Sebetulnya Umong rada keberatan, namun kehendak tuan putri ia tidak berani menentang, dalam hati ia pikir: "Bagaimana juga perut harus diisi, beberapa hari ini melulu makan sayur-sayuran, mulut juga menjadi getir baik juga rasakan panggang keledai dulu."
Maka mereka membelok kesebuah hutan, didalam hutan ini membuat api unggun untuk memanggang keempat paha keledai itu. In-tiong yan berkata; "Lepaskan belenggu bocah itu, eh, kenapa selama ini bocah ini belum siuman?"
"Untuk membangunkan dia gampang saja." ujar Umong, dijinjingnya sekantong air terus disiram ke kepala Hong-thian lui supaya pulih perasaannya, lapat-lapat ia sudah mendengar suara In-tiong-yan, begitu kesiram air dingin kontan ia sadar dan melompat kaget. Waktu membuka mata, siapa lagi kalau bukan In-tiong-yan?
Kontan Hong-thian-lui memaki: "Ternyata kau siluman perempuan ini lagi. Apa pula yang hendak kau katakan?"
"Mulut anjing tidak tumbuh gading, kau bocah ini tidak tahu kebaikan," demikian semprot Cohaptoh. "tuan putri merasa kasih dan sayang kepada kau, sebaliknya kau memutar balik persoalan dan memakinya. Rebahlah kau."
"Jangan aniaya dia," buru-buru In-tiong yan mencegah.
Cohaptoh menggunakan gerak Hunkin-joh-kut meremas tulang pundak Hong-thian-lui hingga lemas lunglai, rebah tak mampu berkutik.
Hun-kin-joh kut adalah ilmu khusus seperti ilmu tutuk umumnya, hanya cara Cohaptoh agak berat karena ia memuntir dua jalur urat nadi dibagian penting tubuh Hong-thian-lui, sehingga seluruh tubuh menjadi lemas dan linu, sedikit tenagapun tak mampu dikerahkan. Tapi caci makiannya terdengar makin keras.
In tiong-yan berkata tawar : "Jangan dipukul, bila dia masih mengumbar mulut, ambil kotoran kuda, sumbat saja mulutnya."
Hong-thian-lui tidak kenal takut, namun mendengar ancaman In-tiong-yan gentar hatinya, makinya murka : "Kau, kau ... sekali tusuk bunuhlah aku ! Aku seorang laki-laki sejati, tak sudi dihina begitu rupa." sebetulnya ia hendak memaki kau siluman perempuan, namun kata-kata 'siluman perempuan' akhirnya urung diucapkan.
"Kau harus patuh dan tunduk, siapa yang menghina kau ? Kau memaki aku dengan kotor dan menusuk kuping, sebaliknya belum pernah kumaki kau!"
"Lekas kau bunuh aku saja. Jika kau tidak bunuh aku, akan datang suatu hari aku akan menuntut balas kepada kau!"
Tergerak hati In-tiong-yan, hidungnya mendengus, katanya : "Bocah keparat, kau berulang kali memaki dan menghina aku, bicara terus terang memang aku ingin bunuh kau saja. Sayang Koksu ingin kau diringkus hidup hidup. Lebih baik kau cari kematian sendiri, jadi aku terhindar dari tanggung jawab."
Mendengar ucapan In-tiong-yan, Hong thian-lui menjadi sadar, seketika ia hapus angan-angannya hendak bunuh diri, jengeknya dingin : "Kau ingin aku mati, justru aku tidak akan mati lebih baik hidup untuk menuntut balas kepada kau !"
In tiong-yan menjadi lega, ganjelan hatinya menjadi longgar, katanya tertawa : "Bagus, bagus ! Akan kunanti tuntutan balasmu. Nih paha keledai kuberikan kepadamu!" In-tiong-yan sudah menyelami watak Hong-thian-lui, justru karena takut dia mencari jalan pendek maka sengaja dia memancing dengan akalnya itu.
Hong thian lui mendorong daging itu kesamping, makinya : "Siapa sudi makan barangmu !" karena tenaganya lemah dorong punya dorong paha keledai itu tak mampu disingkirkan malah tangannya berlepotan minyak. Perutnya memang sedang keroncongan, laparnya bukan main, harum bau daging panggang yang sedap itu menambah besar seleranya.
In-tiong yan membaling-balingkan paha keledai itu dihadapan Hong-thian-lui lalu meletakkan dipinggir kakinya, katanya tertawa: "Kalau perutmu tidak kenyang kau mampu menuntut balas kepada aku ? Kalau kau mampus kelaparan justru menjadi harapanku yang utama."
"Benar, selama gunung tetap menghijau, kenapa takut tiada kayu bakar." demikian batin Hong-thian-lui, "Sebelum mati betapapun aku harus membunuh anjing anjing Mongol ini." maka tanpa bicara ia jemput paha keledai itu terus digeragoti dengan lahapnya. Setelah ia habis makan, baru In-tiong yan bicara lagi dengan tersenyum : "Nah, kan begitu, daging panggang betapapun tentu lebih enak dari kotoran keledai bukan ?"
Meski jengkel dan ingin memakinya, Hong-thian-lui menjadi tidak berani buka suara.
Cohaptoh punya kebiasaan setelah kenyang makan tentu mencium atau menyedot bau tembakau. Setelah mencuci bersih tangannya ia berkata menggeledek : "Umong, sayang kau tidak tahu betapa nikmatnya hidup ini, kau hanya minum arak melulu, tapi tidak tahu betapa nikmatnya mengendus bau tembakau."
"Emangnya aku sudi mencium tembakaumu," demikian sahut Umong, "yang terang aku kepingin merasakan permen madu bikinan Yo-ka-thong itu. Perbekalanku sudah habis, coba bagikan sebumbung kepadaku."
"Ternyata kau lebih doyan dari aku, tapi rasa permen madu itu memang cukup sedap. Aduh, celaka !"
Umong terkejut, tanyanya : "Apa yang celaka ?"
Cohaptoh membalikkan kantongnya dengan muka kecut, sahutnya: "Poci pualamku hilang, beberapa ribuan uang kertasku pun ikut lenyap dicuri orang."
"Mana mungkin terjadi," bantah Umong heran. "Tidaklah kau simpan di tempat lain?"
"Poci pualamku selalu kubawa dalam kantong, seingatku tersimpan dalam kantong ini." sambil berkata ia geledah seluruh isi kantong, seluruh bajunyapun sudah digeremeti, barang-barang yang dicari itu memang sudah terbang tanpa sayap.
Umong mengerut alis, katanya : "Kau jago gulat terlihay dari pasukan Mongol kita, siapa yang bisa mendekati tubuhnya ? Dua hari belakangan ini kita belum pernah menginap di hotel, malam haripun tidur bersama, mana mungkin ada pencopet yang mencuri barang-barangmu? Mungkin kau sendiri yang menyimpannya kurang hati-hati?"
"Soal uang sih urusan kecil, poci pualam itu adalah hadiah dari Goanswe sebagai kenang-kenangan, kusayang barang itu melebihi jiwa ragaku sendiri, mana mungkin kusimpan disembarang tempat ?" sekonyong-konyong seperti tersentak sadar mulutpun berteriak : "Benar, benar, sekarang teringat olehku !"
"Teringat apa ?" tanya Umong.
"Tentu laki-laki rudin itu yang melakukan, dua hari ini hanya dia saja yang pernah berdekatan dengan aku."
"Bukankah kau menelikung kedua tangannya, mana bisa dia mencuri barangmu ?"
"Waktu patung besar itu roboh, debu beterbangan mataku kelilipan, saat itulah entah menggunakan cara apa mendadak ia meronta dan terlepas dari cengkeramanku. Tentu saat itulah dia turun tangan."
Umong terperanjat, katanya : "Dikolong langit ini mana ada pencopet begitu lihay, bila benar, setiap malam tidur kita harus hati hati."
Sekali cengkeram Cohaptoh jinjing Hong-thian lui hardiknya : "Siapa laki-laki rudin itu ?"
"Jangan kau gertak dia begitu rupa, biar dia menjelaskan secara baik."
"Aku tahupun tidak akan kujelaskan kepada kau !" demikian seringai Hong thian lui dengan dingin.
"Kau tidak mau bicara?" Bentak Cohaptoh gusar, "Hm, tuan putri, mestikaku itu betapapun harus kucari balik, terpaksa harus kusiksa supaya bocah ini tahu kelihayanku."
Tahu-tahu bergerak pikiran In tiong-yan, serunya tertawa : "Nanti dulu!"
"Bocah busuk ini keras kepala, bila tidak dihajar mana dia mau bicara." sembari berkata Cohaptoh cengkeram tulang pundak Hong-thian-lui serta menghardik lagi : "Tidak mau bicara, kupunahkan seluruh kepandaianmu."
"Aku sudah tahu siapa orang itu, tak perlu kau kompes dia. Lepaskan !" demikian In-tiong-yan memberi perintah dengan tersenyum.
"O, apa benar tuan putri tahu? Siapa dia?"
"Pencopet nomer satu diseluruh dunia yang paling sakti Sip It-sian, benar tidak?" kata-katanya terakhir ditujukan kepada Hong-thian lui.
Hong thian lui menjengek dingin : "Bagus sekali kalau kau tahu, jagalah supaya kepalamu jangan dicopotnya."
"Kalau kuringkus dia, akan kubetot ototnya dan kubeset kulitnya.'' demikian Cohaptoh berjingkrak gusar.
"Orang ini selulup timbul tak menentu jejaknya sukar diikuti, untuk mencari dia sukar seperti menggagap jarum dilautan, kecuali dia mencari diriku.''
Mereka sudah kenyang makan, kedua Busu itupun sudah siap mengganti dua ekor kuda sebagai penarik kereta. Tapi enam orang dua kuda cara bagaimana harus melanjutkan perjalanan, hal ini menjadi pemikiran mereka.
Kereta petani itu sangat kecil, bagasinya cukup muat dua tiga orang saja, begitu Hong-thian lui rebah didalam, hanya tinggal untuk duduk dua orang lagi. Sebetulnya kereta itu ditarik seekor keledai, kini ditarik dua ekor kuda yang lebih besar lagi, sudah tentu terasa berdesakan, tak mungkin ditambah muatan lagi. Jelasnya masih ketinggalan dua ekor kuda lagi.
Kedudukan Cohaptoh dan Umong sebagai Kim-tiang Busu, kedudukan yang cukup tinggi, sudah tentu mereka tidak sudi merendahkan diri pegang kendali. In-tiong-yan sendiri memang tidak punya tanggungan, sebagai seorang tuan putri, tak mungkin dia menunggang kuda bersama seorang laki-laki.
In tiong-yan berkata, ''Aku duduk di kereta sambil mengawasi bocah ini. Umong dan Cohaptoh menunggang kuda melindungi di belakang."
Sebetulnya Umong sadar sebagai tuan putri, In-tiong-yan duduk bersama tawanan dalam satu kereta sangat kurang pantas, namun kecuali begitu tiada cara lain untuk mengatasi keadaan sekarang, terpaksa iapun setuju.
Tugas kedua Busu tua dan muda itu menjadi kusir kereta. In-tiong-yan duduk disamping Hong-thian lui, waktu ia hendak bicara, Hong thian lui mendengus hidung terus pejam mata, kaki diselonjorkan, tahu tahu hidung sudah ngorok, ia tertidur pulas.
Sungguh dongkol dan jengkel hati In-tiong-yan, pikirnya : "Bocah bau ini anggap aku sebagai musuh besarnya, dengan cara apa aku harus berbuat supaya dia mau percaya kepada aku?''
Dengan ditarik dua ekor kuda jempolan sudah tentu jauh lebih cepat dari seekor keledai yang kurus kecil. Waktu menjelang magrib mereka memasuki sebuah hutan.