Sahut Giok-liong memberi hormat Iagi, Lalu dipandangnya Tan Soat kiam dan Ling Soat yan bergantian serta katanya.
"Adik berdua selamat bertemu !"
Memutar tubuh terus berjalan keluar dengan langkah lebar. Begitulah dilain saat ia sudah keluar dari dalam gua dengan diiringi pandangan mereka yaag segan dan berat berpisah. Dibelakangnya sayup-sayup terdengar pesan mereka berdua.
"Engkoh Liong, hati-hatilah di jalan, jangan suka menimbulkan onar ..."
Dengan langkah cepat laksana terbang Giok-liong terus berlari-lari kencang menuju arah tenggara, berselang dua hari kemudian ia sudah memasuki daerah propinsi Sucwan, sepanjang jalan yang dilalui selalu adalah alas pegunungan, apalagi setelah memasuki daerah Su-cwan itu, gunung gemunung saja yang dilalui, lembah yang dalam binatang buas sering ditemui sepanjang jalan ini.
Terutama dipuncakpuncak pegunungan dengan awan putih mengembang halus laksana berada ditempat dewa saja.
Semakin keselatan pegunungan semakin belukar, jarang ditemui penduduk sepanjang jalan ini, sehingga sering sampai berhari-hari ia narus menahan lapar.
Tatkala itu matahari sudah doyong kearah barat menjelang magrib, awan bergulung gulung gelap angin pegunungan menghembus keras, Diatas pegunungan yang liar dan sepi ini dimana ia harus mencari makanan untuk sekedar untuk tangsel perut ini benar benar bulan soal yang gampang.
Sekonyong konyong dari kejauhan didepan sana terdengar gema suara auman harimau yang sedang marah.
Meskipun jaraknya rada jauh tapi dari suaranya yang keras dan garang itu dapatlah diperkirakan bahwa itulah seekor harimau yang besar tentunya, Entah sedang berkelahi dengan siapa sehingga binatang itu mengeluarkan gerangan marah yang keras.
Tergerak hati Giok-liong, batinnya.
"Dilihat keadaan ini, terpaksa harus berburu binatang untuk sekedar mengisi perut yang keroncongan ini."
Dengan minat yang besar ini bergegas ia lari kedepan menuju arah datangnya suara auman harimau itu.
Setelah berlari semakin dekat suara gerungan harimau itu benar-benar sangat keras sampai memekakkan telinga menggetarkan pegunungan sekitarnya lagi.
Giok- liong berdiri tegak diatas sebuah batu yang menonjol diatas ngarai, dengan ketajaman matanya ia menyelidik kebawah yang dipenuhi kabut gelap, samar-samar terlihat dikeremeng dibawah sana, empat titik sinar terang tengah mengurung segulung bayangan merah yang sedang berloncatan dengan gesit dan tangkas sekali.
Sekarang jelas terdengar pula oleh -Giok liong bunyi pernapasan orang yang rada lemah di bawah jurang sana, Giok-liong menjadi kaget, pikirnya.
"Mungkin ada orang yang diserang terluka oleh binatang buas ini hingga timbulIah jiwa kependekarannya, buru-buru ditanggalkan jubah luarnya, lalu dirogohnya beberapa pulung obat pemunah hawa beracun terus ditelan ke dalam muIut, setelah menarik napas panjang lalu merambat turun melalui dinding jurang, keadaan di dasar jurang ini memang cukup gelap dan remang-remang, suara gedebukan dan langkah-langkah berat semakin nyata terus berkumandang saling susul. Giok liong kerahkan Ji-lo untuk melindungi badan, lalu dari ketinggian puluhan tombak itu ia melompat turun waktu masih mengapung ditengah udara ia lolos keluar Kim-pit ditangan kanan. Waktu kakinya menginjak tanah dimana ia pandang kedepan seketika ia melonjak mundur. Ternyata keempat titik sinar terang yang dilihatnya tadi bukan lain adalah dua pasang mata harimau, kedua harimau ini sama besar dan garangnya hampir setombak panjang tubuhnya dan setinggi kerbau. Sambil mendekam dikanan kiri mulutnya menggerung gerung, kedua ekor mereka tak henti-hentinya disabetkan diatas tanah dan kekiri kanan, sehingga debu mengepul, batu dan pasir beterbangan memercikkan lelatu api. Meskipun gerungannya sangat keras dan garang, tapi naga-naganya mereka tahu gelagat tidak berani sembarangan bergerak. Cahaya merah marong itu bukan lain adalah mata tunggal seekor ular besar yang berkepala menyerupai kepala ayam jago, sedemikian aneh bentuk kepala ular ini, matanya memancarkan sinar merah yang berkilau dengan tajam ia awasi gerak gerik kedua harimau besar dihadapannya yang sudah siap menyerang setiap saat. Badan ular yang besar dan panjang ini tengah melingkar menggubat seluruh badan seorang Hwesio tua yang berjenggot putih duduk bersila diatas tanah. Mulut Hwesio tua itu menganga lebar mengulum sebuah benda bundar sebesar kepalan bocah berwarna putih kemilau laksana perak, agaknya Hwesio tua ini berusaha menelan benda bundar itu. Tapi karena seluruh badannya tergubat kencang oleh badan ular, hakikatnya bernapas saja sangat sukar, mana bisa ia menelan benda di mulutnya itu. Meskipun seluruh badan tergubat ular tapi kedua tangan Hwesio tua itu tepat mencengkeram tenggorokkan kepala ular itu. Pada mulut ular ini juga menggigit sebutir benda bundar warna putih perak. Benda bundar dimulut ular ini jauh lebih kecil dibanding yang berada dimulut Hwesio tua. Kabut beracun bergulung-gulung menyembur keluar dari mulut ular tapi karena adanya rintangan benda bundar putih perak yang tergigit dimulutnya itu sehingga semburan kabut berbisanya ini tidak banyak mengambil keuntungan malah kehilangan perbawanya. Saban-saban Hwesio tua melepas salah satu tangannya hendak meraih benda bundar dimulut ular itu. Tapi begitu ia lepas tangan mulut ular lantas terbuka semakin lebar, agaknya bisa segera menelan benda bundar itu, malah berpaling dan kepalanya ku menerjang datang hendak mematuk. Saking ketakutan cepat-cepat ia cengkeram lagi tenggorokan ular tempat paling lemas diseluruh badan ular yang terletak tujuh senti dibawah kepala ular. Kedua harimau besar itu naga-naganya adalah binatang piaraan si Hwesio tua ini. Berulang kali mereka sudah bergerak hendak menubruk maju tapi selalu disapu mundur oleh ekor ular besar yang keras laksana baja itu. Dengan cermat Giok-liong meneliti dan mengamati benda bundar dimulut ular dan yang dikulum dimulut si Hwesio tua itu, akhirnya ia berjingkrak kaget karena kedua butir benda bundar itu bukan lain adalah Cu-hok-gin-kong -ko, buah sinar perak ibu beranak yang sudah berusia ribuan tahun yang merupakan benda pusaka yang paling dikejar-kejar oleh kaum persilatan umumnya. Kulit dari buah sinar perak ibu beranak ini sangat keras laksana besi ibu buah lebih besar, itulah yang dikulum dimulut si Hwe-sio tua, seribu tahun berbuah sekali sedang anak buah lebih kecil adalah yaitu tergigit di mulut ular, selaksa tahun baru berbuah. Buah ajaib yang mujarab semacam ini kalau tahu cara penggunaannya, sedikitnya dapat menambah latihan Lwekang orang sebanyak seratus tahun lebih! Bagi orang biasa dapat panjang umur dan tak gampang diserang penyakit. Tapi kasiat anak buah adalah setingkat lebih besar dan mujarab dari pada ibu buah nya. Melihat orang dan ular sedang berebutan menelan buah ajaib yang mujarab ini sampai saling tempur dan bertahan sekian lama. bukan mustahil akhirnya mereka sama-sama mampus kelelahan Diam-diam Giok liong membatin dalam hati.
"Hwesio tua itu sungguh cukup tamak dan nyeleweng dari ajaran sang Budha, sebagai yang suci bersih."
Dalam kejap pemikirannya inilah, dilihatnya keadaan si Hwesio tua sudah rada payah dan tak kuat bertahan lagi, cengkeraman kedua tangannya itu semakin lama semakin kendor dan hampir terlepas, lidah ular sudah semakin memanjang, senti demi senti menjulur mendesak kearah mukanya.
Diam-diam Giok liong mengeluarkan Kim-pit-siti-piau dari buntalannya, begitu kakinya menjejak tanafa, badannya lantas meluncur maju waktu badannya masih terapung ditengah udara tangan kanannya terus diayun menyambitkan selarik sinar kuning mas.
Ular aneh berjambul seperti ayam jago itu mendadak merasakan adanya serangan gelap dari luar ini, mendadak mengeluarkan suara aneh dari mulutnya, seluruh badannya mendadak merontak keras sekali, sedang buah bundar putih perak yang digigit di mulutnya itu terus disemburkan kearah Giok-liong membawa kabut berbisa.
Baru saja Giok liong menyambitkan piau potlot masnya kearah tempat kelemahan dibadan leher si ular aneh berkepala jambul ayam jago, serentak iapun ayun potlot mas di tangan kirinya.
Sewaktu badannya masih terapung dan meluncur maju inilah mendadak dilihatnya anak buah sinar perak yang tengah menyemprot datang itu pecah ditengah jalan, Sari buah yang berupa cairan putih itu berubah selarik sinar putin perak menyemprot datang kearah dirinya di belakang kulit buahnya.
Dalam kesibukannya ini Giok liong tidak sempat banyak berpikir, lekas-lekas ia angkat tangan kirinya meraih pecahan kulit buah sembari membuka mulut dan menyedot dengan keras, Maka sari buah yang berupa cairan warna putih perak itu langsung tersedot masuk seluruhnya ke dalam mulutnya terus tertelan kedalam perut.
Tepat pada waktu itu juga terdengarlah "cras"
Disusul pekik aneh yang mengerikan ternyata piau potlot mas yang disambitkan Giok-liong itu tepat mengenai tempat kelemahan dibawah leher ular aneh berkepala jambul ayam itu.
Hebat sekali kekuatan ular aneh itu, meskipun kelemahannya sudah kena tusuk tapi masih kuat meluncur datang mengejar ke arah Giok-liong dengan garangnya.
Giok-liong pentang kedua lengan tangannya, selarik sinar kuning lantas berkelebat dan terus meluncur cepat sekali memapas kearah batok kepala sang ular, seketika terjadi hujan darah, kiranya potlot mas sambitan Giok liong yang terakhir inipun dengan telak amblas ke dalam batok kepala yang berjambui ayam jago itu, serentak dengan aksinya tadi Giok-liong masih harus membungkuk tubuh sambil lompat maju, karena saat itu juga terasa angin keras menyampok di belakang kepalanya, Kiranya buntut ular yang besar dan keras itu telah menyapu tiba.
Diam-diam Giok liong mengeluh, cepat-cepat ia mengerahkan pinggang berbareng sekuatnya kaki menjejak tanah sehingga tubuhnya melejit tinggi ke tengah udara.
Gerakan yang tepat dan indah ini berhasil meloIos keluar pula sebatang potlot mas lainnya terus disongsongkan ke belakang.
"Plok"
Benturan keras terjadi, seketika Giok liong rasakan seluruh lengannya tergetar linu dan luar biasa, kontan badannya juga lantas meluncur jatuh.
Disebelah sana dengan mengeluarkan suara gemuruh sepanjang badan ular yang besar itu juga terbanting keras di tanah terpaut beberapa langkah saja di sebelah tubuhnya, seketika bergulingan dan berkelejetan meloncat-loncat menimbulkan debu dan kerikil beterbangan sekian lamanya baru berhenti dan melayanglah nyawanya.
Karena sudah menelan obat pemunah hawa beracun pemberian suhunya yang bernama Pit-tok-tan, Giok-liong sudah tidak usah kwatir lagi menyedot hawa berbisa yang di semburkan dari mulut ular.
Dengan cekatan dicabutnya potlot mas serta membungkuk mengambil piau kecil yang tertancap di bawah leher ular itu bersama terus dimasukkan ke dalam buntalannya.
Sementara itu si Hwesio berkesempatan menggigit pecah Gin-kong-bok-co (ibu buah sinar perak), setelah menyedot habis sarinya, sepasang matanya lantas memancarkan sorot kebuasan yang garang berkilat-kilat, Pada saat itu dilihatnya Giok-liong tengah membungkuk menjemput sesuatu dari kepala ular aneh itu, maka segera ia menghardik bengis.
"Tahan."
Berbareng tangannya menyambitkan kulit buah yang berubah sinar perak langsung menyerang jalan darah Pak-simhiat di punggung Giok-liong, bersama itu tangkas sekali iapun meloncat menubruk membawa serangan membadai dengan pukulan dahsyat dari tengah udara.
Demikian juga kedua ekor harimau besar itu berbareng menggereng keras bergetar terus menubruk kearan Giokliong.
Sungguh mimpi juga Giok-liong tidak mengira pertolongannya secara berbahaya tadi bukan saja tidak mendapat simpatik atau tanda penghargaan malah orang membalas air susu dengan air tuba, serentak turun tangan menyerang dia mengancam jiwanya.
Dalam keadaan yang serba kritis begini tiada banyak kesempatan untuk berpikir Secara gerak reflek ia ayun tangan kirinya, maka kulit anak buah bersinar perak lantas meluncur dengan kecepatan yang susah diukur bersama dengan gerakan tangan ini badannya juga ikut menggeliat terus melambung tinggi ketengah udara dari celah-celah diantara kedua harimau yang persis menubruk tiba dari atas kepalanya.
Dalam pada itu si Hwesio tua yang masih mengapung di tengah udara begitu melihat Giok-liong menyambitkan selarik sinar putih perak, hatinya lantas mengeluh lirih.
"Celaka !"
Badannya mendadak jumpalitan balik terus meluncur turun sambil mengulur tangan meraih kearah kulit anak buah sinar perak yang meluncur datang.
Sayang sekali sedetik sebelum tangannya berhasil menangkap kulit buah itu tahu-tahu terdengar suara "pyaarrr", yang halus, samar-samar percikan cahaya putih perak berkembang ditengah udara lantas terendus bau harum semerbak merangsang hidung.
Begitu tangannya meraih tempat kosong, sepasang mata Hwesio tua lantas memancarkan sorot kebuasan yang penuh nafsu membunuh.
Begitu kaki menginjak sekali tutul lagi, badannya lantas menggeliat dengan gaya yang indah sekali melompat maju mengejar sambil membentak gusar.
"Bunuh !"
Tapi kali ini bukan meluruk kearah Giok-liong sebaliknya melambung tinggi terus menubruk kearah ular aneh yang setengah sekarat itu. Sekali tangan terayun, lantas terlihatlah sinar dingin berkeredep "cras"
Suara sannberan enteng ini menimbulkan cahaya merah mengalir dan berputar, tahu-tahu digenggaman tangannya sudah menyekal sebutir mutiara merah sebesar kepelan tangan kecil yang berkilauan.
Tepat pada saat si Hwesio tua berseru dengan teriakan "Membunuh"
Tadi.
Kedua ekor harimau besar itu lantas mengabitkan ekor masing-masing sambil menggerung sekeras kerasnya sampai menggetarkan tanah pegunungan sekelilingnya, Dengan membawa bau amis yang memuakkan serentak mereka menubruk kearah Giok-liong.
Keruan Giok-liong menjadi gusar, sedikit kakinya menutul, ringan sekali badannya lantas melompat mundur tiga tombak jauhnya, bentaknya dongkol.
"Toa-suhu, apa-apaan kelakuaamu yang ingin melukai orang tanpa sebab ?"
Dalam pada itu si Hwesio tua juga tengah berdiri tegak lalu membentang telapak tangannya, dengan cermat ia awasi mutiara ular merah yang berada di telapak tangannya, Dilain saat ia lantas masukkan mutiara pusaka ini kedalam buntalannya, wajahnya mengunjuk rasa puas dan gembira.
Tapi di lain saat tiba tiba air mukanya berubah gelap, gerungnya rendah.
"Berhenti !"
Benar juga kedua ekor harimau besar itu segera menghentikan aksinya, tapi mereka mendekam ditanah dengan gaya siap menerkam begitu mendengar aba-aba dari tuannya, Tajam dan cermat si Hwesio tua mengamati Giokliong, samar-samar air mukanya sedikit mengunjuk rasa kejut dan heran tapi ini hanya terjadi dalam kilasan saja, maka dilain saat air makanya semakin memberengut, tanyanya dengan tiada berat.
"Siau-si-cu telah merusak anak buah sinar perak wi-iinku, cara bagaimana kau harus menggantinya ?"
Giok-liong menjadi tidak senang, tanyanya balik.
"Jikilau Toa-suou tadi meninggal keperut ular aneh itu lantas cara bagaimana penyelesaiannya ?"
Hwesio tua mendengus hidung, jengeknya.
"LoIap percaya tidak akan tertelan keperut ular."
Jelas tadi Toa suhu sudah tidak kuat bertahan, dalam keadaan yang gawat demikian, jikalau Cayhe tidak lekas-lekas turun tangan, paling tidak Toasuhu tadi sudah berkenalan dengan ciuman ular berbisa tadi."
"Lolap tadi hanya berledek saja dengan ular, bukan saja Sian-si-cu telah membunuh barang permainanku, malahan merusak buah ajaibku lagi, Dengan dosamu ini kalau Lolap tidak turun tangan rasanya belum terlampias rasa dongkol ini !"
Giok liong semakin menjadi dongkol dan gemas pikirnya.
"Dijagat ini kiranya ada juga orang beribadat yang tidak kenal aturan begini."
Terdengar Hwesio tua itu membuka mulut lagi.
"Siau-si-cu apakah kau ini murid To ji Pang Giok ?"
Giok-liong manggut-manggut, tanyanya.
"siapakah nama julukan Toa-suhu ini ?"
Si Hwesio mendehem dulu lalu menjawab.
"Go-bi Goanhwat itulah Lolap ada-nya, dulu pernah bertemu sekali dengan gurumu.
"
Goan-hwat Taysu adalah Susiok dari Hian Goan Taysu Ciang-bunjin Go-bi-pay sekarang, Kepandaian silatnya tinggi dan lihay, tapi wataknya aneh dan suka sirik dan berat sebelah berhati tamak dan loba, Kelakuan yang buruk ini memang sudah menjadi rahasia umum bagi kalangan kaum persilatan.
Menurut aturan, tingkat kedudukannya setingkat lebih rendah dari To-ji Pang Giok, namun dia sendiri mengangkat diri dengan sebutan setingkat dalam jajaran para angkatan tua.
Dari sini bolehlah kita bayangkan betapa congkak dan sombong serta takabur sifat buruknya ini.