Sakit Hati Seorang Wanita Chapter 42

NIC

"Toako, apa sih yang me mbuat aku menarik di hatimu?" la me manc ing pujian yang lebih terperinci.

Pemuda itu me natap tajam wajah Cui Hong, lalu berkata dengan jujur, "Tentu saja pada permulaannya ketika engkau muncul di rumah makan, yang menar ik hatiku adalah kepribadianmu, kecantikanmu. "

Cui Hong tertawa, lirih. "Aihh, Toako, di kota raja ini gudangnya wanita cantik, di setiap tempat engkau dapat mene mukan wanita yang cantik-cantik, kenapa justru tertarik kepadaku, seorang wanita biasa saja?"

"Me mang banyak wanita cantik, Hwa- moi, akan tetapi hanya ada engkau seorang saja! Engkau bukan hanya cantik man is, akan tetapi ada sesuatu dalam sinar mata mu, dalam senyummu, gerak-gerikmu, yang menarik hatiku. Apalagi setelah aku melihat sikap mu yang tabah menghadap i bahaya, dan yang lebih dari itu lagi, ada sesuatu keanehan dalam dirimu yang me mbuat aku tertarik sekali."

"Apanya yang aneh....?" Otomatis Cui Hong me lir ik ke arah tubuhnya yang dapat dilihat, takut kalau-kalau ada sesuatu yang tidak beres sehingga ia disebut aneh oleh pemuda itu.

"Hwa- mo i, engkau seorang gadis yang begini cantik hidup sebatangkara dan yatim piatu na mun kaya-raya, dan tidak seperti gadis lain yang akan tinggal di ruma h dan hidup serba kecukupan, engkau malah merantau sendirian, kadang-kadang hidup serba sulit, me mbiar kan dirimu terjun ke dalam kehidupan yang penuh dengan bahaya yang menganca m keselamatan mu. Tidakkah ini a mat aneh?" "Toako, kita bukan kanak-kanak lagi, kita sudah cukup dewasa untuk bicara secara terbuka dan terang-terangan." Tiba-tiba Cui Hong berkata karena mendadak ia ingin me mpero leh kepastian tentang isi hati pemuda itu, karena ia sendiri merasa betapa hatinya terpikat dan merasa suka sekali kepada Tan Siong.

"Apakah hanya karena semua itu maka engkau lalu mencari-cari aku, begitu me mperhatikan aku dan me mbelaku mati- matian sehingga engkau bentrok dengan orang-orang yang amat lihai dan engkau me nderita luka, bahkan me mpertaruhkan nyawa untukku?" Sa mbil berkata demikian, sepasang mata Cui Hong seperti mencorong dan me mandang penuh selidik.

Ditanya demikian, wajah Tan Siong nampak tegang dan bingung, sebentar pucat sebentar merah. "Aku.... aku..." Dia tergagap, lalu menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya, kemudian me lanjutkan, "Aku minta maaf sebelumnya, Hwa- moi. Memang engkau benar, kita bukan kanak-kanak lagi, sudah cukup dewasa dan seyogyanya kalau kita bicara jujur dan terus terang. Aku memang tertarik sekali kepada mu, terutama melihat persamaan antara kita, sama-sama yatim piatu dan hidup sebatangkara. Terus terang saja, sejak kita bertemu perta ma kali, hatiku tertarik dan aku kemudian merasa yakin bahwa aku.... telah jatuh cinta pada mu, Hwa- mo i. Maafkan aku.... yang lancang mulut. "

Pernyataan ini demikian tegas dan jujur sehingga me mbuat Cui Hong, yang memang sudah bersiap-siap, tetap saja tertegun dan terbelalak, kemudian ia menunduk, alisnya berkerut. Kalau saja ia bukan Cui Hong yang sudah dige mbleng oleh pengalaman-penga la man mengerikan sehingga air matanya sudah sejak dahulu habis terkuras, tentu akan ada air mata bercucuran dari matanya. Namun ia hanya termenung dan me mbisu. Melihat keadaan gadis itu yang na mpa knya berduka, Tan Siong berkata lagi. "Maafkanlah aku, Hwa-moi, kalau aku menyinggung perasaanmu. Kita baru saja berkenalan dan dalam keadaan seperti ini aku berani berlancang mulut, akan tetapi aku ingin berterus terang, Hwa-moi, agar perasaan ini tidak menyiksaku. Padahal aku pun tahu bahwa sepatutnyalah kalau engkau menolak cintaku, karena aku hanya seorang pemuda yatim piatu yang miskin dan bodoh. Bisa ku hanya bermain silat dan mencangkul menggarap sawah, tidak ada harapan hidup senang di sa mping seorang sua mi seperti aku, jadi. maafkanlah aku."

"Tidak! Bukan begitu, toako, akan tetapi kalau engkau tahu.... ah, kalau engkau mengena l siapa aku "

"Aku sudah mengenalmu. Engkau seorang gadis yang cantik manis, tenang dan tabah, menentang kejahatan dan mengenal budi "

"Tidak, engkau tidak mengenal siapa aku sebenarnya!" Tiba-tiba Cui Hong bangkit berdiri dan menya mbar buntalan pakaiannya karena pada saat itu terdengar langkah kaki orang. Seorang jembel tua berdiri di a mbang pintu dan berkata lirih,

"Ssttt, ada dua orang mencari-cari orang she Tan. Apakah engkau she Tan?"

Mendengar ini, Tan Siong cepat meniup lilin itu padam dan dia mendengar suara kaki Cui Hong lari ke belakang. "Hwa- mo i, engkau bersembunyilah." kata nya dan dia sendiri pun lalu menyambar pedang yang tadi ditaruh di sudut, juga menya mbar buntalan pakaiannya dan dia meloncat ke depan, me lewati je mbel tua yang menjadi bingung dan ketakutan.

Benar seperti yang dikhawatirkan Tan Siong, ketika dia tiba di depan kuil tua, di bawah penerangan la mpu gantung tua yang dipasang oleh para jembel yang kini menyelinap pergi cerai-berai ketakutan, berdiri dua orang yang bukan lain adalah Cia Kok Han dan Su Lok Bu, dua orang jagoan dari Bu- tong-pai dan Siauw-lim pai itu! Karena bahunya mas ih terluka dan karena maklum betapa lihainya dua orang ini, pula karena dia tidak me mpunyai per musuhan pribadi dengan mereka, ingin Tan Siong melarikan diri saja di dalam gelap. Akan tetapi dia teringat akan gadis yang bersembunyi di belakang kuil. Siapa akan me lindunginya kalau ia me larikan diri. Maka, dengan sikap hormat, sambil menalikan buntalan pakaian di punggungnya, dia bertanya.

"Kiranya Ji-wi Lo-enghiong (Dua Orang Tua Gagah) yang datang berkunjung ke tempat yang buruk ini. Apakah memang kini para murid perkumpulan-perkumpulan besar suka mendesak orang yang sudah terluka dan yang tidak me mpunyai per musuhan pribadi sedikit pun dengan mereka?"

"Orang muda she Tan, hendaknya engkau tidak menduga buruk secara sembarangan saja. Engkau adalah murid Kun- lun-pai dan kami dua orang murid-murid Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai tidak me mpunyai permusuhan apa-apa denganmu. Kalau siang tadi kita bertemu sebagai lawan hanyalah karena kedudukan dan keadaan kita yang me maksa. Akan tetapi kedatangan kami yang mencarimu ini adalah karena kami me mbawa tugas yang diberikan maj ikan kami, yaitu Pui-kong-cu. Dia me ndengar tentang kegagahanmu, maka mengutus kami untuk mencar imu dan mengajakmu menghadap Pui- kongcu karena dia ingin sekali me mperguna kan tenagamu untuk me mbantunya." kata Cia Kok Han yang pendek gendut, tokoh Bu-tong-pai itu.

Tentu saja Tan Siong merasa heran karena sekali mendengar ucapan itu. "Aku tidak mengenal siapa itu Pui- kongcu, dan aku pun tidak berniat bekerja sebagai tukang pukul orang kaya atau bangsawan."

Mendengar ucapan yang nadanya menyindir itu, Su Lok Bu berkata, "Tan Siong, tidak perlu engkau menyindir dan mengejek kami! Kami adalah bekas perwira terhormat dan kini kami bekerja dengan halal, menjadi kepala pengawal, bukan tukang pukul! Pui-kongcu sedang terancam bahaya oleh musuhnya yang amat kejam dan lihai, maka ingin mengumpulkan orang-orang yang pandai untuk me mbantunya menghadap i musuh itu. Engkau akan diangkat menjadi rekan kami dan menerima imbalan upah yang besar."

Tan Siong mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Maaf, akan tetapi aku tidak berniat untuk bekerja pada waktu ini, karena aku me mpunyai tugas sendiri yang penting. Harap ji-wi maafkan dan sa mpaikan kepada Pui-kongcu bahwa aku tidak dapat menerima pena-warannya."

"Bocah she Tan!" Tiba-tiba Cia Kok Han berseru marah. "Engkau sungguh besar kepala dan sombong. Engkau bersikap seolah-olah tidak me mpunyai kesalahan. Engkau telah melukai beberapa orang pengawal dan untuk itu saja engkau sudah sepatutnya ditangkap dan ditahan. Akan tetapi Pui-kongcu me maafkan kesalahanmu, bahkan menawarkan kedudukan baik dan ingin bersahabat denganmu. Namun, engkau meno laknya dengan angkuh. Kalau begitu, terpaksa kami harus menang kapmu dan menyeretmu ke depan Pui-kongcu, biar dia sendiri yang menga mbil keputusan atas dirimu!"

"Lebih baik engkau dengan suka rela ikut bersama kami agar kami tidak perlu me mperguna kan kekerasan." kata pula Su Lok Bu. Dua orang jagoan itu sudah mengeluarkan senjata masing-masing. Cia Kok Han men cabut golok besarnya, sedangkan Su Lok Bu mengeluarkan siang-kia mnya (sepasang pedang).

Tan Siong tersenyum mengejek. "Hemm, bagaimanapun alasan ji-wi, tetap saja ji-wi adalah orang-orang yang suka me ma ksakan kehendak dan menganda lkan kekuatan dan kekerasan. Dan aku mempe lajari ilmu justeru untuk menentang penindasan dan kelaliman. Aku tetap meno lak!" Berkata demikian, Tan Siong menggerakkan tangan kanannya dan sudah melolos pedang tipis yang dipergunakan sebagai sabuk dengan sarung kulit yang kuat.

"Bagus, engkau me mang murid Kun-lun-pai yang besar kepala!" kata Cia Kok Han yang sudah me nyerang dengan goloknya. Su Lok Bu juga menggerakkan sepasang pedangnya dan dua orang itu sudah mengurung Tan Siong dengan serangan-serangan dahsyat. Pemuda ini terpaksa me mutar pedangnya dan mengerahkan seluruh tenaganya, walapun dia harus menahan rasa nyeri bahu kirinya ketika tubuhnya dipakai untuk bersilat Berkali-kali terdengar suara berdencing nyaring ketika pedangnya menang kis i tiga buah senjata lawan yang amat kuat itu, dan sebentar saja Tan Siong yang sudah terluka itu terdesak hebat.

Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan hitam dan begitu tiba di situ, bayangan hita m ini menggerakkan sebatang ranting di tangannya untuk terjun ke dalam perkelahian itu dan segera menyerang Su Lok Bu dengan gerakan-gerakan aneh. Begitu ranting meluncur, senjata sederhana ini sudah menyelinap di antara dua gulungan sinar pedang Su Lok Bu dan meluncur, menotok ke arah jalan darah di pundak kanan.

"Eh....!," Su Lok Bu terkejut bukan main karena nyaris pundaknya tertotok kalau saja dia tidak meloncat jauh ke belakang. Ketika dia dan Cia Kok Han me mandang, ternyata yang menyerang itu adalah seorang yang berpakaian serba hitam, dan mukanya juga ditutup kedok hitam dengan dua buah lubang untuk sepasang mata yang jeli dan tajam sinarnya, dan nampak pula dagunya di ma na terdapat sebuah bintik, yaitu sebuah tahi lalat hitam! Melihat tahi la lat di dagu itu dan melihat bentuk tubuh yang mudah diduga dimiliki seorang wanita, Cia Kok Han dan Su Lok Bu terkejut bukan ma in. Mereka belum pernah berte mu dengan musuh besar Pui-kongcu, wanita iblis yang kabarnya sedang berusaha untuk me mbunuh Pui-kongcu dan Koo Cai Sun, akan tetapi dari kedua orang itu yang mengingat-ingat wajah wanita yang menjad i musuh mereka, yang teringat oleh mereka hanyalah bahwa wanita itu me miliki tanda tahi lalat hitam di dagunya. Dan wanita berkedok ini pun me mi-liki tahi lalat di dagunya.

Maka tanpa banyak cakap lagi Su Lok Bu dan Cia Kok Han menerjang wanita berkedok itu yang hanya memegang sebatang ranting kayu sederhana. Melihat ini, tentu saja Tan Siong cepat menggerakkan pedangnya menyambut Cia Kok Han. Dia pun merasa heran me lihat munculnya wanita berkedok dan berpakaian hitam ini, akan tetapi yang jelas wanita ini tadi telah menolongnya, me mbantunya menghadapi dua orang pengeroyoknya yang lihai, maka kini melihat betapa dua orang pengeroyok itu berbalik me nyerang si wanita berkedok, yang hanya bersenjata sebatang ranting, tentu saja dia pun cepat me mbantunya dan me mutar pedangnya.

Kini perkelahian terjadi lebih ra ma i dan seru lagi, di bawah penerangan lampu gantung yang remang-re mang, Tan Siong me mutar pedangnya yang- tipis melawan C ia Kok Han yang me megang golok besar dan berat sedangkan wanita berkedok itu melawan Su Lok Bu yang me megang sepasang pedang dengan meng gunakan sebatang ranting kecil saja. Dan setelah kini me lawan Cia Kok Han seorang, biarpun pundak di sekitar pangkal lengan kiri masih terasa nyeri, Tan Siong dapat meng imbangi permainan lawan. Untung bahwa senjatanya adalah sebatang pedang yang tipis dan r ingan, maka dia dapat bergerak lebih cepat daripada lawannya. Dia tidak pernah mau menang kis karena senjata lawan amat berat, namun dengan kecepatan gerak pedangnya, dia me mbuat Cia Kok Han menjad i repot juga.

Yang lebih hebat adalah wanita itu. Biarpun senjatanya hanya sebatang ranting kecil, namun ternyata gerakan rantingnya itu ma mpu me mbuat Su Lok Bu menjad i mati langkah! Sepasang pedangnya bahkan hanya sibuk menang kis saja karena ranting itu bergerak secara aneh dan cepat, juga berbahaya karena ujungnya selalu me luncur ke arah jalan darah yang berbahaya.

Lewat lima puluh jurus, Su Lok Bu me ngeluarkan seruan kaget dan dia pun me loncat jauh ke belakang. Bajunya robek dan hampir saja pedang kirinya terlepas dari genggaman karena tiba-tiba tangan kirinya menjad i setengah lumpuh terkena totokan pada pundak kir inya. Mendengar temannya berseru mengeluh dan meloncat ke belakang, Cia Kok Han yang juga terdesak hebat itu melompat pula ke belakang. Mereka ma klum bahwa tanpa bantuan, mereka tidak akan ma mpu menang, maka tanpa dikomando lagi, keduanya lalu me larikan diri untuk menga mbil balabantuan.

Posting Komentar