Sepasang Pedang Iblis Chapter 11

NIC

Leher burung itu karena dia sendiri tidak tahu mana arah daratan. Burung itu terbang terus, cepat sekali dan terpaksa Suma Han menyerahkan nasibnya pada burung itu, yakin bahwa betapapun juga, pasti burung itu akan mendarat. Anehnya, Kwi Hong tidak menangis lagi, bahkan tertawa-tawa dan menuding ke arah bulan sepotong yang kelihatan indah sekali sambil berkata,

"Bagus....! Bulan bagus....!"

Suma Han menjadi lega hatinya dan melepas jubah luarnya untuk diselimutkan tubuh keponakannya karena terbang di atas punggung garuda itu mereka bertumbuk dengan angin yang amat besar dan dingin. Namun, dapat dibayangkan betapa cemas hatinya karena burung itu terbang terus seolah-olah tidak akan berhenti lagi! Ia khawatir kalau kalau burung itu kehabisan tenaga dan jatuh ke bawah. Kini keadaan makin gelap. Sinar bulan sepotong tidak mampu menembus halimun yang terbentang di bawah kaki mereka. Dia tidak tahu lagi apakah di bawah mereka itu masih lautan atau daratan! Semalam suntuk burung raksasa itu terbang dan bagi Suma Han, semalam itu seperti setahun lamanya!

Kwi Hong tertidur pulas di atas pangkuannya, untung baginya karena kalau dalam keadaan seperti itu anak itu rewel menangis, dia benar benar akan kebingungan tidak tahu harus berbuat apa! Ketika matahari pagi mulai mengusir kegelapan, Suma Han mendapat kenyataan bahwa mereka terbang di atas sekumpulan pulau pulau di lautan luas! Jantungnya berdebar tegang. Pulau pulau ini! Bukankah kepulauan yang dekat dengan Pulau Es? Dan burung itu masih terus terbang ke arah utara. Hal ini da-pat ia ketahui dengan melihat munculnya matahari di sebelah kanannya. Setelah beberapa lamanya melewati sekumpulan pulau-pulau sehingga kepulauan itu lenyap jauh di belakang, burung itu menukik turun menuju ke sebuah pulau yang tampak keputihan. Hampir Suma Han bersorak. Itulah Pulau Es! Tak salah lagi. Kini mulai tampaklah bentuk bangunan di tengah pulau. Istana Pulau Es! Dan benar saja burung itu melayang turun menuju ke pulau.

Tiba-tiba burung garuda mengeluarkan pekik dahsyat, melengking panjang dan dari pulau itu terdengar pula lengking yang sama, akan tetapi lebih tinggi nadanya dan tampaklah seekor burung garuda lain, terbang ke atas menyambut kedatangan mereka! Burung garuda yang terbang menyambut ini kelihatan bingung dan kaget ketika melihat betapa di punggung temannya duduk dua orang manusia, dia mengeluarkan bunyi nyaring berkali-kali dan dijawab oleh garuda yang diduduki Suma Han dengan pekik pekik pendek seperti orang bertanya dan menjawab. Suma Han menjadi geli hatinya dan sedetik ia dapat menduga bahwa burung garuda yang menyambut itu tentulah garuda betina sedangkan yang dia tunggangi tentu yang jantan. Baik manusia maupun binatang sama saja, yang betina lebih "cerewet"!

Dua ekor burung itu melayang turun ke atas pulau, tepat di depan Istana Pulau Es. Suma Han meloncat turun sambil memondong Kwi Hong yang sudah terbangun. Begitu menginjak tanah yang dingin sekali, Kwi Hong menggigil kedinginan. Akan tetapi Suma Han begitu turun di atas pulau, tak dapat menahan lagi keharuannya dan pendekar yang sudah kosong hatinya itu kini menangis tersedu-sedu! Usianya belum ada tiga puluh tahun, baru dua puluh delapan atau dua puluh sembilan, namun kini ia sudah kembali ke Pulau Es untuk selamanya, mungkin! Bukan hal ini yang menyebabkan runtuhnya air matanya, melainkan keharuan melihat tempat di mana ia hidup berdua dengan Lulu sampai bertahun tahun, penuh kebahagiaan. Kini Lulu telah tiada di sampingnya lagi!

"Paman Han Han, kenapa menangis? Siapa yang nakal kepadamu?"

Tiba-tiba Kwi Hong menghampiri den memeluk leher Suma Hen yang duduk di atas tanah. Mendengar ini, Suma Han merangkul Kwi Hong, berusaha menghentikan tangisnya yang ia tahu amat perlu karena kalau ditahan tahan dapat menyebabkan luka di dalam tubuhnya dan menimbulkan penyakit. Terdengar suara lirih dan ketika Suma Han mengangkat muka, dia melihat betapa dua ekor burung garuda itu memandang kepadanya seperti orang turut berduka cita! Melihat ini, timbul semangat Suma Han dan dia memondong tubuh Kwi Hong sambil melompat bangun dan tersenyum!

"Kwi Hong, keponakanku, anakku, muridku! Kita sekarang tinggal di sini, di Pulau Es. Lihat, itulah Istana Pulau Es di mana dahulu aku tinggal. Istana kita! Kita hidup di sini bersama dua ekor burung yang sakti ini, sepasang Sin eng yang setia!"

"Tapi Ibu....?"

"Kelak kau akan tahu tentang Ibumu. Mari kita carikan ikan untuk hadiah Sin-eng yang telah mengantar kita ke sini!"

Suma Han berloncatan ke pantai pulau sambil menggendong Kwi Hong. Dengan kepandaiannya, mudah saja Suma Han membunuh banyak ikan besar dengan tongkatnya dan dia melontarkan ikan-ikan itu kepada burung garuda yang mengikuti mereka ke pantai. Dua ekor burung itu girang sekali dan melahap ikan ikan itu sambil mengeluarkan bunyi nyaring.

Bagi mereka, amatlah sukar mencari ikan ikan di dalam air dan mereka harus mencari makanan di pulau-pulau lain, mengintai dan menyergap binatang dengan susah payah. Kini ada orang yang memberi makan demikian banyaknya, tentu saja mereka girang sekali. Demikianlah, untuk kedua kalinya, Suma Han hidup di dalam Istana Pulau Es, kini bersama Kwi Hong yang digembleng sehingga akhirnya, bocah itu dapat bertahan melawan hawa dingin di Pulau Es yang bagi orang biasa akan amat menyiksa, bahkan dapat membunuhnya. Sepasang burung garuda menjadi jinak dan ternyata mereka ini adalah sepasang burung yang amat cerdik dan mereka merupakan binatang tunggangan yang amat berguna bagi Suma Han. Untuk mencari bahan makanan, Suma Han sering menunggang garuda jantan yang mengantarnya terbang ke pulau pulau lain di mana tumbuh buah buah dan bahan bahan makanan, juga binatang binatang hutan.

Hanya beberapa bulan sekali saja Suma Han pergi mencari bahan makanan, sekali cari cukup untuk dua tiga bulan. Bahan bahan makanan itu tidak akan mudah membusuk kalau ditaruh di Pulau Es yang dingin. Kwi Hong ternyata juga merupakan seorang anak yang cerdik dan berbakat baik. Keberaniannya luar biasa sehingga dalam usianya lima tahun saja dia sudah berani menunggang garuda betina yang menjadi teman baiknya, diterbangkan tinggi di angkasa, di antara awan-awan putih! Hanya satu hal yang menjadi ganjalan di hati Suma Han. Bagi dia sendiri, dia sudah puas hidup di pulau itu, dan dia tidak akan menyesal hidup menyendiri di situ sampai mati sekalipun. Akan tetapi Kwi Hong! Anak itu membutuhkan pergaulan dengan manusia lain!

Kalau tidak, apa akan jadinya dengan Kwi Hong? Bagaimana dengan perkembangan jiwanya dan pembentukan wataknya? Dia bukan seorang ahli didik dan di tempat seperti itu, mana mungkin ada manusia lain yang dapat dijadikan teman pergaulan Kwi Hong? Kurang lebih dua tahun kemudian setelah Suma Han tinggal di Pulau Es, pada suatu hari seperti biasa dalam dua tiga bulan sekali, ia menunggang Garuda Putih jantan untuk pergi mencari bahan makanan. Sekali ini, karena hendak melihat lihat keadaan, dia mengajak garuda itu terbang ke arah utara, kemudian berkeliling ke timur, tidak seperti biasanya menuju ke sekelompok pulau yang subur di selatan. Tiba-tiba pandang matanya melihat sebuah perahu layar besar yang berwarna hitam, hitam seluruhnya sampai layarnya pun semua berwarna hitam.

Hatinya tertarik dan ia menyuruh garuda putih melayang turun mendekati perahu layar. Dari jauh di atas ia sudah melihat pemandangan yang memanaskan hatinya. Di atas perahu itu terdapat empat puluh orang laki laki dan perempuan yang terbelenggu dan diikat pada tiang tiang besi yang sengaja didirikan di perahu, dan mereka ini sedang disiksa, dicambuki, oleh lima orang laki laki dan seorang wanita yang mukanya berwarna jambon sedangkan laki laki itu semua mukanya berwarna ungu! Di atas dek tampak beberapa orang pula bekerja, agaknya anak buah perahu, dan muka mereka ini berwarna hitam dan merah. Orang-orang Pulau Neraka! Suma Han tertarik sekali dan menyuruh garudanya makin mendekat. Semua orang yang berada di perahu kini dapat melihat garuda itu dan ributlah mereka melihat seorang manusia menunggang seekor burung garuda.

Akan tetapi Suma Han sudah melihat cukup jelas, sampai dia dapat mengenal bahwa di antara empat puluh orang laki-laki dan wanita yang ditawan itu sebagian besar adalah bekas saudara saudara seperguruannya, yaitu anak murid In kok-san (Lembah Mega) di Gunung Tai hang-san! Bahkan di antara enam belas orang wanita tawanan itu terdapat bekas sucinya, yaitu Phoa Ciok Lin yang kini telah menjadi seorang wanita cantik dan gagah berusia dua puluh tujuh tahun! Adapun para tawanan yang lain tentu bukan orang-orang sembarangan pula, dapat dilihat dari sikap mereka yang gagah dan sama sekali tidak kelihatan takut biarpun dirantai dan dicambuki! Diam diam Suma Han menjadi terkejut dan heran sekali. Dia tahu bahwa anak murid In kok san, bekas murid murid mendiang Ma bin Lo mo Siangkoan Lee yang terkenal sekali sebagai datuk golongan hitam, Memiliki kepandaian tinggi dan mereka adalah pejuang pejuang yang kemudian membalik dan memusuhi guru mereka sendiri setelah mereka tahu bahwa pembunuh orang-orang tua mereka sebenarnya adalah guru mereka sendiri (baca cerita PENDEKAR SUPER SAKTI). Bagaimana mereka yang begini banyak jumlahnya dapat tertawan oleh orang-orang Pulau Neraka itu? Biarpun ia tahu bahwa laki laki bermuka ungu dan perempuan bermuka jambon itu lihai sekali, namun kiranya tidak akan mudah menawan sekian banyaknya orang-orang yang berilmu tinggi! Betapapun juga, dia harus menolong mereka! Garuda putih menukik turun ke arah permukaan perahu dan kini mereka yang berada di bawah dapat melihat jelas laki laki berambut riap riapan putih dan berkaki buntung yang menunggang garuda itu.

"Dia.... Pendekar Siluman....!"

Seruan ini keluar dari mulut laki laki muka ungu dan wanita muka jambon yang pernah bertemu dengan Suma Han ketika mereka memperebutkan putera Bhok Khim di dalam kuil tua. Juga para murid In kok san kini mengenal Suma Han, namun mereka itu hanya memandang dengan heran dan jantung berdebar.

Benar bahwa Suma Han pernah menjadi murid In kok san, bahkan pernah diambil murid Toat-beng Ciu-san li bersama tiga orang murid In kok-san lain termasuk Phoa Ciok Lin, akan tetapi telah terjadi bentrok antara Suma Han dengan Ma bin Lo mo dan dengan Toat beng Ciu sian li. Bahkan kedua orang datuk In kok san itu tewas di tangan bekas murid ini, sedangkan kaki kiri Suma Han juga buntung oleh Toat-beng Ciu sian-li (baca cerita PENDEKAR SUPER SAKTI)! Biarpun bekas saudara seperguruan, namun sekarang tidak mungkin menganggapnya saudara seperguruan lagi tidak ada hubungannya sama sekali dan mereka pun sudah mendengar bahwa laki laki muda yang buntung ini memiliki ilmu kepandaian seperti setan! Kini burung garuda sudah melayang turun di atas dek perahu dan semua orang makin kagum mendapat kenyataan bahwa burung itu benar-benar amat besar, setinggi manusia.

"Wah, dia tidak kalah besar dengan Tiauw ong (Rajawali)!"

Terdengar seorang di antara anak buah perahu itu berseru dan diam diam Suma Han menduga bahwa tentulah burung rajawali yang dahulu pernah dikalahkan garudanya itu adalah binatang peliharaan Pulau Neraka!

"Pendekar Siluman, mau apa engkau datang ke sini? Bukankah kau dahulu bilang bahwa engkau tidak mencari permusuhan? Harap jangan mencampuri urusan kami!"

Posting Komentar