Sepasang Pedang Iblis Chapter 13

NIC

Tadi telah berubah menjadi pedangnya sendiri! Mendengar ini, semua anak buah Pulau Neraka serentak maju, siap mengeroyok Suma Han. Pendekar buntung ini meloncat ke depan, menyapu mereka dengan sinar matanya lalu berkata,

"Siapa lagi berani melawan Pendekar Siluman Majikan Pulau Es?"

Semua anak buah Pulau Neraka menjadi ngeri ketika melihat Suma Han kini berubah menjadi raksasa, tiga kali ukuran tubuh manusia, kepalanya menjadi tiga buah dan lengannya menjadi enam buah biarpun kakinya masih tetap satu! Melihat ini, mereka menggigil dan tak seorang pun di antara mereka berani berkutik, bahkan segera menjatuhkan diri berlutut ketika Si Muka Hijau mendahului mereka berlutut.

"Mohon To-cu sudi mengampunkan hamba semua dan biarlah kami melaporkan kepada To-cu kami bahwa para tawanan terpaksa kami serahkan To-cu Pulau Es karena kami tak sanggup melawannya."

Kata Si Muka Hijau.

"Hemm, kalau begitu, mengapa kalian tidak lekas pergi? Ataukah menunggu aku turun tangan melempar-lemparkan kalian ke laut?"

Si Muka Hijau melompat bangun, memberi isyarat dengan tangan. Sebuah perahu kecil diturunkan dan Si Muka Hijau bersama lima orang laki-laki muka ungu dan seorang wanita muka jambon melompat ke dalam perahu. Si Muka Hijau memegang sebatang tali yang ujungnya terpecah menjadi banyak dan kini dipegang oleh para anak buah perahu. Lima orang muka ungu dan seorang wanita muka jambon memegang dayung. Perahu kecil itu didayung cepat sekali, Si Muka Hijau berdiri di ujung belakang memegang tambang dan.... belasan orang anak buahnya meloncat ke air dan dapat berdiri lalu ditarik oleh perahu itu.

Kiranya Si Muka Hijau itu demikian kuatnya, memegang tambang yang menarik enam belas orang dan ternyata para anak buah Pulau Neraka itu menggunakan kayu diikat dengan kaki mereka sehingga mereka dapat terapung (semacam ski air)! Memang hebat mereka itu. Hebat pula cara enam orang itu mendayung perahu karena sebentar saja, rombongan itu sudah jauh sekali menuju ke timur dan lenyap dihalangi ombak-ombak di belakang mereka! Suma Han kagum sekali, maklum bahwa dia telah menanam bibit permusuhan dengan golongan yang amat kuat, yaitu Pulau Neraka. Akan tetapi dia tidak peduli, lalu menggunakan tongkatnya mematahkan semua belenggu para tawanan. Di antara mereka itu, termasuk kakek gendut, segera menjatuhkan diri berlutut menghadap Suma Han. Akan tetapi, anak murid In-kok-san tidak berlutut. Suma Han mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara dingin.

"Siapa yang suka menjadi anak buah-ku dan mengakui aku sebagai Majikan, harap berlutut. Yang tidak mau, takkan dipaksa!"

Sedetik pandang matanya bertemu dengan pandang mata Phoa Ciok Lin bekas sucinya. Namun wanita muda ini segera menekuk kedua lututnya dan berturut-turut para murid In-kok-san berlutut pula. Hanya dua orang murid In-kok-san dan seorang laki-laki bermuka pucat tetap berdiri tidak mau berlutut. Suma Han memandang mereka dan Si Muka Pucat berkata,

"Aku mengenal siapa engkau! Engkau dahulu adalah seorang pejuang, akan tetapi engkau telah berkhianat. Sebagai seorang pejuang, seorang patriot sejati, aku tidak sudi menjadi bujang seorang pengkhianat. Mau bunuh boleh bunuh, siapa yang takut mati?"

Suma Han memandang Si Muka Pucat dan segera mengenalnya. Dia itu adalah seorang di antara pejuang-pejuang yang pernah bertemu dengannya di Se-cuan, kalau dia tidak salah ingat, bernama Lo Hoat dan murid dari Tok-gan Siu-cai Gu Cai Ek Si Ahli Totok Dengan Sepasang Sumpit! Pernah dia merobohkan Lo Hoat ini ketika dia memasuki gedung para pejuang dan disangka menantang pibu (baca cerita PENDEKAR SUPER SAKTI). Hemm, orang ini pendendam sekali, amat tidak baik dijadikan teman.

"Aku tidak mau membunuh orang. Akan tetapi, kalau engkau tidak mau menjadi anak buahku, aku pun tidak memaksa. Nah, pergilah sekarang juga!"

"Pergi ke mana? Tidak ada lagi perahu yang dapat kupakai."

Suma Han memandang tajam dengan alis berkerut.

"Lo Hoat, aku tidak ada waktu untuk berdebat. Pilih satu di antara dua. Tinggal di perahu dan menjadi anak buah Pulau Es, atau sekarang juga keluar dari perahu ini!"

"Engkau.... iblis siluman.... keji!"

Lo Hoat memaki.

"Pergilah atau harus kulempar keluar?"

"Manusia rendah, coba kau lempar ka-lau...."

Belum habis ucapan Lo Hoat ini, tangan kanan Suma Han bergerak sedikit dan.... tubuh itu terlempar keluar dari perahu dan jatuh tercebur ke air!

"Apakah kalian berdua juga tidak sudi menjadi anak buah Pulau Es?"

Tanya Suma Han kepada dua orang murid In-kok-san.

"Engkau adalah bekas sute kami, bagaimana kami dapat mengangkatmu men-jadi majikan dan berlutut di depanmu?"

Seorang di antara mereka membantah.

"Kami adalah orang-orang yang memiliki kegagahan, bukan berjiwa rendah!"

"Orang yang tak dapat melihat kenyataan adalah orang-orang bodoh, bukan gagah! Aku bukan sute kalian, aku adalah Majikan Pulau Es dan kalian hanya mempunyai dua pilihan. Tunduk kepadaku atau.... keluar dari perahu ini!"

"Lebih baik mati!"

Dua orang itu meloncat keluar dari perahu dan kembali air laut muncrat ketika tubuh mereka menimpa air. Mereka yang berlutut memandang ke arah air dengan muka pucat, menyaksikan tiga orang itu berjuang dan bersitegang melawan air yang berombak dan yang hendak menggulung dan membunuh mereka.

"Pasangkan layar, kita berangkat!"

Kata Suma Han tanpa mempedulikan tiga orang itu.

"Aku menjadi penunjuk jalan dengan garudaku di atas perahu, ikuti ke mana garuda terbang!"

Mereka yang berlutut itu sudah tunduk dan kagum kepada Suma Han. Mereka telah diselamatkan dari nasib yang amat buruk. Baru menjadi tawanan saja mereka sudah disiksa, kalau sampai di Pulau Neraka, tentulah penghidupan mereka akan benar-benar seperti di neraka!

Tentu saja jauh lebih baik menjadi anak buah pendekar berkaki buntung ini biarpun pendekar ini dijuluki Pendekar Siluman! Apalagi, nama Pulau Es merupakan daya tarik besar sekali. Pulau Es adalah sebuah tempat yang selalu diidamkan oleh tokoh-tokoh kang-ouw, yang dianggap sebagai tempat keramat di mana terdapat pusaka dan ilmu-ilmu yang tinggi. Kini mereka dijadikan anak buah Pulau Es, tentu saja mereka menerimanya dengan hati girang. Perahu hitam itu bergerak, layar-layarnya terkembang ditiup angin dan dengan wajah gembira penuh harapan mereka mengemudikan perahu mengikuti garuda yang terbang perlahan di atas mereka. Phoa Ciok Lin dan para saudara seperguruan masih termangu-mangu, teringat akan nasib dua orang saudara seperguruan yang ditinggalkan dan bergulat dengan maut antara ombak laut itu.

Mereka ini tidak dapat menyalahkan Suma Han, dan tidak dapat menganggap Majikan Pulau Es itu kejam. Tidak, orang muda buntung yang kini menjadi majikan mereka, menjadi ketua mereka itu, telah memberi kesempatan kepada tiga orang tadi. Tidak membunuh mereka sebaliknya mereka itulah yang seperti membunuh diri sedangkan jalan hidup terbuka lebar. Demikianlah tiga puluh orang gagah kini menjadi anak buah Pulau Es. Setelah berbulan-bulan tinggal di situ, mereka semua makin tunduk, makin hormat dan bahkan mulai menerima Suma Han sebagai majikan dan juga guru mereka! Suma Han mengajarkan ilmu-ilmu kepada mereka disesuaikan dengan kepandaian dasar dan bakat mereka masing-masing sehingga kepandaian mereka meningkat secara hebat. Tentu saja yang merasa paling girang adalah Kwi Hong.

Phoa Ciok Lin segera mengambil alih pekerjaan Suma Han mendidik Kwi Hong. Sungguh berbeda caranya mendidik, tidak dimanjakan seperti dahulu. Diajar membaca menulis dan kepandaian lain. Hanya dalam hal ilmu silat, Suma Han turun tangan sendiri mengajar keponakannya. Kini Pulau Es menjadi ramai, merupakan sebuah pulau yang berpenduduk. Bukan sembarang penduduk, melainkan orang-orang yang berilmu tinggi! Di antara mereka itu ada yang saling mencinta lalu menikah dengan upacara sederhana namun gembira. Dan mulailah semua orang, tidak ada kecualinya, juga Phoa Ciok Lin, memandang Suma Han bukan hanya sebagai penolong dan sebagai ketua, majikan, dan guru, akan tetapi juga sebagai seorang manusia mulia seperti dewa yang mereka hormati, taati dan juga cintai!

Namun, Suma Han tetap menyembunyikan diri, lebih sering dia bersamadhi di dalam ruangan Istana Pulau Es di mana terdapat tiga buah patung guru-gurunya, yaitu patung Koai-lojin Kam Han Ki, Nenek Maya, dan Nenek Khu Siauw Bwee. Pekerjaan mencari bahan makanan tentu saja kini dilakukan oleh anak buahnya dan untuk mengatur semua urusan, ia mengangkat Phoa Ciok Lin sebagai kepala urusan dalam pulau, sedangkan Yap Sun, kakek yang gemuk, diangkat menjadi kepala urusan luar. Pengangkatan ini bukan hanya dinilai dari tingkat kepandaian, melainkan juga dari watak dan pribadi mereka. Tentu saja demi kewibawaan, Suma Han menurunkan ilmu-ilmu yang lebih tinggi kepada dua orang wakilnya ini. Demikianlah selama lima tahun telah terjadi perubahan hebat di Pulau Es yang sekarang dapat dianggap sebagai sebuah partai besar sehingga mulai terdengar namanya di dunia kang-ouw.

"Suhu....! Suhu sudah memberi ijin kepada teecu, kenapa menyusul? Apakah Suhu hendak mengajak pulang ke Siauw-lim-si?"

Bun Beng terkejut dan khawatir ketika senja hari itu dia beristirahat dalam hutan, ia melihat gurunya muncul di depannya. Sudah tiga hari tiga malam dia mengadakan perjalanan naik turun gunung dan masuk keluar hutan. Kakek Siauw Lam tersenyum dan ikut duduk di depan api unggun yang dibuat Bun Beng. Selama ini diam-diam ia mengikuti perjalanan muridnya dan menjadi kagum menyaksikan muridnya itu benar-benar melanjutkan perjalanan seorang diri tanpa mengenal takut.

"Muridku, apa kau kira aku tega membiarkan engkau menempuh perjalanan penuh bahaya ini? Aku tadinya hanya ingin mengujimu dan melihat sampai di mana kebulatan tekadmu. Ternyata engkau benar-benar ingin sekali pergi menyaksikan keramaian antara tokoh-tokoh kang-ouw, biarlah kubawa engkau ke sana."

Posting Komentar