Sepasang Pedang Iblis Chapter 14

NIC

Wajah Bun Beng yang tadinya membayangkan kekhawatiran, tiba-tiba berseri gembira dan ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu,

"Terima kasih, Suhu. Terima kasih!"

Kakek Siauw Lam tertawa dan membuka bungkusan kain kuning yang dibawanya.

"Sudahlah. Nih ada roti kering, engkau tentu belum makan."

Guru dan murid itu lalu makan roti kering dan minum air yang didapatkan Bun Beng dari sumber air di hutan itu, kemudian ia rebah mengaso di dekat api unggun,

"Bun Beng, semula aku memang tidak rela mengajakmu mengunjungi tempat yang akan dijadikan pertemuan orang-orang sakti itu. Amat berbahaya, muridku. Bahkan berbahaya sekali. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang selain memiliki ilmu kesaktian yang hebat juga merupakan orang-orang yang amat aneh wataknya, tidak seperti manusia biasa, bahkan ada yang mendekati kegilaan. Akan tetapi setelah kupikir-pikir, memang amat penting bagimu, terutama demi kemajuanmu. Engkau berbakat baik dan engkau sejak dahulu mempelajari dasar-dasar ilmu silat tinggi dari Siauw-lim-pai. Aku percaya bahwa dengan kepandaianmu yang kau pelajari dariku, belum tentu engkau akan kalah oleh orang yang sebaya denganmu. Akan tetapi, dibandingkan dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti itu, hemmm.... mungkin kepandaian yang kumiliki sekalipun sama sekali tidak ada artinya."

Bun Beng terbelalak, tidak percaya. Suhunya adalah orang yang terpandai di Siauw-lim-pai, memiliki ilmu seperti dewa. Bagaimana mungkin ada tokoh kang-ouw yang lebih pandai dari gurunya ini? Namun, selamanya gurunya tidak pernah bicara bohong, maka apa yang diterangkan ini tentu ada benarnya pula. Hal ini membuat Bun Beng tertarik dan makin besar dorongan keinginan hatinya untuk bertemu dengan tokoh-tokoh sakti yang aneh itu. Sejenak mereka tak berkata-kata. Bun Beng termenung, teringat akan ibunya. Ibunya juga seorang murid Siauw-lim-pai, dan amat lihai. Ia teringat akan keadaan dirinya lima tahun yang lalu, ditinggalkan dalam kuil tua oleh ibunya. Teringat ia akan pesan ibunya ketika hendak pergi.

"Bun Beng, anakku sayang. Ibumu akan pergi mencari musuh besar kita. Mungkin aku tidak akan pergi lama. Akan tetapi kalau aku tidak kembali, tentu ada orang lain datang menjemputmu dan engkau harus turut dengan dia, anakku."

Ternyata kemudian bahwa yang datang ke kuil demikian banyak orang yang saling memperebutkan dia! Selama lima tahun ini, kalau dia mengajukan pertanyaan pada gurunya tentang ibunya yang tidak kembali ke kuil, gurunya tidak mau menerangkan hanya berkata,

"Belajarlah yang rajin, dan kelak engkau akan tahu sendiri apa yang terjadi dengan Ibumu."

Sekarang timbul lagi keinginan tahunya. Dia telah besar, telah sepuluh tahun lebih usianya. Gurunya telah membolehkan untuk pergi merantau biarpun kini suhunya itu menemaninya.

"Suhu, harap Suhu suka ceritakan tentang Ibu. Apakah Ibu masih hidup? Ataukah sudah mati? Harap Suhu jangan khawatir. Teecu kira tentu Ibu sudah tidak ada, karena kalau masih hidup, tentu Suhu tidak menyembunyikannya dari pengetahuan teecu. Maka, teecu harap sudilah Suhu berterus terang. Kalau masih hidup, di manakah Ibu? Kalau sudah mati, mengapa? Siapa membunuhnya dan di mana kuburannya?"

Melihat suhunya ragu-ragu untuk menjawab, anak itu melanjutkan,

"Suhu, harap Suhu jangan khawatir mengatakan andaikata Ibuku telah mati. Telah terlalu lama teecu menganggap Ibu telah tidak ada, dan keraguan ini lebih menyiksa daripada mendengar kenyataannya."

Bukan main anak ini, pikir kakek itu. Sekecil ini memiliki wawasan sedalam itu, maka ia pun lalu menjawab,

"Ibumu Bhok Khim murid Siauw-lim-pai itu memang telah tewas, Bun Beng."

Bun Beng menunduk sejenak dan dia tidak menangis! Hanya suaranya menjadi agak gemetar ketika ia bertanya,

"Apakah Ibu gagal membalas dendam dan tewas di tangan musuh besarnya?"

"Tidak muridku. Ibumu tidak gagal, bahkan berhasil membunuh musuhnya, akan tetapi musuhnya itu pun dapat membunuhnya. Dalam pertadingan itu, mereka keduanya tewas. Nah, sekarang engkau telah mengerti dan sebaiknya kalau engkau tidak lagi memikirkan Ibumu?"

"Baik, Suhu. Akan tetapi Ayahku? Di manakah Ayah teecu? Ibuku tidak pernah mau menjawab kalau teecu menanyakan Ayah."

Berat rasa hati Kakek Siauw Lam. Bagaimana dia harus menjawab? Dia tidak mau membohong, akan tetapi juga tidak sampai hati untuk menceritakan bahwa ayah anak ini adalah musuh besar ibunya itu! Maka setelah berpikir sejenak, ia menjawab tenang,

"Ayahmu juga telah meninggal dunia Bun Beng."

"Oohhh....!"

Anak itu kecewa sekali, akan tetapi tidak menangis, tidak berduka karena memang selamanya belum pernah ia melihat ayahnya.

"Tahukah Suhu, siapa nama Ayah teecu?"

"Namanya.... Gak Liat."

Bun Beng mengangguk dan menggigit bibirnya. Nama itu terukir di lubuk hatinya dengan dua huruf besar-besar.

"Jadi teecu she Gak? Pantas dulu Ibu mengatakan bahwa teecu boleh memakai she Bhok atau She Gak...."

"Dan engkau akan memakai she yang mana Bun Beng?"

Kakek itu memandang tajam wajah muridnya yang disinari api unggun.

"Tentu saja she Gak. Gak Bun Beng, seorang anak yatim piatu...."

Suara ini agak tersendat oleh keharuan. Kakek itu memegang pundak Bun Beng.

"Kematian orang bukanlah hal yang patut disusahkan, muridku. Kita semua manusia yang dilahirkan, suatu saat pasti akan mati, dan mati berarti terbebas daripada duka nestapa dan derita perasaan di waktu hidup. Jangan mengira engkau setelah ditinggal ayah-bundamu lalu menjadi seorang manusia yatim piatu yang tidak mempunyai apa-apa. Tengok di kanan-kirimu, semua yang tampak, tetumbuhan dan binatang, adalah teman-teman hidup senasib. Dan semua manusia di dunia ini adalah saudara-saudara sendiri. Langit adalah Ayahmu yang sejati, sedangkan Bumi, adalah Ibumu yang sejati. Takut apa?"

Anak itu memandang wajah gurunya. Hatinya besar sekali dan ia tersenyum!

"Terima kasih, Suhu. Apalagi kalau teecu dapat bertemu dan berkenalan dengan tokoh-tokoh sakti di dunia ini, tentu teecu takkan merasa kesepian. Di dunia ini banyak manusia-manusia yang mulia hatinya, seperti Suhu. Dan sakti, seperti.... Pendekar Siluman! Eh, Suhu juga sakti sekali, tidak tahu siapa lebih sakti antara Suhu dan Pendekar Siluman yang berkaki buntung itu?"

Gurunya tertawa.

"Tidak salah kata-katamu. Dunia ini penuh orang sakti. Dan Pendekar Super Sakti itu adalah seorang di antara mereka, dibandingkan dengan dia, ahhh.... Suhumu ini bukan apa-apa."

"Suhu terlalu merendahkan diri. Teecu tidak percaya!"

"Memang, sebaiknya engkau pun selama hidupmu bersikaplah seperti aku, Bun Beng. Rendah hati bukan rendah diri! Orang yang rendah hati akan berhasil memperoleh kemajuan pesat, sebaliknya orang yang tinggi hati akan tergelincir oleh kesombongannya sendiri. Namun, bicara tentang Pendekar Super Sakti yang kini kabarnya menjadi majikan Pulau Es, dia memang merupakan seorang muda yang mempunyai ilmu kepandaian luar biasa sekali, bukan hanya ilmu silat tinggi-tinggi sebagai murid yang mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es, juga dia memiliki ilmu sihir yang luar biasa sekali. Sungguh sukar membayangkan mencari orang yang dapat menandinginya dalam ilmu kesaktian. Sudahlah, kita mengaso, besok kita melanjutkan perjalanan. Ke-lak engkau tentu akan dapat bertemu dengan mereka dan membuktikan sendiri bagaimana lihai mereka itu."

Membayangkan para pendekar ini, Bun Beng melupakan kedukaannya tentang ayah bundanya dan malam itu ia tertidur di dekat api unggun, bermimpi tentang pendekar-pendekar sakti yang menunggang naga dan pandai menangkap geledek! Pada keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan. Melakukan perjalanan bersama gurunya amatlah menggembirakan hati Bun Beng karena gurunya itu tahu akan segala hal, bahkan tahu akan nama setiap gunung yang mereka lalui, atau nama setiap kota, dusun, bahkan sungai! Ketika mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho di sebelah barat kota Cin-an, Bun Beng mendapat kenyataan pertama bahwa gurunya memang bukan orang sembarangan. Ketika suhunya mengajaknya berjalan-jalan di tepi sungai yang ramai penuh dengan nelayan dan perahu-perahu layarnya, tiba-tiba muncul tiga orang berpakaian pengemis yang serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan suhunya!

"Eh, eh, harap kalian bangun kembali. Agaknya Sam-wi (Kalian Bertiga) sudah salah mengenal orang!"

Kakek Siauw Lam menggerakkan tongkat bututnya minta mereka bangkit. Akan tetapi tiga orang kakek jembel itu tidak mau bangkit, bahkan seorang di antara mereka yang bertubuh bongkok segera berkata,

"Kami dari Pek-lian-kai-pang selamanya tidak berani bersikap kurang ajar terhadap Siauw-lim-pai, apalagi terhadap Locianpwe Siauw Lam Losuhu. Mohon tanya, ada keperluan apakah Locianpwe datang ke tempat ini? Barangkali saja kami dapat membantu."

Mendengar bahwa mereka adalah anak buah Pek-lian-kai-pang, atau lebih tepat hanya sisa-sisa dari anak buah Perkumpulan Pengemis Teratai Putih yang terkenal itu, setelah Pek-lian-kai-pang terbasmi oleh Pemerintah Mancu (baca PENDEKAR SUPER SAKTI), kakek Siauw Lam tidak membantah lagi dan berkata,

"Kami berdua ingin menonton keramaian di muara Sungai Huang-ho, dan sedang mencari perahu untuk disewa."

Posting Komentar