Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Chapter 57

CSI

Cin Hou siau menimang-nimang. "Bian ciang kepandaian Lu Tang-wan itu sudah sempurna dan dapat menghancurkan baru keras, orang itu mampu bertahan setelah kena tiga kali pukulannya, kekuatan badannya itu juga cukup mengejutkan. Dia dapat melukai Lu Tang wan terang bukan melulu mengandal kepandaian pukulan beracunnya saja."

Lu Tang wan melanjutkan, "Untung dia berlari sangat kencang, kalau tidak aku tiada tenaga lagi dapat menuju kemari. Hari sudah petang lagi, terpaksa aku menggeremet dan berpura-pura diperkampungan sekitar sini baru akhirnya dapat menemukan rumahmu. Untung pula kudengar suara percakapan kalian baru aku berani mengetuk pintu."

Cin Liong-hwi merasa sangat heran dan kejut, pikirannya; "Paman Lu ini sudah terluka keracunan lagi, tapi aku tidak mampu menghadapi dua jurus serangannya, kepandaiannya ini mungkin ayah sendiri juga tidak mampu memadal" Hakikatnya kepandaian Bik lik ciang warisan keluarganya bila dapat berlatih sampai puncak kesempurnaannya, cukup berkelebihan untuk melawan ilmu Bianciang Lu Tang wan. Dia sendiri pokrol bambu saja, hanya tahu mengagumi dan mengiri kepandaian orang lain.

Bukan kepalang kaget Ling Hou, katanya, "Lu-toako, kau datang kemari, malah mengalami bencana ini sungguh membuat aku merasa risi. Kau terluka parah, sudah jangan banyak bicara lagi. Istirahat dulu, besok pagi biar kucarikan tabib untuk mengobati luka lukamu."

"Tabib biasa mana dapat mengobati luka lukaku ini," demikian jawab Lu Tang-wan. "Saudara Ling tak usah kuatir, luka lukaku ini bisa sembuh sendiri, cuma memakan waktu sepuluh hari atau setengah bulan saja. Saudara Ling, justru membikin susah kau saja."

Sebagai akhli silat Cin Hou-siau tahu bahwa Lu Tang wan hendak mengobati luka-lukanya dengan kekuatan Lweekang sendiri mengusir racun keluar dari dalam badan, segera ia berkata; "Lwekang yang saudara Lu latih bukankah dari aliran Siau-lim-pay?"

Lu Tang wan tercengang, sahutnya, "Benar."

"Ajaran Lwekang Siau-lim mengutamakan kemurnian yang positip, hampir serumpun dengan Lwekang warisan sekeluargaku. Kalau saudara Lu sudi biarlah Siaute memberanikan diri untuk membantu."

Lu Tang-wan kegirangan namun lahirnya tenang-tenang saja sahutnya, "menguras tenaga dalam saudara Cin saja, sungguh Siaute menjadi rikuh dan kurang tentram."

Cin Hou-siau terbahak, katanya, "Muridku merawat luka dirumahmu, sebaliknya kau merawat luka dirumah ayahnya, kalau hanya urusan sekecil ini kau larang aku membantu sebisaku saja, bukankah kau anggap aku ini orang luar? Ling toako sediakan sebuah kamar untuk istirahat saudara Lu. Hari ini aku tidak pulang." Ternyata penghidupan Cin Hou siau sehari-hari mengandal bayaran dari para muridnya yang belajar silat padanya. Bu-koan atau balai persilatan adalah rumahnya dimana terlalu banyak orang maka tak mungkin dia bawa Lu Tang wan kerumahnya.

Ling Hoa berkata, "Aku punya sebuah kamar buku yang cukup untuk tempat tinggal Lu toako. Kita sudah dua puluhan tahun tak pernah jumpa, bukan aku suka bicara ngelantur harapanku supaya Lu toako bisa tinggal beberapa hari lebih lama disini."

Lu Tang-wan tertawa, ujarnya, "Sebetulnya aku hendak mengundang kalian berdua berkunjung kerumahku sekarang malah aku yang tinggal dirumahmu. Kalau aku tidak lekas kembali mungkin putramu akan gelisah." Waktu berkata-kata pandangan matanya menatap kepada Cin Liong hwi.

Pandangan Cin Hoa Siau tajam dan luas pengalaman lagi, begitu melihat sikap orang yang memandangi Cin Liong-hwi, lantas dia paham maksud hatinya. Dalam hati ia lantas berpikir, "Tiat wi tinggal dirumahnya merawat luka-luka, aku dan Ling toako harus merawatnya pula disini, saat ini tak mungkin kami menengok anak Wi kesana, yang bisa meninggalkan rumah sekarang hanya anak Liong seorang. Tapi kepandaian bocah ini belum matang, wataknya suka ugal-ugalan lagi kepintarannya membuat dirinya keblinger, sukar dipasrahi urusan. Bila suruh dia seorang kelana di Kangouw betapapun aku kurang lega?"

Jalan pikiran Ling Hou sama dengan kawan tuanya ini, dia tahu kesukaran sahabatnya ini, segera ia terbahak-bahak serta berkata: "Anakku itu merawat luka-lukanya dirumah Lu toako, bila sudah pulih kembali baru kita berangkat bersama."

Cin Hou-siau segera berpesan kepada putranya, "Liong-hwi, kau pulanglah beritahu kepada ibumu, katakan malam ini aku tidak pulang kerumah. Besok akupun tiada waktu pulang, para murid dalam Bu koan itu semua kuserahkan kepadamu."

Para murid di Bukoannya itu adalah anak anak kampung sekitarnya, tujuan mereka berlatih silat hanya untuk menyehatkan badan, maka biasanya juga Hong-thian-lui saja yang mengajarkan mereka sudah cukup. Kepandaian Cin Liong hwi memang belum sempurna, namun untuk mengajar kepada para murid murid desa itu cukup berkelebihan.

Dengan perasaan gelisah dan kurang tentram Cin Liong-hwi lewatkan malam itu, hari kedua pagi-pagi benar, para murid baru dalam Bu-koan beruntun berdatangan, Cin Liong-hwi lantas berkata kepada mereka. 'Hari ini akulah yang mengajar kalian, marilah kita latihan dilapangan berumput dibelakang gunung."

Ada beberapa murid saat mana sudah berlatih pada tahap berpasangan adu tenaga, tubruk sengkelit dan banting, biasanya mereka berlatih ditengah pekarangan rumah keluarga Cin yang cukup luas, namun bila buat latihan saling dorong mendorong tempat seluas itu menjadi rada sempit, gerak gerik kurang leluasa. Sudah tentu ajakan Cin Liong-hwi untuk latihan dilapangan berumput dibelakang gunung itu kontan mendapat sambutan sorak sorak mereka, segera mereka berbondong bondong menuju kesana.

Tujuan Cin Liong-hwi adalah hendak melapangkan dadanya yang kesal dan menghibur diri, namun betapapun kejadian tadi malam selalu menggugat benaknya; semakin dipikir rasanya semakin penasaran.

Biasanya dia tiada punya kesabaran memberi petunjuk kepada murid murid itu. Sekarang kebentur hatinya sedang murung lagi sudah tentu cara ajaran ajaran semakin tidak sabar lagi.

Ada seorang murid yang belum lama belajar, Cin Liong-hwi mengajaknya berpasangan latihan adu tangan, tanpa terasa semakin lama cara turun tangannya terlalu berat, tenaganya semakin besar, kontan ia membanting murid kecil itu terlalu keras.

Murid kecil itu jidatnya pecah berdarah, untung darah tidak banyak mengalir, setelah dibubuhi Kim jong yok lantas bumpet dan tidak sakit lagi. Meskipun lukanya tidak berat tapi murid kecil ini menjadi merengut dan uring uringan, tak tahan lagi ia lantas ngomeli Cin Liong hwi, "Biasanya bila Toa-suheng mengajar aku, caranya begitu halus dan tidak pernah terbanting keras, ai, begitu dia keluar pintu, celakanya justeru akulah yang ketiban nasib jelek."

Cin Liong-hwi sendiri sedang murung dan kesal, walaupun murid kecil ini tidak mengomeli secara langsung kepadanya, jelas membeda-bedakan dirinya dengan Hong-thian-lui, hal ini justru mengorek kelemahannya yang paling fatal. Kontan membara amarah Cin Liong-hwi, semprotnya, "Orang siapa yang tidak kena gebuk atau terbanting dalam latihan silat. Adalah kau sendiri yang goblok sebaliknya menyalahkan aku !"

Siau-sute itu sudah terbanting luka kini dimaki lagi, tak tahan lagi iapun balas mendebat, katanya, "Ji suko, memang aku goblok. Tapi justru kau ini orang pintar. Toa-suko kalah jauh dibanding kepintaranmu. Tapi kenapa pelajaran silat yang kau pelajari kok tidak lebih unggul dibanding Toa-suko ?"

Cin Liong-hwi menjadi murka, serunya, "Bagus, dimana kalian hanya ada Toa-suko tanpa ada aku. Aku tak sudi mengajar kalian lagi."

Siau-sute itu menggerutu, "Tidak mengajar kitapun tidak mau ajar, emangnya kita sudi ?"

Merah padam muka Cin Liong-hwi tangannya sudah terkepal hampir memukul, untung nalarnya masih bisa terkendali, "aku sudah membantingnya terluka bila pukul dia lagi, kan memalukan saja, bukan saja bakal menimbulkan perlawanan mereka, bila ayah tahu pasti dia akan memarahi aku pula, pukulan ini mana boleh kuturunkan ?"

Beberapa murid yang berusia lebih tua segera maju melerai dan membujuk, "Siau-kwi-cu mana boleh kau berlaku kurang ajar terhadap ji suko, ayo lekas berlutut mohon maaf kepada Ji-suko. Ji-suko, usia Siau-kwi-cu masih kecil tidak tahu urusan, kau jangan berpandangan begitu cupat seperti dia. Harap Ji-suko tidak marah, marilah beri petunjuk pada kita beramai."

Cin Liong-hwi menjadi kikuk dan risi dirubung sebanyak para sutenya, setelah menghela napas ia berkata, "Masa pandanganku secupat seperti Siau-kwi cu. tapi hari ini badanku kurang enak, silahkan kalian latihan sendiri saja dirumah !"

Setelah terjadi peristiwa yang tidak menyenangkan ini, semangat mereka menjadi luntur, tiada minat untuk berlatih lagi dengan Cin Liong-hwi. Seorang murid yang tertua segera tampil kedepan bicara. "Badan Ji-suko kurang enak, marilah kita pulang saja."

"Kalian tidak usah hiraukan aku, aku ingin bermain disini sebentar."

Para murid murid itu mengiakan, beramai-ramai mereka bubar dan pulang.

Setelah menyadari Cin Liong-hwi menjadi kecewa dan menyesal akan sikapnya yang kurang wajar. Rombongan murid-murid itu sudah rada jauh namun lapat lapat suara percakapan mereka sedang memperbincangkan dirinya. "Masa badan Ji suko tak enak pada segala alasan belaka, yang benar hatinyalah yang kurang enak. Siau-kwi cu bila bicara terlalu kasar tak tahu adat. selamanya Ji suko paling tidak senang bila dikatakan tidak bisa memadai Toa-suko. Walaupun ia tidak pernah bicara langsung, tapi kita kan sudah tahu. Dasar kau ini yang tidak tahu adat." Siau-kwi-cu membantah, "Bukan aku tidak tahu, soalnya aku menjadi jengkel. Sebetulnya memang dia kalah bila dibanding dengan Toa-suko, aku kan tidak membual. Kelak bila dia maki aku, tetap aku kan berkata demikian."

"Sudahlah, Siauw kwi cu kau tak perlu banyak cerewet lagi ! Pandangan Ji-suko memang rada sempit, tak heran kalau Siauw-kwi cu menista dia."

Mendengar perdebatan mereka itu semakin sebal dan sesak badan Cin Liong hwi, pikirnya, "Ayah menghina aku, para Sute juga pandang ringan aku, semua umpakan dan sanjung puji semua dimiliki oleh Hong thian-lui. Kapan baru aku dapat angkat nama dan mengagulkan diri ?"

Alam pegunungan dan sunyi ini tinggal dia seorang diri, dada yang sesak dan rasa sesak ini sungguh sukar terlampias. Tak terasa lagi ia mulai menggerakkan tangan memasang kuda kuda bergaya main silat, terpandang dalam angan angannya Hong-thian lui berdiri dihadapannya, setiap pukulan dan tendangannya tentu telak mengenai badan Hong-thian-lui, begitulah cara ia melampiaskan kedongkolan yang mengeram dihatinya.

"Blang !" tahu-tahu kepalan Cin Liong-hwi menghantam diatas batang sebuah pohon, kontan ia rasakan kepalannya kesakitan dan melepuh, sungguh sakit luar biasa. Dua pohon berhamburan jatuh, namun tiada sebatang ranting pohonpun yang patah.

Rasa kesakitan itu menyentak sadarkan pikiran Cin Liong hwi, ia menyedot hawa segar sambil mengurut-ngurut jarinya. Pikirnya, "Memang kenyataan aku kalah dibanding bocah gendeng itu, berlatih sepuluh tahun lagi juga belum tentu dapat mengungkuli dia." ternyata pukulannya terakhir tadi dia gunakan sejurus ilmu Bik-lek-ciang yang paling liehay dan berat hantamannya.

Hong thian-lui bisa menggunakan jurus ini untuk latihan memukul batang pohon, setiap kali pukul, ranting-ranting pohon paling tidak berpatah dan berhamburan jatuh ketanah.

Disaat itulah mendadak dibelakang pohon terdengar orang menjengek tawa dingin. Cin Liong-hwi terkejut, bentaknya, "Siapa?" belum lenyap suaranya dari balik pohon Siong itu berjalan keluar seorang laki-laki yang mengenakan pakaian hijau.

Begitu melihat orang ini serta merta bergidik dan terasa dingin tengkuk Cin Liong-hwi. Ternyata mulut orang ini menyeringai tawa, namun wajahnya tetap kelihatan dingin membeku tanpa expresi.

"Apa yang kau tertawakan ?" bentak Cin Liong hwi.

Laki laki baju hitam itu berkata tawar, "Kutertawakan permainan silat kembangan dan tendangan kosongmu. Umpama sepuluh tahun lagi berlatih juga akan sia-sia tak dapat mengungkuli orang. Ai, kau tidak mawas diri, pintarmu membuat guru guru saja mengumbar adat. Seumpama perutmu pecah saking jengkel apa pula gunanya. Ai, sungguh sungguh menggelikan !" dari beberapa patah katanya ini jelas diketahui bahwa sejak tadi dia sudah tiba ditempat itu. Perbincangan para murid mengenai diri Cin Liong-hwi terang juga sudah didengar semua olehnya.

Lajimnya mengandal kecerdikan Cin Liong-hwi seharusnya dia sudah tahu bahwa orang yang dihadapi ini bukan orang sembarangan. Tapi dia sudah dirundung kemarahan yang memuncak, setelah mendengar olok-olok yang menghina itu, seperti pelita disiram minyak, semakin berkobar amarahnya, bentaknya, "Menurut katamu, jadi kau ini seorang ahli dalam bidang ini."

Orang itu mengekeh dingin, ujarnya : "Ahli, kata ini sukar untuk diterapkan secara tepat, itu harus dikatakan kepada siapa ?" sembari berkata matanya pelirak pelirik dengan sikap yang sangat memandang rendah Cin Liong-hwi sendiri.

Semakin bergejolak amarah Cin Liong-hwi katanya tertawa dingin, "Kalau tak ungkulan dibanding orang, masa tidak ungkulan dibanding kau. Baik, mari aku belajar kenal dengan kepandaianmu."

Posting Komentar