gedung itu sehingga semua yang berada dalam gedung itu menjadi makanan api, termasuk mayat mereka yang tewas, juga jenazah Lauw Heng San.
Tentu saja kota Keng-koan menjadi gempar dan ketika pasukan pembantu dari luar berdatangan, para pendekar sudah melarikan diri dari situ, meninggalkan gedung Thio- ciangkun yang menjadi lautan api.
Sambi! menangis terisak-isak wanita muda itu berlari, tersaruk-saruk memasuki kegelapan malam. la adalah Bu Kui Siang, isteri Lauw Heng San yang menaati perintah suaminya untuk melarikan diri ke luar dari rumah, ke luar dari kota Keng-koan dan menuju ke sebelah selatan di luar kota. Hatinya kacau, bingung, gelisah tak menentu. Ia diharuskan membawa buntalan pakaian dan perhiasan melarikan diri ke luar dari kota malam-malam gelap begitu, disuruh pergi ke sebuah kuil yang berada di hutan ke dua di kaki Bukit Ayam. Padahal ia sama sekali tidak tahu dan tidak dapat menduga mengapa ia harus melarikan diri, tidak tahu apa yang telah, sedang dan akan terjadi! Kalau ia membayangkan keadaan suaminya, dengan pakaian berlepotan darah, pakaian cabik-cabik wajahnya begitu menyeramkan, hatinya terasa seperti diremas-remas. Pasti telah terjadi sesuatu yang amat hebat. Aka tetapi apa? Tidak ada yang dapat ditanyai. Ia tidak tahu apa perlunya harus melarikan diri. Akan tetapi karena ia percaya sepenuhnya kepada suami yang amat dicintanya, maka iapun menaatinya dengan membuta. Disuruh melarikan diapun melarikan diri, nekat tersaruk-saruk di malam gelap, hanya diterangi sinar bintang yang bertaburan di langit.
Karena malam gelap dan ia tidak mengenal jalan, maka Kui Siang akhirnya hanya melangkah perlahan-lahan. Hatinya diliputi rasa takut yang hebat. Bukan saja takut dan gelisah membayangkan yang bukan-bukan akan terjadi pada suaminya melainkan juga ngeri melihat kegelapan di sekelilingnya. Ketika ia tiba di hutan pertama, ia melihat pohor pohon besar itu di dalam kegelapan seperti berubah menjadi bentuk-bentuk iblis dan hantu yang bergerak-gerak seperti hendak menerkamnya. Suara pohon tertiup angin berdesir dan berdesah-desah amat menakutkan, diselingi suara burung dan kutu-kutu malam yang saling sahut dari dalam hutan. Hampir pingsan ia ketika tiba-tiba terdengar suara berkerosak, mungkin ada binatang terkejut dan lari dalam semak-semak ketika ia lewat.