In tiong yan berkata : "Kita nginap disini semalam, aku sudah sangat letih."
"Kau duduk dalam kereta juga bilang letih. Dasar tuan putri yang suka aleman dan biasa hidup makmur." demikian gerutu Umong dalam hati, padahal hari belum gelap, mereka bisa menempuh beberapa jauh perjalanan, namun karena perintah tuan putri, Umong dan lain-lain tak berani membangkang. Bila terus maju kedepan memang juga belum tentu dapat tempat menginap.
"Dengan cara begini mungkin besok tengah malam baru tiba ditempat tujuan." demikian Cohaptoh kesal.
"Paling-paling terlambat sehari kan tidak menjadi soal? Kalau Koksu menegur biar aku yang tanggung jawab.''
Kabut malam makin tebal, keadaan hutan makin gelap dan hawa juga makin dingin. In tiong yan suruh kedua Busu itu membuat api unggun. Umong mencegah : "Kita sudah biasa hidup kedinginan, buat apa menyalakan api, membuat orang tahu kita berada disini ?"
"Ada kalian dua Kim-tiang Busu disini kenapa takut diketahui orang ?'' Demikian umpak In-tiong yan, "tidur dengan hawa hangat kan lebih enak." karena dipuji Umong menjadi bungkam.
Cohaptoh bergelak tawa, ujarnya : "Terima kasih akan pujian tuan putri. Tapi berlaku hati-hati juga ada baiknya. Kita berempat dibagi dua group giliran jaga malam, bagaimana ?" lalu ia membagi tugas, Umong dan seorang Busu tua jaga lebih dulu, sedang Cohaptoh dan Busu muda berjaga tengah malam. Sebagai tuan putri In-tiong-yan bebas tugas. Segera Umong mendirikan tenda untuk tempat In-tiong yan berteduh.
In-tiong-yan gulak gulik tak bisa tidur. Pikirannya terus melayang; cara bagaimana supaya Hong thian-lui percaya kepada aku ? Besok hari bakal bertemu dengan Koksu, sudah tentu dia harus menyerahkan Ping-hoat itu kepadanya supaya dibawa pulang ke Holin, lalu dengan cara apa pula supaya dia tidak berhasil membawanya pulang ? Kedua persoalan inilah yang selalu berkecamuk dalam benaknya, sekian lama dia gudah gulana ditempat tidur tanpa menemukan akal.
Sang malam makin larut, keadaan tetap tenang dan hawa semakin dingin. Kira-kira menjelang jam empat pagi hari menjelang fajar, saking kelelahan In-tiong-yan sudah hampir pulas, mendadak didengarnya Cohaptoh membentak diluar : "Siapa itu?''
Ternyata Sip It-sian sudah menyusul tiba.
Sip It-sian punya kepandaian khusus yang tak mungkin dipelajari orang lain, dia kuat tidak tidur selama tiga hari tiga malam, fisiknya masih segar dan penuh semangat. Meskipun dia menempuh perjalanan siang malam tanpa berhenti, namun dia tidak yakin dapat mengejar kuda jempolan dari Mongol itu. Yang diharapkan hanyalah sehari lebih cepat tiba di Yo-ka-thong.
Cahaya api didalam hutan menimbulkan rasa heran dan ingin tahunya, secara diam-diam dengan mengindap-indap ia maju mendekat, tampak seorang yang duduk bersila di pinggir api unggun itu, siapa lagi kalau bukan Hong-thian-lui adanya? Sungguh diluar dugaannya, sebelum tiba di Yo-ka-thong ia sudah berhasil mengejar dan melihat Hong thian-lui disini. Keruan bukan kepalang senang hatinya.
Tapi meskipun bukan kepalang senang hatinya, namun ia dapat mengendalikan perasaannya. Tampak Cohaptoh dan seorang Busu lain sedang berjaga ketat, Hong-thian lui diapit ditengah, bagaimana juga dirinya tak kan mampu menolongnya.
Dalam hati Sip It-sian berpikir: "Keempat Busu dan Hong-thian-lui berada disini, kenapa pula In tiong-yan apa mungkin dia tidur didalam tenda? Geng Tian berkata mungkin In-tiong-yan adalah kawan dan bukan lawan, bila orang yang tidur didalam tenda itu betul dia adanya, baiklah kucoba-coba."
Sebetulnya dengan kepandaian Sip It-sian yang lihay, seperti malaikat datang setan melenyapkan diri itu, untuk pergi secara diam diam Cohaptoh takkan dapat mengetahui jejaknya. Tapi memang dia punya tujuan tertentu sengaja ia menunjukkan tempatnya sembunyi.
Sip It-sian sengaja menyentuh dahan sehingga menimbulkan suara berisik. Cohaptoh terkejut dan berjingkrak bangun serta membentak.
Bentakan keras itu membuat kaget Umong serta menyentak In-tiong-yan dari rasa kantuknya.
Umong merangkak bangun seraya kucek-kucek matanya, katanya: ''Mungkin hembusan angin menggerakkan rumput kau anggap orang apa matamu sudah lamur."
Dilain pihak, tergerak juga hati In tiong-yan, segera iapun membentak. "Main selundap selundup terhitung orang gagah macam apa? Hm, pernah kudengar Tionggoan ada seorang bernama Sip It-sian, kerjanya cuma mencuri ayam menggerayangi anjing, sebetulnya tidak terhitung orang gagah! Sip It-sian bukankah kau itu?"
Sip it sian bergelak tawa dan loncat turun dari puncak pohon katanya lantang: "Aku disini, kalian memang sudah picak (buta) terhitung orang gagah macam apa pula?"
Cohaptoh sangat murka, bentaknya. "Bagus keparat kau ini aku sedang ingin mencarimu!" kedua Busu itupun ikut memburu maju.
"Jangan kalian kena dipancing meninggalkan sarangmu." demikian teriak Umong memanggil kedua Busu itu.
"Benar, kalian balik dan jaga disana, biar kubantu Cohaptoh meringkus maling kecil itu."
Maksud Umong juga hendak memanggil pulang Cohaptoh, tak duga begitu terburu nafsu mengejar dengan kencang, sekarang In-tiong-yan juga ikut mengejar, keruan ia sedikit gugup.
Umong tahu bahwa Cohaptoh sangat sayang kepada poci pualam hadiah Dulai itu, sekarang dilihatnya pencopet yang dicurigainya, sudah tentu harus dikejarnya sampai barangnya dapat dirampas kembali. Dalam hati Umong berpikir, "Tenaga Cohaptoh memang besar tapi otaknya tumpul, sebaliknya Pile-kongcu cerdik pandai. Ginkangnya lihay lagi, biarlah beliau saja yang ikut mengejar, hatikupun tak tak perlu kuatir lagi." Kedua Busu itu sudah kembali maka Umong juga tidak bersuara lagi. Mana dia tahu justru In-tiong-yan secara diam-diam telah membantu pihak lawan.
Sebagai jago gulat kelas wahid, sudah tentu gerak gerik Cohaptoh pun cukup cekatan dan tangkas, larinya pun cepat bukan main. Tapi bila dibanding Ginkang In tiong-yan yang hebat itu masih terpaut satu tingkat. Ginkang In-tiong yan sendiri juga tidak mampu mengejar maling sakti nomor satu didunia Sip It-sian, kejar punya kejar jarak mereka bertiga semakin jauh.
Diam-diam Sip It-sian menerawang. "Apakah In-tiong-yan kawan atau lawan belum diketahui, untuk mengoreknya mungkin rada sulit. Baik, biar kuatur sebuah tipu daya, Busu keparat itu harus ditinggal jauh-jauh supaya aku bisa berkesempatan bicara berhadapan dengan In tiong-yan!"
Karena tidak bisa mengejar Sip It-sian, Cohaptoh semakin gugup dan murka, dari kejauhan mulutnya berkaok-kaok: "Jika kau tidak kembalikan pociku itu lari sampai ke ujung langit juga harus kuringkus kau, bila ketangkap kubetot ototmu dan kubeset kulitmu."
Sip It sian terbahak-bahak, serunya, "Kim tiang Busu kenapa begitu kikir dan gampang marah ! He, he, kau anggap poci itu sebagai mestika, dalam pandanganku tidak lebih berharga dari sebuah bakpau. Baik kukembalikan awas! kau sambut baik baik!" habis berkata tangannya lantas diayun melontarkan poci pualam itu kearah semak belukar sebelah lereng sana yang penuh duri. Tempat itu berada disebelah kiri atas Cohaptoh, jaraknya cukup jauh.
Cohaptoh hanya bisa mengumbar amarahnya saja, sungguh diluar dugaannya Sip It-sian benar-benar mengembalikan barangnya, terlihat selarik sinar hijau melayang laksana meteor terbang, tahu dia barang yang dilempar Sip It-sian itu memang benar adalah pocinya itu, keruan kejutnya bukan main, makinya, "Keparat, sundel !" Apa kau mau membanting rusak mestikaku !"
Sip It-sian tertawa gelak-gelak, serunya : "Barangmu sudah kukembalikan, tidak terima kasih malah memaki aku ?" Cohaptoh kuatir kehilangan mestikanya, tanpa pedulikan adu mulut lagi, cepat cepat ia memburu ke semak semak sana mencari mestikanya.
"Ciangkun tak usah marah," demikian ujar In-tiong-yan. "Biar aku yang meringkus pencuri ini dan diserahkan padamu nanti."
Dalam pada itu, Sip It sian masih berlari sekencang angin, In tiong yan juga mengejar dengan cepat. Sebentar saja mereka sudah menerjang masuk kedalam sebuah hutan lebat. Cohaptoh sudah ketinggalan jauh dan tidak terlihat lagi!
Setelah rada jauh baru Sip It-sian berpaling, katanya: "Bagus, selama puluhan tahun aku menjalani karirku sebagai pencopet bila ditangkap oleh seorang tuan putri, bakal menjadikan sebuah legenda yang cukup mengasyikkan, sungguh merupakan suatu kehormatan bagi diriku.. Mau tangkap silahkan tangkap."
"Setelah kau curi barangku akan kutangkap kau baru menjadi kenyataan!" demikian In-tiong yan berkelakar. Namun kelakar In tiong-yan ini membuat Sip It sian melengak heran, ia tidak paham kemana juntrungan kata kata In tiong yan.
In-tiong-yan mengeluarkan sejilid buku tipis terus diangsurkan kepada Sip It sian, katanya: "Aku tiada punya mestika apa yang pernah kau cari, hanya ada sejilid Ping hoat ini, mungkin termasuk barang yang sulit didapat. Hehe... sekarang tak perlu kau mempertunjukkan kepandaianmu lagi, nih kuberikan kepada kau saja."
Moyang Sip It sian yang bernama Sip Cian adalah salah seorang pahlawan gagah gunung Liang-san yang berjumlah seratus delapan itu. Rumahnya ada penyimpanan alat-alat tulis Go Yong itu, namun ia kenal memang benar adalah tulisan Go Yong.
Saking kegirangan Sip it sian sampai terlongong menjublek, tujuannya semula adalah hendak mengorek riwayat In-tiong yan, belum lagi ia sempat membuka mulut, tak duga ln tiong-yan sudah menyerahkan Ping hoat karya Go Yong kepadanya.
In-tiong yan tertawa, "Sebetulnya aku hendak menyerahkan kepada Hek swan hong, Hong-thian-lui bocah itu tidak mau percaya kepadaku, tidak mau tidak menjadi soal, sebaliknya malah melabrak aku. He, he, terpaksa sama saja kutitipkan kepada kau. Kapan saja bila kau ketemu sama Hek-swan hong, tolong kau serahkan kepadanya. Ha, kalau bicara sebenarnya bukan kuberikan kepadamu lho, justru menyusahkan kau saja, apakah kau sudi menolong melaksanakan pekerjaan itu?"
"Nona In, ternyata kau begitu baik hati," demikian puji Sip It sian terharu. "Hong-thian lui bocah itu betul betul buta melek ! Legakan hatimu, pasti akan kusampaikan kepada Hek swan-hong. Walaupun sekarang aku masih belum kenal dia, tapi aku punya banyak sahabat yang tersebar, konon Kaypang Pangcu Liok Kun lun kenal dengan Hek-swan hong, beliau adalah salah seorang temanku pula. Aku minta para sahabat membantu tentu tidak sukar dapat menemukan Hek swan hong."
In tiong yan berpikir dalam hati. "Aku berani percaya kepada kau, sayang Hong thian lui bocah itu tidak mau percaya kepada aku. Tapi tidak bisa salahkan dia. Aku tahu asal usul Sip It-sian baru berani menitipkan Ping-hoat itu kepadanya. Sebaliknya mana Hong-thian-lui tahu siapa aku sebenarnya?"
Agaknya Sip It-sian dapat meraba jalan pikirannya, katanya. "Nona In, apa kau ingin supaya Ling Tiat-wi mau percaya kepada kau?"
"Ya, walaupun aku belum menemukan akal untuk dapat menolong dia paling tidak harus membuatnya percaya kepada aku baru bisa turun tangan."
"Kuberi kau dua patah kata, sepulangmu katakan kepadanya tanggung selanjutnya dia tidak akan curiga lagi kepada kau!"