"Toako, perlu apa banyak bicara dengan cacing tanah ini? Hajar saja dia agar dia tahu rasa dan tahu diri! ” kata seorang teman Si Muka Bopeng yang hidungnya pesek.
"Ya, mar i kita pukul dia setengah mati!" teriak yang la in. Melihat sikap mereka, pemuda yang bernama Tan Siong itu kelihatan penasaran, akan tetapi sedikit pun tidak nampak rasa takut me mbayang di wajahnya. "Kiranya kalian adalah orang-orang yang suka melakukan kejahatan. Aku tidak takut karena aku percaya bahwa di kota raja ini tentu berlaku hukum yang melindungi orang-orang yang tidak bersalah."
"Heh-heh-heh, siapa yang akan melindungimu? Aku akan menghajar mu, siapa yang akan melarang? Di sini tidak ada hukum, hukumnya berada di dalam gengga man tanganku."
"Hemm, siapa bilang di sini tidak ada hukum?" Tiba-tiba terdengar suara keras dari ambang pintu muncullah tiga orang. Orang- terdepan adalah seorang laki-laki berusia e mpat puluh tahun lebih, berperut gendut, mukanya putih bersih berbentuk bulat, wajahnya nampak ge mbira dan ramah, pakaiannya indah-indah dan di pinggangnya tergantung sepasang tombak pendek bercagak. Di belakangnya masuk dua orang laki-laki berusia lima puluhan tahun, yang seorang pendek putih gendut, yang ke dua tinggi besar hitam. Hanya tiga orang ini saja yang me masuki restoran, mas ih ada dua belas orang perajurit yang menanti di luar rumah ma kan itu.
Cui Hong yang tadi lebih dulu melihat tiga orang ini. Melihat orang pertama, diam-dia m ia terkejut. Orang itu bukan lain adalah Koo Cai Sun! Dan dua orang kakek di belakangnya adalah Cia Kok Han dan Su Lok Bu, dua orang jagoan yang kini menjadi kepala pengawal di rumah gedung keluarga Pui Seperti biasa, setiap kali me lihat wanita cantik, sepasang mata Cai Sun mulai ma in dengan lirikan genit dan senyum penuh gaya. Dan dia pun langsung saja me mperlihatkan kekuasaan dan pengaruhnya juga hendak mema mer kan "kebaikannya" kepada wanita cantik yang begitu dilihatnya me mbuat hatinya terguncang keras karena kagum itu.
Sementara itu, empat orang jagoan yang ternyata hanyalah jagoan-jagoan kecil yang banyak berkeliaran di kota-kota besar begitu melihat masu knya Koo Cai Sun, menjadi terkejut dan seketika sikap mereka berubah. Bagi mere ka Koo Cai Sun adalah seorang jagoan yang lebih besar, baik kedudukannya maupun kekuatannya.
"Aihh, kiranya Koo-enghiong yang datang!" kata Si Muka Bor-ng. "Maafkan, kami sedang menegur seorang pemuda tani yang tidak tahu diri, berani hendak menentang kami berempat."
Koo Cai Sun melirik ke arah Cui Hong dan kemudian mengang kat muka me mandang pe muda berpakaian kuning itu. "Siapakah kamu dan apa yang telah terjadi di sini?" tanyanya, sikapnya demikian angkuh seolah-olah ia berpangkat hakim yang berwenang untuk me meriksa seseorang!
Pemuda itu menjura dengan sikap hor mat, mengira bahwa penanya itu tentulah seorang pembesar. "Saya bernama Tan Siong, ketika saya sedang makan di sini, saya melihat empat orang saudara ini mengganggu Nona di sana itu. Saya lalu menegur untuk menasehati mereka, akan tetapi mere ka malah marah dan hendak me mukul saya, bahkan me mbalikkan meja saya."
Koo Cai Sun kemba li melirik ke arah Cui Hong dan dia lalu bertolak pinggang me nghadapi Si Muka Bopeng. "Hem, bagus sekali perbuatan kalian, ya? Berani mengganggu seorang gadis di tempat umum! Apa kalian kira di sini tidak ada hukum? Sela ma aku di sini, kalian tidak boleh berbuat sewenang-wenang. Hayo cepat kalian minta maaf kepada Nona itu!"
Si Muka Bopeng dan teman-te mannya saling pandang dengan bingung. Mereka cukup mengenai Cai Sun, seorang yang paling suka kepada perempuan cantik dan sering pula me mperguna kan kepandaian dan uangnya untuk me ma ksa perempuan cantik yang dikehendakinya. Akan tetapi kini bersikap sebagai seorang satria yang hendak melindungi seorang perempuan. Akan tetapi Si Muka Bopeng itu agaknya mengerti. Tentu Cai Sun hendak mencari muka kepada gadis cantik itu, pikirnya! Dia dan kawan-kawannya tidak berani me mbantah. Keempatnya lalu mengha mpir i Cui Hong, menjura dan Si Muka Bopeng berkata, “Harap Nona suka me maafkan kelancangan kami tadi."
Akan tetapi Cui Hong hanya mengangguk dan ia pun sudah me mba likkan tubuhnya dan melangkah pergi dari rumah makan itu. Hati sendiri terlalu tegang berhadapan dengan Cai Sun, seorang di antara musuh-musuh besarnya, bahkan merupakan orang ke dua sesudah Pui Ki Cong, yang paling hebat menghinanya tujuh tahun yang lalu. Maka, ia tidak mau menge luarkan suara, takut kalau-kalau suaranya akan terdengar gemetar saking menahan kemarahan dan kebenciannya.
"Kalian harus meng ganti semua kerusakan di sini." kata Cai Sun dengan suara keras, dengan maksud agar terdengar oleh Cui Hong yang meninggalkan tempat itu.
Pemuda berpakaian kuning itu la lu menjura kepada Cai Sun dan berkata, "Terima kasih atas kebijaksanaan Tuan." Cai Sun hanya mengangguk. Memang tidak ada sedikit pun juga maksudnya untuk meno long atau me mbe la pe muda tani itu. Andaikata di situ tadi tidak ada gadis cantik itu, agaknya ia pun tidak akan peduli apakah pemuda tani ini akan dihajar setengah mati ataukah dibunuh sekali pun! Pemuda itu pun cepat meninggalkan rumah makan setelah me mbayar harga makanan.
Cai Sun me mang datang ke rumah makan itu untuk menja mu Cia Kok Han dan Su Lok Bu, dua orang rekan barunya yang dianggap cukup kuat untuk me mbantunya menghadap i Kim Cui Hong. Dia sudah me mbuktikan sendiri betapa hebatnya kepandaian dua orang ini, tingkat mereka bahkan lebih tinggi daripada tingkatnya. Dengan adanya kedua jago ini, dia sama sekali tidak takut akan ancaman gadis puteri Kim- kauwsu itu. Kalau saja di situ tidak ada dua orang kakek jagoan ini, tentu dia me mbayangi gadis cantik tadi untuk dirayunya karena dia sudah tergila-gila kepada gadis yang cantik man is tadi. Akan tetapi setidaknya dia telah berdaya dan gadis itu tentu berterima kasih kepadanya, pikirnya. Tentu sudah ada kesan baik dalam hati gadis itu mengenai dirinya, dan kalau lain kali dapat bertemu kembali, hemm, tidak akan sukar me nundukkannya!
"Nona, mari ikut bersama ku, cepat!"
Cui Hong meno leh dan melihat bahwa pemuda berpakaian kuning tadi telah berjalan dengan cepat mengejarnya dan me mber i isyarat kepadanya untuk mengikutinya. Tentu saja ia merasa heran, bahkan ada perasaan kecewa menyelubungi hatinya. Apakah pemuda ini, yang tadi sempat menarik perhatiannya dan membangkitkan rasa kagumnya, pada kenyataannya hanyalah seorang laki-laki biasa saja, seperti yang lain-la innya dan yang selalu menyembunyikan pa mrih di balik semua sikap dan perbuatannya terhadap seorang wanita? Seorang pe muda yang me mpergunakan kehalusan sikapnya untuk me mikat seorang gadis, dan kini, setelah merasa bahwa dia tadi melindungi dan me mbelanya, pemuda itu lalu me mperlihatkan watak yang sesungguhnya dan mengajaknya ikut ke rumahnya untuk minta imbalan jasa? Akan tetapi, pandang mata pe muda itu de mikian serius, sedikit pun tidak na mpak ma ksud kurang ajar. Dan karena me mang ingin sekali tahu dan mengenal pe muda ini lebih menda lam untuk mengetahui apakah benar pemuda ini seorang laki- laki yang patut dikagumi. 'Cui Hong tidak banyak berpikir lagi dan segera mengangguk dan mengikuti pe muda itu.
"Cepat, ke sini....!" Berkali-kali pe muda itu berseru dan nampak tergesa-gesa mengajak Cui Hong keluar masuk lorong sempit di antara rumah-ru mah di dalam kota raja itu. Akhirnya, dengan mengambil jalan melalui lorong-lorong sempit, mereka tiba di ujung selatan kota raja dan pemuda itu mengajaknya untuk me masu ki sebuah kuil tua yang nampaknya sudah tidak terpakai lagi. Di depan kuil itu na mpak beberapa orang gelandangan berteduh. Mereka adalah para tuna wis ma yang me mpergunakan kuil tua itu sebagai te mpat berteduh mereka. Agaknya pemuda itu sudah biasa me masu ki kuil tua itu sehingga para pengemis itu t idak ada yang me mperhatikannya, walaupun ada beberapa orang yagg meno leh dan me mandang heran melihat betapa pemuda itu datang bersama gadis demikian cantiknya. Cui Hong merasa semakin heran dan hatinya tambah tertarik. Dengan hati yang agak tenang dan menduga-duga, ia pun terus mengikuti pemuda itu masuk kuil rusak yang sudah tua itu dan akhirnya pemuda yang menga ku berna ma Tan Siong itu berhenti di ruangan belakang yang biarpun sudah rusak dan tidak terawat, namun lantainya sudah dibersihkan. Di situ tidak terdapat lain orang kecuali mereka berdua.
"Nah, di sini kita a man sudah." kata Tan Siong sa mbil menarik napas panjang, wajahnya yang tadi serius nampak lega. Kembali timbul kecurigaan di dalam hati Cui Hong. Benarkah kekhawatirannya tadi bahwa pemuda ini ber maksud kurang ajar terhadap dirinya?
"Apakah artinya semua ini? Apa maksudmu mengajak aku pergi ke sini dengan tergesa-gesa seperti menyembunyikan diri?" Cui Hong bertanya sambil menatap tajam. Pe muda itu balas me mandang dan kembali, seperti terjadi di dalam rumah makan tadi pada saat mereka berte mu pandang untuk pertama kali, dua pasang mata itu berte mu pandang, bertaut dan sampai la ma mereka saling pandang, seolah-olah dua pasang mata itu saling menjajagi dan sinarnya saling melekat, sukar dipisahkan lagi. Akhirnya pe muda itu yang menundukkan sinar matanya karena dia harus menjelaskan tindakannya yang agaknya menimbulkan keheranan dan kecurigaan wanita itu.
"Maafkan aku, Nona, tadinya aku tidak sempat menje laskan, dan terima kasih bahwa engkau begitu percaya kepadaku dan me menuhi permintaanku tanpa ragu-ragu."
Lega rasa hati Cui Hong. Bukan begini sikap seorang pria yang hendak berbuat kurang ajar, pikirnya, la tersenyum dan kembali pe muda itu terpesona. Biarpun usianya sudah tiga puluh tahun, na mun sela ma hidupnya, rasanya baru sekali ini dia me lihat senyuman yang demikian man is, demikian menyentuh perasaannya.
"Tidak ada maaf dan tidak perlu berterima kasih. Yang penting jelaskan apa maksudnya engkau mengajak aku bersembunyi di sini."
"Nona, sungguh aku merasa kagum dan heran sekali me lihat betapa dalam keadaan terancam bahaya tadi, Nona bersikap de mikian tenangnya, bahkan sampai sekarang engkau seperti tidak merasa bahwa dirimu terancam bahaya. Empat orang tadi, apakah engkau kira akan mau sudah begitu saja, Nona? Mereka tentu akan mencari dan mengejar mu, dan karena itulah, sebelum mere ka keluar dari ru mah makan, aku cepat mengejar mu dan mengajakmu pergi berse mbunyi, dan di te mpat ini mere ka tentu tidak akan mene mukan mu."
Hampir Cui Hong tertawa geli. Pe muda ini terlalu khawatir, padahal pe muda ini sendiri tadi demikian tabah menghadapi empat orang itu walaupun dia t idak pandai ilmu silat sedikit pun. Kenapa pe muda ini tidak meng khawatirkan diri sendiri, sebaliknya a mat meng khawatirkan dirinya?
"Tapi, bukankah tadi muncul orang yang mereka takuti?" "Aih, Nona, apakah Nona tidak dapat menduga? Orang
gendut tadi jelas me miliki kedudukan atau kekuasaan yang
lebih t inggi daripada e mpat orang itu, dan dengan adanya orang tadi, Si Muka Bopeng tidak berani mengganggumu. Akan tetapi, jelas bahwa di antara mereka ada hubungan, buktinya Si Muka Bopeng de mikian men ghormat, dan aku me lihat bahwa Si Gendut yang baru datang tadi lebih jahat" dan berbahaya lagi bagi dirimu."
"Ehhh...?" Cui Hong benar terkejut. Pemuda ini me mang dapat menduga dengan amat cepatnya! Tentu saja Koo Cai Sun jauh lebih berbahaya daripada empat orang bajingan kecil tadi. "Bagaimana kau bisa tahu bahwa orang yang baru datang tadi lebih jahat dan berbahaya? Apakah engkau mengenalnya?"
Tan Siong menggeleng kepalanya. "Aku tidak mengenalnya, Nona, akan tetapi siapapun dapat melihat bahwa dia me mpunyai niat buruk di dalam benaknya tehadap dirimu, ketika dia melirik ke arahmu, Nona. Dan melihat senjata di pinggangnya itu.... hemm, aku sungguh khawatir terhadap keselamatan mu, maka aku segera menyusul dan mengajakmu dan lari bersembunyi ke sini." Ketika menyadari bahwa sejak tadi mere ka hanya bercakap-cakap sambil berdiri saja, Tan Siong lalu cepat me mpersilakan Cui Hong duduk.
"Silakan duduk, Nona. Akan tetapi maaf, tidak ada tempat duduk yang layak di sini. Lantainya sudah kubersihkan dan kita hanya dapat duduk di atas lantai."
Cui Hong men gangguk dan melihat pe muda itu duduk, ia pun duduk bersimpuh di atas lantai dan memandang ke kanan kiri. "Te mpat ini adalah sebuah kuil tua yang tidak dipakai lagi. Mengapa engkau tinggal di te mpat ini? Bukankah engkau tadi mengatakan bahwa engkau seorang petani dari luar kota?"
Tan Siong menarik napas panjang. "Benar, Nona. Namaku Tan Siong dan pekerjaanku sela ma ini hanya bertani dan
bertahun-tahun aku tinggal di pegunungan yang sunyi. Aku datang ke kota raja ini karena hendak mencari seorang Pamanku. Karena belum berhasil, untuk menghe mat biaya