Laki laki muka ungu sudah maju dan menegurnya. Suma Han yang sudah meloncat turun dari punggung garuda dan berdiri tenang mengerling ke arah para tawanan, kemudian ia bertanya kepada laki laki muka ungu itu.
"Aku melihat dari angkasa hal yang tidak wajar ini. Mengapa mereka ini ditawan?"
"Ini adalah urusan kami sendiri, orang lain tidak berhak mencampuri. Ataukah ada hubungan antara To cu (Majikan Pulau) Pulau Es dengan seorang di antara tawanan ini? Kalau benar demikian, kami bersedia membebaskannya."
Diam diam Suma Han merasa geli di dalam hatinya. Dahulu, secara tidak sengaja ia mengaku tinggal di Pulau Es kepada dua orang utusan Pulau Neraka dan siapa sangka, sekarang hal itu benar benar telah terbukti dan dia menjadi penghuni atau majikan dari Pulau Es!
Mendengar pertanyaan Si Muka Ungu yang setengah menghormat dan takut setengah penasaran menentangnya itu, Suma Han kembali mengerling ke arah para tawanan. Timbul sebuah pikiran yang membuat jantungnya berdebar. Bu-kankah dia sedang bingung memikirkan masa depan Kwi Hong yang tidak mempunyai teman? Para tawanan ini rata-rata adalah seorang gagah, bahkan wanita wanitanya, terutama sekali Phoa Ciok Lin, adalah wanita wanita yang memiliki wajah cantik dan pandang mata gagah pula. Melihat bahwa mereka yang bukan murid In kok san tertawan bersama murid murid In kok san yang kesemuanya pejuang pejuang gagah perkasa, tentulah orang-orang ini pun bukan penjahat penjahat dan tergolong pejuang yang gagah pula.
"Kalian mau tahu apa hubunganku dengan mereka ini? Mereka ini adalah anak buahku, anak buah Pulau Es! Kalian berani menawan mereka?"
Mendengar ini, wajah semua orang yang berada di atas perahu itu berubah, bukan hanya wajah para anak buah Pulau Neraka, juga para tawanan memandang dengan bingung. Melihat ini, Suma Han sudah mengajukan pertanyaan kepada para tawanan, suaranya mengandung penuh wibawa, namun dingin seolah-olah menanyakan hal yang amat kecil artinya.
"Katakanlah, kalian lebih senang menjadi anak buah Pulau Es di bawah pimpinanku ataukah ingin ikut dengan rombongan Pulau Neraka?"
Tiba-tiba seorang yang bertubuh gemuk, berjenggot panjang, rambutnya dikuncir, menjawab,
"Kami jauh lebih senang menjadi anak buah Pulau Es, siapa sudi menjadi budak paksaan Pulau Neraka?"
Empat puluh orang itu serentak menjawab dan menyatakan keinginan hati mereka untuk menjadi anak buah Pulau Es. Hanya Phoa Ciok Lin dan be-berapa orang anak murid In kok san yang membungkam agaknya masih segan untuk menyatakan menjadi anak buah laki-laki buntung itu. Pada saat itu, laki laki muka ungu yang tadi lari memasuki bilik perahu, kini sudah keluar lagi bersama seorang kakek tinggi kurus yang bermuka hijau! Akan tetapi memang demikianlah kenyataannya dan kini Suma Han mengerti mengapa empat puluh orang gagah itu tertawan. Tentu Si Muka Hijau ini yang memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi daripada mereka semua.
Dan hal itu terbukti pula dari sikap jerih dan pandang mata penuh kekhawatiran dari para tawanan ketika Si Muka Hijau ini keluar. Suma Han dengan sikap tenang memandang. Warna hijau itu bukanlah kulitnya, melainkan seperti cahaya yang keluar dari dalam. Kini karena dalam keadaan tegang menghadapi pertentangan, para anak buah perahu juga sudah bersiap dan mereka mengatur barisan yang aneh karena warna-warna muka mereka. Ada kelompok muka hitam, muka merah, muka ungu, dan muka jambon. Akan tetapi yang bermuka hijau hanya ada seorang saja, kakek tinggi kurus itulah. Setelah berdiri saling pandang beberapa lamanya, agaknya kakek muka hijau itu dapat mengenal sinar mata yang aneh dan penuh kekuatan mujijat dari Suma Han. Dia segera membungkuk sambil merangkapkan kedua tangan dan berkata penuh hormat,
"Tidak kelirukah pelaporan anak buah kami bahwa Paduka adalah To-cu dari Pulau Es?"
"Benar."
Jawab Suma Han.
"Akulah penghuni Pulau Es. Apakah engkau Ketua Pulau Neraka?"
"Aaaahh, hamba hanyalah murid tingkat rendahan saja. Hamba bertugas mengumpulkan tenaga-tenaga untuk dikerjakan di pulau kami dan telah berhasil mengumpulkan empat puluh orang ini. Kami menangkapnya di daratan sana dan mereka adalah kaum pejuang yang menentang pemerintah Ceng. Akan tetapi tadi anak buah kami melapor bahwa To-cu mengakui mereka ini sebagai anak buah Pulau Es. Bagaimana ini?"
Suma Han merasa malu kalau harus membohong, maka ia berkata,
"Tadinya mereka bukan apa-apa, akan tetapi mulai saat ini menjadi anak buah Pulau Es. Karena itu, aku menuntut agar mereka dibebaskan!"
Sepasang alis kakek tinggi kurus itu bergerak-gerak dan warna hijau di mukanya makin keruh.
"Hamba sebagai murid tingkat rendah dari Pulau Neraka tentu saja tidak berani lancang menentang kehendak To-cu dari Pulau Es. Akan tetapi kalau hamba menurut begitu saja atas perintah To-cu, berarti hamba melalaikan tugas yang dibebankan kepada hamba. Karena itu, terpaksa hamba mematuhi peraturan dari Ketua kami, yaitu dengan kepandaian hamba mendapatkan empat puluh orang ini, dan hanya dengan kepandaian pula pihak lain dapat merampasnya!"
Diam-diam Suma Han merasa heran. Sepak terjang orang-orang Pulau Neraka itu kadang-kadang keji dan liar, akan tetapi sikap mereka ternyata sopan dan seperti orang terpelajar, bahkan tahu aturan. Seperti apakah ketua mereka? Orang bermuka hijau yang sudah dapat mengalahkan empat puluh orang pejuang, bahkan termasuk Phoa Ciok Lin murid Toat-beng Ciu-sian-li, tentu saja memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi dia mengaku hanya seorang murid tingkat rendah dari Pulau Neraka. Bukan main!
"Hemm, kiranya dengan ucapan halus engkau bermaksud menantangku?"
Suma Han bertanya, sikapnya dingin.
"Mana berani hamba menantang? Akan tetapi, kalau hamba pulang kehilangan para tawanan tanpa melawan, hamba akan dihukum mati sebagai orang hina. Sebaliknya, kalau hamba mempertahankan terhadap Paduka, hamba akan mati juga sebagai seorang petugas yang baik."
"Ah, kiranya ketua kalian memiliki orang-orang pandai yang amat setia. Bagus! Memang tidak semestinya aku mengambil tawananmu begitu saja. Nah, aku telah siap, mari kita menentukan tingkat kepandaian!"
Biarpun mulutnya berkata demikian, akan tetapi sikap Suma Han sama sekali bukan sikap seorang yang hendak bertanding karena dia masih berdiri seenaknya di atas kaki kanannya, ditopang tongkatnya yang dipegang di tangan kiri. Hanya sepasang matanya yang tanpa diketahui siapapun juga, sejak tadi telah melancarkan serangan hebat! Suma Han mengerti bahwa kalau semua anak buah Pulau Neraka maju menggunakan kekerasan dan dia menyambut dengan ilmu silat pula, tentu dia akan terpaksa merobohkan mereka kalau tidak terluka berat, mungkin ada yang tewas. Dia tidak menghendaki terjadinya hal ini, maka dia mengambil keputusan untuk melawan dengan ilmunya yang aneh, mengandalkan kekuatan mujijat yang tersembunyi di dalam kemauannya dan dipancarkan melalui pandang matanya.
"Singgg....!"
Sebatang pedang telah berada di tangan Si Muka Hijau. Cara mencabut pedang sampai mengeluarkan suara berdesing nyaring dan ujung pedang menggetar-getar itu saja sudah membuk-tikan bahwa Si Muka Hijau ini ternyata seorang yang memiliki kepandaian tinggi.
"Maaf, To-cu. Harap suka mengeluarkan senjata dan maafkan hamba yang kurang ajar."
Biarpun kakek itu bersikap menghormat, akan tetapi di lubuk hatinya dia tidak memandang terlalu tinggi Majikan Pulau Es ini, melihat bahwa lawannya ini ternyata hanya seorang muda yang patut menjadi cucunya, berkaki buntung sebelah dan tidak memegang senjata.
"Orang tua, apakah artinya senjata tajam dan runcing seperti pedangmu itu? Hanya dapat menggigitmu sendiri. Kau seranglah, aku telah siap!"
Kata Suma Han sambil mengerahkan kekuatan mujijatnya melalui mata.
Para tawanan yang menyaksikan ini, terutama sekali Phoa Ciok Lin, merasa tegang dan khawatir. Mereka semua telah merasai kelihaian Si Muka Hijau dan mereka semua tidak ada yang dapat menandingi Si Muka Hijau. Sekarang Suma Han menghadapinya secara itu, sama sekali tidak memasang kuda-kuda, sama sekali tidak menggunakan senjata, bahkan tongkat bututnya hanya dipegang dengan tangan kiri untuk membantu kakinya yang hanya sebuah! Adapun Si Muka Hijau itu diam-diam menjadi penasaran dan marah sekali. Biarpun bocah buntung ini datang secara aneh, menunggang garuda, dan mengaku sebagai Majikan Pulau Es, dan dikabarkan memiliki kepandaian seperti setan sehingga berjuluk Pendekar Super Sakti atau juga Pendekar Siluman, namun tidak patut menghadapinya dengan sikap merendahkan seperti itu.
"To-cu sambut pedang hamba!"
Tiba-tiba tampak sinar putih berkelebat cepat sekali ketika pedang itu meluncur ke arah leher Suma Han. Memang hebat sekali gerakan Si Muka Hijau ini, pedang meluncur dengan suara berdesing dan dari jauh sudah menyambar hawa dingin ke arah leher Suma Han. Pendekar Siluman ini hanya berdiri tegak, sedikit pun tidak bergerak atau mengelak, bahkan tidak menangkis hanya memandang dengan mata seperti mengeluarkan kilat.
"Hayaaaa....!"
Tiba-tiba Si Muka Hijau memekik dan matanya terbelalak penuh kengerian karena ia melihat betapa pedang di tangannya itu tiba-tiba berubah menjadi seekor ular! Dia memegang ular itu dan kini ular itu membalik, membuka moncongnya yang merah menggigit ke arah lehernya sendiri!
Tentu saja ia kaget setengah mati, memekik dan miringkan kepala berusaha mengelak, akan tetapi kurang cepat dan kulit lehernya sebelah kanan telah tergigit! Ia terpekik lagi kesakitan, melepaskan ekor "ular"
Dan terhuyung-huyung ke belakang memegangi lehernya dan matanya memandang "ular"
Yang jatuh ke atas lantai perahu. Bagi orang lain yang menonton, peristiwa itu lebih mengherankan lagi. Mereka tadi melihat betapa pedang itu sudah digerakkan oleh Si Muka Hijau, menusuk leher Suma Han. Mengapa sebelum ujung pedang mengenai leher orang yang sama sekali tidak mengelak itu, tiba-tiba Si Muka Hijau membalikkan pedang dan menusuk lehernya sendiri sampai terluka? Kini mereka melihat Si Muka Hijau terhuyung, melepaskan pedangnya yang terjatuh ke lantai perahu, meraba leher yang mengucurkan darah!
"Ilmu siluman....!"
Si Muka Hijau berteriak ketika kini matanya melihat bahwa "ular"