"Tokko Hiong apa?" In-tiong-yan menegas dengan heran, "aku tak kenal orang itu, kau bilang aku mengutus dia mencelakai kau, dari mana asal mula kejadian ini?"
"Siuman busuk masih mungkir. Apakah Tokko Hiong bukan anak buahmu ?" semprot Hong thian-lui makin murka.
In tiong-yan menjadi geli melihat tingkah laku orang, katanya tertawa; "Sekali lagi kau maki aku 'siluman', aku tak sungkan lagi kepada kau. Coba kau terangkan kejadian itu secara ringkas, menurut hematku, hal ini ada latar belakang yang mencurigakan."
Mendengar jawaban orang, Hong-thian lui menjadi sangsi dan ragu-ragu, pikirnya : "Memang, bila dia ingin mencelakai aku, waktu dia datang aku sedang pulas, gampang dia mencabut jiwaku. Apa betul dalam hal ini ada latar belakang yang tersembunyi ?"
Karena curiga, Hong-thian lui senang dihadapi dengan lemah lembut dan marah kalau pakai kekerasan. ln-tiong-yan jengkel karena selalu dimaki sikapnya seperti sedang memberi nasehat lagi, sudah tentu Hong-thian-lui tetap penasaran, sebetulnya dia hendak menjelaskan peristiwa Tokko Hiong tempo hari, namun diurungkan. Pikirnya: "Aku tidak kalah bersikap lemah, bila aku bicara wajar tentu disangka takut kepadanya. Hm, walaupun ucapan Tokko Hiong tidak dapat dipercaya, apa ucapannya dapat dipercaya ? Siapa tahu sengaja dia putar balik persoalan dengan tipu muslihat lain untuk menjebak aku, jangan kau tertipu olehnya. Seumpama kututurkan peristiwa itu, diapun bisa mungkir seenak udelnya sendiri."
"Sudah kau pikir belum," desak In tiong yan. "Atau masih ingin melabrak aku lagi?"
"Benar, memang aku ingin tahu berapa tinggi ilmu silatmu, silakan kaukeluarkan ilmu simpananmu. "
Dongkol dan gemas pula In-tiong yan dibuatnya katanya: "Kau, bocah dungu, baik, disuguh arak tidak mau sebaliknya ingin dihajar, terpaksa kulabrak kau."
Pada saat itulah, terdengar suara Geng Tian bertanya dari kejauhan: "Ling toako, siapa yang sedang bicara dengan kau ?" yang digunakan Geng Tian adalah ilmu mengirim gelombang suara, orangnya masih satu li jauhnya, namun suaranya terdengar seperti dipinggir telinga, setiap patah katanya terdengar sangat jelas.
In-tiong-yan terkejut batinnya: "Orang ini bukan Hek-swan-hong, siapakah dia punya Lwekang begitu tinggi ?"
Hong-thian lui berteriak kegirangan, "Geng-toako lekas datang, siluman perempuan ini ajak aku berkelahi. Lekas datang, jangan sampai dia melarikan diri."
Disaat Hong-thian-lui berteriak kegirangan itulah mendadak In-tiong yan menyergap maju, menutuk jalan darahnya.
Dikata lambat kenyataan sangat cepat, terdengar Geng Tian berteriak: "sudah, ya, aku datang !" sebelum gema suaranya lenyap diatas pegunungan, gerak tubuhnya laksana kilat sudah berkelebat diambang pintu biara.
Dengan gaya ikan gabus meletik tiba-tiba Hong thian lui mencelat bangun seraya berteriak: "perempuan siluman, jangan lari! Mari buktikan, kau yang menampar aku atau aku yang menggampar kau !"
Padahal In-tiong-yan menutuk dengan Jhong-jiu-hoat, namun sejak kecil Hong-thian-Iui sudah digembleng hingga badannya keras dan kasar, dasar Lwekangnya jauh lebih tinggi dari In-tiong-yan, karena itu meski jalan darahnya tertutuk, rasanya cuma linu dan kesemutan, sebentar lantas hilang rasa sakitnya.
Tujuan In tiong-yan hendak menawannya untuk sandera, melihat tutukannya tidak membawa hasil ia menjadi gugup dan berpikir : "Bocah gendeng ini membenci aku, ilmu silat kawannya kelihatannya lebih tinggi dari aku, seorang gagah harus bisa melihat gelagat, dari pada diringkus dan dihina lebih baik melarikan diri saja !" sebat laksana burung walet menerobos kerai, ia melesat lewat jendela samping.
Melihat gerak-gerik In tiong-yan lincah dan sebat Geng Tian juga bercekat hatinya, dengan tangkas ia letakkan kantong air dan dua kelinci buruannya diatas tanah serta bertanya : "Ling-toako, apakah nona itu yang bernama In-tiong-yan ?"
Hong-thian-lui berseru gugup : "Benar, lekas kejar jangan lepaskan dia."
"Jangan kawatir, dia tak bisa lari!" begitu memutar tubuh laksana bayangan mengikuti bentuknya, ia mengejar keluar jendela.
Biasanya In-tiong-yan membanggakan Ginkangnya, mendengar perkataan Geng Tian, jengkel hatinya, katanya : "Baik, boleh kita berlomba, coba Ginkang siapa lebih unggul.'' Setelah meletakkan kantong air dan kedua kelinci buruannya baru Geng Tian mengejar, tatkala itu In-tiong-yan sudah menerobos hutan lebat, Geng Tian tidak melihat bayangannya.
Sudah tentu In-tiong yan tidak mau mengendorkan langkahnya entah berapa jauh ia berlari dengan kencang, namun Geng Tian tidak mengejar, dalam hati ia membatin : "Mungkin dia kehilangan arah dan tidak tahu dimana aku sekarang, mana mampu mengejar aku. Tapi aku datang dengan tujuan tertentu, maksudku menjadi gagal total, seumpama menang juga tiada artinya."
Baru lenyap pikirannya, mendadak terdengar suara Geng Tian bicara dipinggir kupingnya : "Ginkang hebat, memang tidak kosong julukan In tiong-yan."
In tiong yan berjingkrak kaget, waktu ia menoleh, tampak Geng Tian menerobos keluar dari hutan. Kecepatan gerak tubuhnya sungguh sukar dilukiskan. In tiong yan hanya merasa angin berkesiur dan segulung bayangan putih lewat disampingnya. Waktu ia menoleh Geng Tian sudah memutar tubuh menghadang di depannya.
Sambil kertak gigi In-tiong-yan berseru: "Baik, mari kujajal ilmu pedangmu !" sembari bicara kakinya tidak berhenti, tiba-tiba pedang sudah dilolos melancarkan serangan, ilmu pedangnya telengas, lincah dan tangkas sekali, boleh dikata latihannya sudah sempurna, serangan dapat dilancarkan sesuka hati.
Geng Tian berseru memuji lagi, pelan-pelan kipasnya menindih terus didorong ke samping seraya berkata : "Aku bukan ahli pedang, terpaksa tidak bertanding pedang dengan nona. Biar kulayani saja dengan kipasku ini !"
Seperti acuh tak acuh kipasnya menyampok dan menyontek, gampang ia tangkis pedang Ceng-kong kiam In-tiong-yan kesamping. Bergerak belakang namun tiba lebih dulu, dibanding In-tiong yan gerakannya tiga bagian lebih cepat.
Diam-diam mengeluh benak In-tiong-yan pikirnya : "Tak nyana kebentur lawan tangguh lagi. Ginkang orang ini lebih tinggi dari aku, lari terang tak mungkin, kali ini aku meski celaka."
Geng Tian sengaja perhatikan permainan ilmu pedangnya, setelah gebrak tiga lima puluh jurus, permainan lawan sangat ganjil dan beraneka ragam perubahannya, jauh berbeda dengan ilmu pedang semua golongan dari Tiong-goan. Tapi ada beberapa jurus diantaranya memang mirip, lambat laun hatinya heran dan curiga. Sekonyong-konyong teringat olehnya seorang, dalam hati ia membatin : "Coba kupancing dia."
Puluhan jurus lagi, mendadak Geng Tian bertanya : "Apa hubunganmu dengan Tiang-hui Sutay dari Long sia-san ?"
Diam-diam ia perhatikan air mukanya tampak In-tiong-yan seperti tertegun, namun tangan kakinya tidak kendor, sahutnya : "Sutay atau Su-koh apa ? Selama hidup belum pernah aku masuk biara Hwesio atau kelenteng Hikoh."
Geng Tian sulit meraba, semakin tebal curiganya, tiba-tiba sengaja ia membuat lobang kelemahan gerak permainannya, memancing In-tiong-yan menggunakan Giok-li to-soh (gadis rupawan merajut), ujung pedangnya menusuk dan berhasil memapas ujung lengan bajunya.
In-tiong-yan menjadi girang, serunya : "Kau sudah kalah satu jurus, apa masih mau bertanding lagi ?"
Menurut aturan pertandingan silat umumnya, bila tingkat sejajar dan tak punya dendam kesumat, cukup kalah sejurus harus mengakui kalah. In-tiong-yan kawatir bila pertempuran dilanjutkan tentu dirinya tak mampu mengalahkan musuh. Maka segera ia tonjolkan aturan Kangouw untuk mendesak musuh menyerah kalah.
Geng Tian bergelak tawa, ujarnya, "Ilmu pedang nona memang hebat, aku sungguh kagum, pertarungan tidak perlu dilanjutkan lagi. Tusuk kondai pualam ini, kukembalikan kepada nona."
Ternyata waktu In-tiong-yan berhasil memapas ujung lengan bajunya, iapun berhasil mencabut tusuk kondai yang terselip disanggul kepala In tiong-yan. Waktu menerima kembali tusuk kondainya merah jengah selembar muka In tiong-yan.
Kata Geng Tian tertawa; "Tanpa berkelahi kami tidak bakal kenal, sudi kau jelaskan asal usulmu?"
"Apakah kau sahabat baik Hong-thian-lui?'' tanya In-tiong-yan.
"Belum lama kenal dengan Ling Tiat-wi namun boleh dikata sebagai sahabat kental."
"Jikalau kalian sahabat kental, pasti dia sudah ceritakan kepadamu, yang macam apa aku sebetulnya?"
"Memang dia pernah menyinggung dirimu, katanya beberapa bulan yang lalu dia beruntung dapat bertemu dengan kau di Liang san. Tapi orang macam apa sebenarnya nona, menurut hematku dia belum tahu dengan jelas."
"Beruntung?" jengek In-tiong-yan dingin, "waktu itu hampir saja dia memaksa aku mandi dalam telaga. Tapi aku juga bingung setiap buka mulut Hong-thian-lui maki aku siluman perempuan, kenapa sebaliknya kau mau bersahabat dengan aku? Bukankah kalian sahabat kental yang sehaluan?"
"Watak Ling-toako polos, kukira dia salah paham terhadap nona."
"Jadi kau percaya bahwa aku ini orang baik?"
"Meski baru sekarang aku berhadapan dengan nona, nama besar nona sebetulnya sudah lama kudengar.''
In-tiong yan tertawa cekikikan, katanya sambil mendekap mulut; "Sudah lama dengar apa, kau tahu ucapanmu menunjukkan bahwa kau sedang membual?"
"Lho kenapa membual?"
"Bukankah nama besarku kau dengar dari mulut Hong-thian-lui? Baru saja kau mengatakan belum lama kenal dengan Hong-thian-lui, kenapa bisa kau bilang, sudah lama kenal namaku?"
"Dugaanmu salah, nama besarmu sudah lama kudengar waktu aku masih berada di Kanglam."
"O, jadi nama besarmu sudah tersiar ke Kanglam?"