Sakit Hati Seorang Wanita Chapter 38

NIC

Bukan ma in besar dan girangnya rasa hati Cai Sun disebut in-kong oleh gadis itu. Bagus, pikirnya, setelah gadis itu mengakuinya sebagai tuan penolong, tentu tidak akan sukar menariknya.

"Engkau masih ingat kepadaku, Nona?" pancingnya.

Dengan sikap ma lu-malu karena ditegur seorang laki- laki di tempat umum, gadis itu menjawab lir ih. "Tentu saja, semenjak mendapat pertolongan darimu, aku tidak pernah dapat me lupakan penolongku."

Hampir berjingkrak laki-laki itu saking girangnya. "Benarkah itu? Kalau begitu, bolehkah aku berkenalan dengan mu dan singgah ke rumah mu, Nona?"

Dengan sikap masih tersipu gadis itu pun menjawab, "Tentu saja boleh, in-kong dan aku akan merasa terhormat sekali."

Cai Sun hampir bersorak penuh kemenangan. Tak disangkanya akan begini mudahnya me mperoleh seorang calon pacar baru. Demikian muda, cantik jelita, dan agaknya semua ini berkat ketampanan dan kegagahannya, di samping kepandaiannya meray u dengan rayuan mautnya. Bangga akan diri sendiri, lubang hidung Cai Sun mere kah dan kembang- kempis. "Kalau beg itu, mar i kuantar engkau pulang, Nona. Ataukah engkau masih ada keperluan lain?"

"Aku me mang hendak pulang, In-kong. Sudah lelah berjalan-jalan sejak pagi pulang. Di mana kah rumah mu?"

"Di ujung kota sebelah sana, In-kong."

Mereka berjalan bersa ma dan dengan hati girang bukan ma in berkali-kali Cai Sun melirik ke arah gadis itu yang berjalan sa mbil menundukkan mukanya dan tak pernah me mbuka mulut. Seorang gadis yang luar biasa manisnya, pikir Cai Sun, dan tentu mudah didapatkannya karena gadis yang me makai bedak agak tebal "tu tentu bukan wanita yang suka jual mahal! Akan tetapi dia teringat akan keluarga gadis itu, dan timbul kekhawatirannya bagaimana kalau keluarga gadis itu berkeberatan dia menggau li gadis ini?

"Nona, selain engkau, siapa lagi yang tinggal di rumah mu?" Wanita itu menggeleng kepala. "Tidak ada orang lain,

hanya aku dan seorang pelayanku, In-kong.” "Orang tuamu. ?"

"Mereka tinggal di dusun di luar kota raja. "

"Engkau seorang gadis t inggal seorang diri saja?"

“”ua miku sudah men inggal beberapa bulan yang lalu. "

Cai Sun hampir bersorak. Seorang janda! janda muda yang beberapa bulan menjanda. Janda kembang! Bukan main girang rasa hatinya. Dia lebih senang seorang janda daripada seorang gadis. Seorang janda mempunyai banyak pengalaman dan jauh lebih pandai me nyenangkan hati pria daripada seorang gadis yang masih bodoh!

Tanpa disadarinya, Cai Sun mengikuti wanita itu sa mpai di ujung kota, bagian yang cukup sepi dan agak jauh dari tetangga, tidak seperti di tengah kota yang rumahnya berhimpitan Namun, Cai Sun yang sudah tergila-gila ini lupa akan keadaan dirinya, menjad i lengah dan lupa lagi akan ancaman terhadap dirinya selama ini. Yang dibayangkannya hanyalah janda kembang yang cantik molek itu sebentar lagi tentu akan menjadi miliknya, me masrahkan diri dengan suka rela kepadanya yang menjad i tuan penolongnya!

"Di sana itulah rumahku, In-kong, yang bercat hijau. Sebaiknya In-kong menunggu dulu. Tidak baik kalau kita masu k bersama, aku.... aku merasa malu. sebagai seorang

janda.... ah, tentu In-kong mengerti. Biar aku pulang dulu baru nanti In- kong datang bertamu. Dengan demikian, kalau pun ada yang melihatnya, tentu disangka bahwa In-kong masih ada hubungan keluarga denganku. Akan tetapi sebaiknya jangan sampai ada orang lain me lihatnya, In- kong..." Ucapan itu disertai senyum dikulum dan kerling tajam menya mbar. Kata-kata dan sikap itu saja sudah merupakan janji yang amat mesra bagi Cai Sun. Kalau wanita ini hendak merahasiakan perte muan mereka, berarti wanita itu memang "ada maksud" dan tentu saja dia mengangguk-angguk dengan muka merah dan berkali- kali menelan ludah. Dipandangnya lenggang yang mengga irahkan itu, dan nafsu-nya semakin me muncak.

Setelah wanita itu lenyap ke dalam rumah cat hijau, dengan tergesa-gesa Cai Sun setengah berlari menuju ke sana dan dengan girang dia melihat bahwa tempat itu sunyi dan tidak seorang pun melihatnya. Dan pintu depan itu tidak terkunci karena ketika daunnya ditolakkan, segera terbuka. Dia masu k dan men utupkan kembali daun p intu depan itu. Ia me lihat wanita tadi telah berdiri di ruangan tengah, me mandang kepadanya dengan senyum simpul. Cai Sun sengaja mengunci daun pintu itu, me masangkan palang pintunya dan ternyata janda muda itu hanya tersenyum saja. Ingin Cai Sun lar i dan menubruknya, karena semua sikap itu jelas menandakan bahwa dia telah me mperoleh "lampu hijau". Berbeda dengan dandanan wanita itu yang agak mewah, dengan pakaian yang indah dan mahal dan perhiasan di tubuhnya, keadaan di dalam rumah itu sendiri agak gundul. Hanya nampa k meja kursi di ruangan tengah.

"In-kong, silakan duduk. Kita dapat bercakap-cakap di sini. Pelayanku sedang keluar kusuruh me mbeli arak karena arakku telah habis."

"Ah, tidak perlu repot-repot. Oh ya, pintunya terlanjur kupalang, bagaimana nanti pelayanmu dapat masuk?" katanya setengah berkelakar.

"Ia menga mbil jalan pintu belakang, In-kong."

Cai Sun lalu duduk, berhadapan dengan wanita itu, terhalang sebuah meja bundar yang kecil. Ingin Cai Sun menendang pergi meja itu dan langsung me me luk janda kembang yang duduk dengan manisnya di depannya. Bau semerbak harum telah tercium olehnya, bau harum yang sejak di jalan tadi sudah mengganggu hatinya. Akan tetapi, dia belum mengenal siapa janda muda ini, ma ka dia menahan hatinya untuk bersabar. Perlu apa tergesa-gesa kalau domba sudah tergiring masuk kandang?

"Nona, ataukah aku harus me manggil Nyonya? Akan tetapi kurasa lebih baik kupanggil Adik saja, bagaimana? "

"Terserah kepada mu, In-kong."

"Aih, jangan menyebut In-kong, membikin hubungan kita menjad i kaku dan canggung saja. Moi- mo i, aku berna ma Koo Cai Sun, dan pekerjaanku adalah pedagang senjata-senjata pusaka yang maha l. Aku me mpunyai sebuah toko di pusat kerama ian kota. Nah, kau sebut saja aku Koko (Kakanda). Siapakah na ma mu dan ceritakan keadaanmu agar perkenalan antara kita menjadi se ma kin. akrab dan mesra."

Wanita itu menundukkan mukanya yang menjadi merah dan ia tersipu malu. "Na maku Ok Cin Hwa dan seperti sudah kuceritakan tadi, orang tuaku tinggal di dusun dan suamiku telah meningga l dunia e mpat bulan yang lalu."

Tiba-tiba daun pintu depan digedor orang. Cai Sun terkejut, juga wanita itu. Seperti para pembaca tentu sudah dapat menduga, wanita itu yang mengaku bernama Ok Cin Hwa sesungguhnya adalah Kim Cui Hong yang menyamar! Sudah berhari-hari ia me mbayangi Cai Sun yang suka berjalan-jalan seorang diri keluar dari gedung keluarga Pui dan kese mpatan itu dipergunakannya untuk me mancing musuh besar itu. Tentu saja ia dapat menyerang roboh musuhnya di tengah jalan, akan tetapi hal ini ia tidak mau me lakukannya. Ia ingin me mba las denda mnya sepuas hatinya, dan hal itu baru dapat tercapai kalau ia dapat berhadapan berdua saja dengan musuhnya. Dengan kecantikannya, ia berhasil me mikat hati Cai Sun yang mata keranjang dan kini sudah bersiap-siap untuk me lakukan balas denda mnya. Maka ketika daun pintu digedor orang dengan kerasnya, Cui Hong terkejut bukan ma in.

"Pelayanmukah itu?" Tanya Cai Sun, mengerutkan alisnya.

Cui Hong mengge leng kepalanya, "la tidak berani menggedor seperti itu, akan tetapi masuk melalui pintu belakang."

Tiba-tiba wajah Cai Sun menjad i pucat. Baru dia teringat akan ancaman musuh besarnya. Jangan-jangan yang datang itu adalah musuhnya yang melihat dia berada di dalam rumah sunyi ini! Dia meraba gagang sepasang to mbak pendeknya dan berkata kepada Cui Hong, "Hwa-mo i, kau tanya dulu siapa yang menggedor pintu itu sebelum me mbukanya. " katanya dan suaranya terdengar agak gemetar. Batu sekarang dia sadar bahwa dia telah terlalu jauh meninggalkan gedung keluarga Pui, bahwa dia telah terlalu lengah.

Dengan sikap takut-takut Cui Hong men gha mpir i pintu, sementara itu Cai Sun sudah mencabut sepasang senjata tombak pendeknya. Ke mbali terdengar pintu digedor dari luar. "Siapa itu yang menggedor pintu?" teriak Cui Hong dengan nyaring.

Suasana hening dan menegangkan, terutama bagi Cai Sun yang menanti terdengarnya jawaban dari luar, siap dengan senjata di tangan. Kemudian terdengarlah suara laki-la ki menjawab dari luar, "Buka pintu, kami datang mencari Saudara Koo Cai Suni Tadi dia masuk ke dalam rumah ini. Buka atau.... akan kami jebol pintu ini! "

Mendengar suara itu, Cai Sun tertawa. Legalah hatinya ketika mengenal suara Su Lok Bu, seorang di antara dua jagoan yang diangkat menjadi kepala pengawal oleh Pui Ki Cong. Lenyaplah rasa khawatirnya.

"Ha-ha-ha, kiranya engkau, Su-toako!" teriaknya dan dia pun me mandang Cui Hong dengan penuh gairah. "Dia sahabatku sendiri, Hwa- mo i, jangan takut. Bukalah pintunya."

Tentu saja Cui Hong diam-dia m merasa mendongko l sekali. Musuh besar yang amat dibencinya ini telah berada di dalam genggaman tangannya, tinggal melaksanakan balas dendamnya saja dan kini datang gangguan yang merupakan pertolongan bagi Cai Sun. Tentu saja mudah baginya untuk meroboh kan Cai Sun dan melarikannya dari situ, akan tetapi tempatnya telah diketahui orang dan kalau dilakukannya hal itu, berarti ia membuka rahasia sendiri. Padahal masih ada Pui Ki Cong yang harus dibalasnya pula. Tidak, ia harus me lakukan pe mbalasan tanpa diketahui orang. Setelah semua musuhnya dibalas, ia tidak perduli lagi apakah ia dikenal orang ataukah tidak. Maka, sambil menyembunyikan kekecewaannya, ia lalu me mbuka daun pintu.

Di depan pintu berdiri seorang laki- laki bertubuh tinggi besar bermuka hita m penuh brewok yang me megang sepasang pedang. Laki-laki itu bukan lain adalah Su Lok Bu, jagoan yang menjadi pelindung keluarga Pui, dan di belakangnya nampak setengah losin perajurit pengawal yang bersenjata lengkap. "Su-toako, ada urusan apakah engkau menyusulku?" Cai Sun bertanya.

Sejenak Su Lok Bu me mandang kepada Cui Hong penuh perhatian, lalu bertanya, "Koo-siauwte, siapakah wanita Ini?"

Posting Komentar