Si Rajawali Sakti Chapter 36

NIC

"Liong Cin, sudah kukatakan agar engkau memanggil aku Yin-moi, bukan Niocu (Nona). Aku mempunyai sebuah pondok diluar dusun, kita pulang sana dan bersenang-senang."

Pada saat itu, terdengar seruan lantang. "Iblis betina, kembali engkau telah membunuh orang yang tidak bersalah dalam hutan itu! Akhirnya kutemukan juga engkau dan sudah saatnya engkau menerima hukuman!" Kemudian muncul seorang laki-laki muda yang bertubuh tinggi besar, berpakaian sederhana dan kain kasar.

Sikapnya gagah, wajahnya ganteng dan jantan. Dia memegang sebatang toya yang dipegang melintang di depan dada. Sepasang matanya yang tajam memandang Ang- hwa Niocu dengan marah.

Ang-hwa .Niocu menahan kudanya dan telah kereta berhenti, ia segera meloncat dan melayang dengan gerakan ringan, hinggap di depan pemuda yang memegang toya itu. Sejenak mereka berdua saling pandang. Ang-hwa Niocu, terenyum mengejek, sama sekali tidak genntar bahkan memandang tubuh yang kokoh dari pemuda itu dengan kagum, pemuda yang usianya sekitar dua puluh ya tahun dan begitu melihatnya, gairah berahi telah bangkit dalam hati wanita sesat itu.

"Aih-aih, datang-datang engkau memaki orang! Siapa sih engkau, orang muda yang gagah, dan mengapa pula engkau memaki aku padahal kita belum pernah saling berjumpa dan tidak mempunnyai urusan apa pun?" Suara Ang-hwa locu merdu dan ketika bicara, sepasangnya yang jeli indah itu mengerling tajam dan bibirnya bergerak-gerak dengan manis penuh daya tarik dan tanpa tangan.

"Siluman betina Ang-hwa Niocu! memang kita berdua belum pernah saling bertemu, akan tetapi jangan dikira bahwa di antara kita tidak.ada urusan apa pun Iblis betina, sejak engkau membunuh pemuda di kota Gak-ciu, aku telah mencari dan mengikuti jejakmu. Dengan keji engkau membunuh pula dua orang pemuda yang tidak mau menuruti nafsu iblismu, kemudian di dalam hutan itu aku melihat jenazah seorang laki-laki pula. Aku yakin bahwa pemuda yang diatas kereta itu juga menjadi korbanmu!”

Mendengar ini, Ang-hwa Niocu tertawa manis, mulutnya terbuka dan karena tawanya bebas maka seluruh wajahnya tampak ikut tertawa.

"Hemmm, orang muda, engkau salah paham. Siapakah namamu dan mengepa engkau mengejar-ngejar aku?” "Namaku Bu Eng Hoat dan memang aku secara pribadi tidak mempunyai permusuhan denganmu. Akan tetapi di Gak-ciu aku mendengar akan kejahatanmu. Engkau mengambil harta milik orang dan tidak segan membunuh kalau mendapat perlawanan. Engkau menggoda pria-pria muda dan kalau mereka menolak, engkau Membunuhnya. Aku mendengar engkau pembunuh seorang pemuda di Gak-ciu dan sejak itu aku mengambil keputusan untuk mencari dan membunuhmu! Ternyata di sepanjang jalan engkau menyebar kejahatan, membunuhi laki-laki muda, Maka aku sekarang setelah menemukanmu, harus membunuhmu!"

"Hi-hi-hik, Bu Eng Hoat, engkau muda dan gagah. Semua yang kulakukan itu sama sekali bukan urusanmu, mengapa engkau mencampuri? Sayang kalau engkau nanti mati pula di tanganku, lebih baik mari ikut kami bersenang-senang. Aku membunuh orang bukan tanpa alasan. Mereka berani menolak dan menghinaku, maka sudah sewajarnya kalau aku membunuh mereka!"

"Ang-hwa Niocu, sejak kecil aku mempelajari ilmu dan semua itu kupelajari dengan maksud agar dapat kupergunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan, membasmi iblis iblis jahat macam engkau!"

"Wah, kiranya engkau ini seorang pendekar, ya? Bu Eng Hoat, sekali lagi kuperingatkan engkau. Mari kau ikut denganku bersenang-senang daripada eragkau mati di tanganku!" Berkata demikian wanita itu menghunus pedangnya yang mengeluarkan sinar kemerahan.

"Huh, perempuan tidak tahu malu Lebih baik aku mati daripada harus menuruti kemauanmu yang rendah!" Bu Eng Hoat memasang kuda-kuda dengan toyanya.

Bu Eng Hoat adalah seorang pendekar berusia dua puluh dua tahun yang baru sekitar setahun terjun ke dunia kang-ouw dan bertindak sebagai seorang pendekar gagah perkasa pembela kebenaran dan keadilan, selalu menentang para penjahat dengan penuh keberanian. Ke tika dia mendengar tentang Ang-hwa Niocu yang melakukan banyak kekejaman, apalagi membunuhi para pemuda yang tidak sudi menuruti kehendaknya yang kotor, dia marah sekali dan segera melakukan penyelidikan dan pengejaran. Pendekar muda yang bertubuh tinggi besar dan berwajah ganteng dan jantan itu adalah murid tunggal dari Thong Leng losu yang sudah kita kenal. Thong Leng losu adalah seorang di antara tiga orang kakek yang melakukan pertemuan di Bukit Naga Kecil, berbantahan tentang agama dan lain-lain kemudian dilerai oleh Thai Kek Siansu. Melihat betapa Thai Kek Siansu mempunyai seorang murid, Thong Leng Losu, seperti dua yang rekannya yang lain, segera mencari seorang murid pula. Pilihannya jatuh kepada Bu Eng Hoat, seorang anak yatim piatu berusia dua belas tahun yang hidup bagai seorang pengemis karena korban perang saudara. Selama sembilan tahun dia menggembleng muridnya itu dan setahun yang lalu, dia mengutus muridnya untuk memanfaatkan semua pelajaran itu dengan bertindak sebagai seorang pendekar.

Kini Ang-hwa Niocu menjadi marah bukan main. Tadinya, kalau bisa, ia membujuk pemuda yang bertubuh kokoh kuat ini agar ia dapat bersenang-senang dengan dua orang pemuda itu. Akan tetapi Bu Eng Hoat bukan saja menolaknnya bahkan memaki-makinya. Keramahannya kini berubah menjadi kemarahan. "Kalau begitu, engkau lebih suka mampus daripada bersenang-senang. Setelah berkata demikian, cepat sekali bergerak dan pedangnya berkelebat, bagai sinar kemerahan menyerang Bu Eng Hoat dengan dahsyat!

"Tranggggg !" Tongkat itu atau toya itu merupakan senjata andalan Eng Hoat.

Gurunya adalah seorang pendeta Buddha aliran Tibet yang terkenal dengan ilmu toyanya. Biasanya, para pendeta tidak suka menggunakan senjata apalagi senjata tajam karena hal itu tidak sesuai dengan pelajaran agama mereka yang menghindari semua kekerasan. Toya itu tadinya adalah semacam tongkat yang dipergunakan para hwesio untuk membantu mereka dalam perjalanan, terutama kalau melalui jalan yang sukar, seperti pendakian gunung, jalan yang berbatu-batu dan lain-lain.

Juga dapat mereka pergunakan untuk melidungi dirinya dari serangan binatang buas. Dan toya itu akhirnya menjadi senjata andalan setelah selama berabad-abadan mengalami perubahan dan kemajuan berupa silat toya.

Ang-hwa Niocu kagum juga ketika merasa betapa tenaga dalam toya yang menangkis pedangnya cukup kuat. Akan letapi, setelah wanita itu kini menyerang bertubi-tubi, Bu Eng Hoat terdesak. Ilmu silat pemuda itu sebetulnya sudah cukup tinggi dan kokoh kuat. Sebagai murid tunggal Thong Leng Losu dia telah mewarisi ilmu-ilmu dari pendeta itu. Akan tetapi sekali ini dia bertemu dengan lawan yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi. Terutama sekali dalam ilmu gin-kang (meringankan tubuh), dia masih kalah sehingga wanita itu dapat bergerak lebih cepat. Pedang itu berkelebatan menyambar-nyambar menjadi sinar yang bergulung- gulung. Terpaksa Bu Eng Hoat mencurahkan semua tenaga dan ilmu kilatnya untuk bertahan dan melindungi dirinya. Toyanya berputar cepat menyelimuti seluruh tubuhnya menjadi semacam perisai yang kokoh kuat sehingga dimanapun juga pedang itu menyerang selalu dapat tertangkis oleh toya. Akan tetapi, setelah lewat tiga puluh jurus lebih, Bu Eng Hoat terdesak karena dia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang.

Ang-hwa Niocu tadinya setelah melihat betapa ia lebih unggul, seperti main-main karena ia masih mempunyai harapan kalau-kalau Bu Eng Hoat mau menuruti kehendaknya. Akan tetapi ketika ia menoleh ke arah kereta dan melihat bahwa Liong Cin tidak berada lagi di atas kereta, ia menjadi marah sekali. Tahulah ia bahwa Liong Cin diam-diam menggunakan kesempatan selagi ia bertanding melawan Bu Eng Hoat, melarikan diri. Tentu saja sukar, bahkan agaknya tidak mungkin ia dapat menemukan la pemburu yang tidak ia ketahui di mana tempat tinggalnya itu. Kini kemarahnya ia tumpahkan kepada Bu Eng Hoa yang dianggap telah menyebabkan kehilangan Liong Cin.

"Jahanam Bu Eng Hoat, sekali lagi engkau kuberi kesempatan! Engkau mau menyerah atau tidak?"

"Tidak sudi!" jawab Bu Eng Hoat.

"Trang-cringgg !" Bunga api kembali berpijar ketika toya itu menangkis

sambaran pedang. "Kalau begitu mampuslah kau!!" Dengan kemarahan meluap Ang-hwa Niocu lalu mengerahkan semua kepandaiannya untuk menyerang lebih gencar lagi sehingga Bu Eng Hoat menjadi terkejut dan kini dia bukan saja tidak mampu balas Menyerang, bahkan dia terpaksa harus diundur karena desakan sinar pedang itu amat hebat dan mengancam keselamatan nyawanya.

Ketika keadaan Bu Eng Hoat amat gawat dan pangkal lengan kirinya bahkan lelah terkena sambaran sinar pedang hingga kulitnya robek berdarah, tiba-tiba muncul seorang pemuda lain yang bertubuh tinggi tegap. Pemuda ini memegang sepasang tongkat pendek yang dia mainkan seperti siangkiam (sepasang pedang).

"Tak-tak-tranggg !" Sepasang tongkat pendeknya itu menyambar di antara dua

orang yang sedang bertanding sekaligus menangkis pedang dan toya Otomatis dua orang yang sedang bertanding itu terkejut dan masing-masing melompat ke belakang. Akan tetapi Ang-hwa Niocu yang tadinya marah melihat ada orang mencampuri urusannya menggagalkan ia menumpahkan kemarahannya kepada Bu Eng Hoat yang hampir kalah, ketika memandang kepada orang yang datang melerai, wajahnya menjadi berseri. Yang datang adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh satu tahun, bertubuh tinggi tegap dan berwajah tidak kalah ganteng dan gagah dibandingkan Bu Eng Hoat!

"Hemmm, orang muda, siapakah engkau yang datang mencampuri urusan kami yang sedang bertanding?" tegur Ang-hwa Niocu dengan senyum manis.

Pemuda yang berpakaian sederhana berwarna kuning itu adalah Liu Cin. Seperti telah kita ketahui, sekitar puluh tahun yang lalu, ketika Ceng In Hosiang hwesio tokoh Siauw-limpai itu dilukai lalu dikejar oleh Kanglam Sin-Kiam Kwan In Su, Im Yang Tosu, dan Hongsan Siansu, melarikan diri dan akkhirnya jatuh pingsan, dia ditolong oleh seorang anak laki-laki berusia sebelas tahun yang kemudian menjadi murid tunggalnya. Anak itu adalah Liu Cin, seorang anak yatim-piatu lain yang juga menjadi korban perang saudara. Setelah digembleng selama sepuluh tahun oleh Ceng In Hosiang, Liu Cin lalu dilepas oleh Ceng In Hosiang, diperbolehkan turun gunung dan merantau untuk menambah pengalaman dan memanfaatkan semua pelajaran yang telah diterimanya dari gurunya. Oleh Ceng In Hosiang, Liu Cin sudah diberi banyak pelajaran tentang cara hidup seorang pendekar dan dia diharuskan menjaga sepak terjangnya sebagai murid yang mewarisi ilmu silat Sia Lim-pai agar jangan sampai mencemarkan nama besar dan nama baik perguruan silat terbesar itu. Kalau sampai dia menyeleweng dari jalan benar, maka bukan hanya Ceng In Hosiang yang akan mencari dan menghukumnya, bahkan semua tokoh Siau lim-pai yang terdapat di mana-mana pasti akan menghukumnya. Selain diajar watak-watak seorang pendekar budiman juga Liu Cin diberitahu tentang tokoh-tokoh dunia persilatan yang terkenal baik mereka yang termasuk golongan putih (pendekar) ataukah golongan hitam (pe jahat).

Akan tetapi, setelah merantau berapa bulan saja, tentu Liu Cin belum banyak mendapatkan pengalaman sehingga ketika dia melerai perkelahian antar Ang-hwa Niocu dan Bu Eng Hoat, dia berhati-hati agar jangan melukai seorang di antara mereka. Dia tidak berani berpihak karena dia tidak tahu apa urusannya yang membuat pemuda dan gadis itu bertanding, siapa berada di pihak benar atau salah. Maka setelah tadi menangkis kedua senjata mereka dengan sepasang tongkat pendeknya, Liu Cin melompat kebelakang dan ketika gadis cantik itu bertanya kepadanya dengan sikap ramah dan senyum manis otomatis perasaan hatinya berpihak kepada wanita itu! Hal ini tidak mengherankan karena agak sukar menduga seorang gadis secantik dan selembut itu berada di pihak yang bersalah! Kalau sang gadis cantik bersikap ramah dan manis seperti itu, di tempat yang sepi, bertanding melawan seorang laki-laki, siapapun akan condong berpihak kepada wanita!

Posting Komentar