“Wah, itu terbalik namanya, Mimi! Akulah kupu-kupu atau kumbangnya, dan merekalah kembang-kembangnya, ha-ha-ha!” Pemuda itu tertawa dan dia kini menghadapi Shu Ta. Suaranya ramah bersahabat ketika dia bicara kepada Shu Ta.
“Sobat, agar menenangkan dan meyakinkan hati adikku yang manja ini, maukah engkau mengaku sejujurnya, kenapa engkau memandangi kami seperti itu? Seperti orang terpesona dan terheran-heran?”
Sejak tadi Shu Ta telah mampu menguasai perasaannya. Dia melihat betapa kakak beradik ini bicara dalam bahasa pribumi yang amat fasih sehingga mudah diduga bahwa mereka memang sehari-hari mempergunakan bahasa pribumi, bukan bahasa Mongol. Juga mereka saling menyebut koko dan moi-moi seperti kebiasaan orang pribumi, Sebuah kenyataan menambah kekaguman dan keheranannya, yaitu betapa kedua orang muda bangsawan ini berwatak jujur, terus terang dan suka pula bergurau.
“Terus terang saja, aku memang terpesona dan terheran-heran, akan tetapi bukan karena keindahan wajah kalian, walaupun kalian tampan dan cantik seperti dewa dan dewi.”jawab Shu Ta yang memang pandai bicara sambil tersenyum, siap untuk menyerang keturunan penjajah ini secara halus.
“Ehh? Kalau begitu, apa yang kauherankan?” Gadis itu bertanya, ingin tahu sekali, “Jangan- jangan benar ada sesuatu yang aneh pada diriku! Apakah ada coreng moreng pada mukaku? Apakah ada pakaianku yang terbalik memakkainya, atau jangan-jangan tumbuh tanduk benar- benar di kepalaku!” Ia meraba-raba kepalanya yang tertutup topi bulu yang indah. Kakaknya tertawa mendengar kelakar adiknya dan Shu Ta juga tersenyum. Bagaimana mungkin dia dapat menyinggung perasaan hati seorang gadis yang begini polos dan lucu? Tapi ia seorang gadis Mongol, bantah pikirannya sendiri.
“Yang membuat aku heran adalah keadaan dan sikap kalian. Kalau kalian ini kakak beradik dari dusun, orang-orang miskin yang tidak mempunyai sepeserpun uang di saku, yang mempunyai kaki dengan sepatu butut yang melakukan perjalanan, dengan pakaian butut, yang setiapsaat disiksa rasa lapar dan haus tanpa mampu membeli makanan dan minuman, maka aku tentu tidak akan merasa heran melihat kalian minta air minum padaku dan duduk di sini bersamaku. Akan tetapi kalian adalah dua orang bangsawan muda yang kaya-raya, berlebih- lebihan dan berlimpahan, dua ekor kuda kalian saja akan mampu memberi makan kepada orang sedusun yang kelaparan kalau dijual. Dan kalian minta air minum padaku dan duduk di atas batu. Ini aneh sekali!”
Kakak beradik itu saling pandang dan tersenyum, akan tetapi senyum mereka senyum pahit. Pemuda itu menarik napas panjang. “Aihh, sejak kami masih kecil, betapa seringnya kami mendengar keluhan dan protes, walaupun belum pernah ada yang bicara sedemikian terang- terangan dan tanpa takut seperti engkau, sobat! Kami kakak beradik sejak mulai dapat berpikir, telah melihat keadaan rakyat jelata yang dilanda kemiskinan, akan tetapi apa yang dilakukan oleh dua orang kakak beradik seperti kami? Eh, kalau boleh kami mengetahui, engkau ini siapakah? Jelas bukan pemuda dusun. Cara bicaramu teratur dan berisi. Apakah engkau seorang pendekar?”
Shu Ta menunduk, sikapnya acuh dan menggeleng kepala tanpa menjawab. Kembali kakak beradik itu saling pandang, kemudian si adik yang bicara, “Sobat, kami tidak ingin memaksakan kehendak untuk berkenalan. Akan tetapi, engkau boleh tahu bahwa namaku Bouw Mi, biasa dipanggil Mimi, dan ini kakakku bernama Bouw Ku Cin dan kami berdua adalah putera dan puteri Menteri Bayan yang tinggal di kota raja Peking. Kami sedang melakukan perjalanan tamasya dengan tujuan terakhir kota Nan-king. Nah, kami sudah memperkenalkan diri. Apakah engkau masih terlalu tinggi untuk berkenalan dengan kami, dua orang muda bangsa Mongol yang merasa bahwa kami sama sekali bukan orang?”
Melihat Shu Ta masih bersikap acuh, walaupun di dalam hatinya Shu Ta terkejut setengah mati mendengar bahwa mereka ini putera Bayan, menteri yang amat berpengaruh dan besar kekuasaannya karena menjadi tangan kanan Kaisar Togan Timur, pemuda Mongol yang bernama Bouw Ku Cin itu menyambung kata-kata adiknya.
“Sobat, engkau sungguh tidak adil. Engkau menggambarkan kami berdua seolah-olah kami ini bukan manusia dan tidak sama dengan engkau atau dengan rakyat jelata. Pada hal, apa sih bedanya? Yang berbeda kan hanya pakaian kita saja. Coba engkau yang mengenakan pakaian ini dan aku mengenakan pakaianmu, apa bedanya? Takkan ada yang tahu bahwa engkau adalah engkau dan aku adalah aku, kalau kita bertukar pakaian.” Shu Ta tertegun. Wah, pemuda ini bukan seorang pemuda bangsawan kaya raya yang berkepala kosong! Juga gadis itu bicaranya sungguh lain, sedikitpun tidak mengandung sikap angkuh, bahkan begitu rendah hati untuk lebih dahulu memperkenalkan diri padanya. Pada hal, dilihat dari pakaiannya, mereka tentu mengira dia seorang pemuda dusun biasa! Sejak kecil Shu Ta tinggal di kuil dan selain ilmu silat, diapun dididik sastra dan tatasusila oleh para hwesio, maka melihat sikap kakak beradik itu, diappun merasa tidak enak. Maka, diapun bangkit dan memberi hormat kepada kakak beradik itu yang agaknya terkejut dan cepat merekapun membalas penghormatan itu dengan sikap yang sama, mengangkat kedua tangan depan dada.
“Harap kalian memaafkan sikapku tadi. Sudah terlalu banyak aku mendapatkan gambaran para bangsawan yang hanya mementingkan diri sendiri, tidak memperdulikan nasib rakyat jelata, hidup bermewah-mewahan di atas tubuh rakyat jelata yang sekarat, dan biasanya berwatak sombong dan memandang rendah rakyat miskin. Aku tadinya tidak mengira bahwa kalian adalah dua orang muda yang terpelajar dan sopan, rendah hati dan tidak menghina rakyat kecil. Nah, namaku Shu Ta dan aku seorang yatim piatu yang hidup sebatang kara di dunia ini, melihat banyak ketimpangan hidup dan ketidak adilan. Kalian memang memiliki sikap yang baik, otak yang cerdas, tidak sombong, namun sayang, kalian tergolong bangsawan tinggi yang kaya raya, keluarga penindas dan penjajah yang menyengsarakan rakyat.” Dengan berani Shu Ta menentang pandang mata mereka. Dia berdiri dan siap menanti kemarahan kakak beradik itu.
Akan tetapi, kakak beradik itu tidak menjadi marah, hanya mereka saling pandang dan muka mereka berubah agak kemerahan. Gadis itu sudah menjatuhkan diri duduk kembali ke atas batu, dan Bouw Ku Cin yang biasa dipanggil Bouw Kongcu (Tuan Muda Bouw) itu menghela napas, dan diapun duduk kembali.
“Memang apa yang kaukatakan semua itu ada benarnya, saudara Shu Ta. Akan tetapi, urusan penjajahan itu apa sangkut-pautnya dengan kami berdua? Mengapa bangsa Mongol, bangsa nenek moyang kam i, telah menyerbu Cina dan menundukkannya, kemudia menjajahnya.
Akan tetapi hal itu telah terjadi hampir tujuh tahun yang lalu dan kami sama sekali tidak tahu akan isi hati mendiang Temucin, pemimpin besar bangsa Mongol yang kemudian menjadi Jenghis Khan. Kami baru dilahirkan kurang lebih dua puluh tahun yang lalu dan ketika kami terlahir, keadaan sudah begini, penjajahan sudah berlaku selama puluhan tahun. Kami tidak ikut melakukan penyerbuan, tidak ikut menjajah dan ahh. , aku tidak tahu lagi apa yang
harus aku katakan. Hanya ini, kawan. Kalau ada nenek moyang kita melakukan kesalahan, apakah kita juga diharuskan mempertanggung jawabkan perbuatannya?”
Shu Ta kembali tertegun dan diapun duduk kembali di atas batu, termenung memikirkan kata- kata itu. “Akan tetapi, kalian menikmati hasil penjajahan! Kalian hidup bermewah-mewahan sedangkan rakyat jelata hidup kelaparan. Apakah kalian tidak merasa malu, hidup senang di atas mayat rakyat jelata?”
Kini gadis itu mengerutkan alisnya dan pandang matanya mencorong menatap wajah Shu Ta. “Saudara Shu, jangan engkau sembarangan saja bicara, seenaknya saja menuduh kami! Kami dilahirkan dalam keluarga ayah kami dan sejak kami lahir, ayah kami sudah menjadi menteri. Dengan sendirinya kami hidup di istana ayah dan menikmati semua yang ada. Salahkah itu? Apakah kami, anak-anak ayah, harus meninggalkan keluarga ini dan hidup menderita kemiskinan bersama rakyat? Begitukah kehendakmu?” Kembali Shu Ta tertegun dan tidak mampu menjawab.
“Saudara Shu Ta, kami mengerti benar perasaanmu. Kami tidak menyalahkanmu kalau engkau membenci pemerintah karena pemerintah adalah pemerintah penjajah. Memang orang-orang Monglo menjajah rakyat pribumi Cina. Dan percayalah, semenjak kami mampu berpikir, kami berdua sudah tidak setuju dengan keadaan ini. Buktinya, sampai sekarang aku tidak pernah memegang jabatan apapun, selalu menolak desakan ayah. Dan kami bergaul dengan rakyat, kami tidak menghina, tidak menindas, tidak memusuhi rakyat. Bahkan di manapun, kapanpun, kami selalu siap membantu rakyat dengan segala kemampuan kami.
Jangan dikira bahwa seluruh bangsa Mongol merupakan orang-orang yang suka menindas dan menjajah. Yang menjajah itu adalah pemerintahannya, kerajaannya, bukan rakyat Mongol. Hal ini patut kauketahui, sobat! Nah, sekarang, maukah engkau bersahabat dengan kami?” Pemuda bangsawan itu mengulurkan tangan, mengajak bersalaman. Akan tetapi Shu Ta pura-pura tidak melihat tangan itu.
“Maafkan aku. Kalau aku bersahabat dengan putera puteri Menteri Mongol, tentu semua orang akan memandang rendah kepadaku dan menganggap aku pengkhianat bangsa!”
Mimi marah sekali mendengar ucapan itu dan menolak pemuda dusun itu menolak uluran tangan kakaknya. Sungguh merupakan suatu penghinaan besar! Ingin ia mendamprat, akan tetapi kakaknya berkedip kepadanya dan dengan suara sungguh-sungguh akan tetapi mulutnya tetap tersenyum dia berkata.
“Saudara Shu Ta, apakah kaukira kalau engkau sudah memusuhi semua orang Mongol lalu engkau menjadi pahlawan? Apa manfaatnya kalau engkau hanya membenci dan memusuhi semua orang Mongol, apa manfaatnya bagi rakyat yang menderita? Apakah kalau engkau memperlihatkan sikap bermusuhan dengan kami, bahkan andaikata engkau membunuh kami, hal itu dapat mengenyangkan perut rakyat yang lapar? Sobat, memusuhi dan membenci orang-orang Mongol, bukan satu-satunya cara untuk membela rakyat jelata.
Lihat kami ini. Kami dimaki sebagai keturunan Mongol, dibenci oleh orang-orang yang berpikiran sempit sepertimu, akan tetapi kami dapat lebih bermanfaat bagi mereka. Sudah banyak rakyat yang kubantu, baik sandang maupun pangan, banyak yang kami selatkan dari ancaman para penjahat! Dan kau. apa yang telah kaulakukan untuk rakyat? Hanya membenci
dan menghina orang Mongol. Itu saja?”
“Koko, mari kita pergi. Dia orang yang sombong dan dungu, tidak perlu banyak bicara, takkan dia mengerti!” kata gadis itu dan mereka berdua lalu melompat ke atas punggung kuda mereka. Cara mereka melompat ke punggung kuda, mengejutkan hati Shu Ta. Terutama gadis itu. Bagaimana mungkin seorang gadis bangsawan dapat melompat ke atas kuda yang tinggi itu dengan gerakan demikian ringannya? Tidak keliru lagi dugaannya, mereka itu tentulah dua orang muda yang pandai ilmu silat!
Shu Ta mengikuti mereka yang menjalankan kuda perlahan-lahan menuju ke selatan dengan pandang matanya. Beberapa kali dia menghela napas panjang. Ucapan pemuda itu tadi seperti telah menamparnya dan dia merasa malu kepada diri sendiri. Kalau dipikir-pikir, dia sendiri tidak tahu apa yang telah dia lakukan untuk rakyat semenjak dia meninggalkan kuil. Memang di dusun Cang-cin dia telah melakukan sesuatu untuk penduduk dusun itu, akan tetapi dia hanya membantu Cu Goan Ciang! Dia sendiri memang belum melakukan sesuatu yang bermanfaat, kecuali memperlihatkan kebenciannya kepada penjajah Mongol, kalau perasaan kebencian itu dapat dianggap sesuatu yang bermanfaat bagi rakyat. Dia bangkit berdiri, menyambar buntalannya dan berjalan di jalan raya itu, ke selatan pula karena dia bermaksud pergi ke kota Nan-king.
Belum lama dia berjalan, dia melihat suara gaduh di depan dan nampak debu mengebul. Dia segera lari ke depan dan segera melihat belasan orang mengeroyok kakak beradik Mongol tadi! Setelah dekat, Shu Ta berdiri bengong, tidak tahu harus berbuat apa. Sebetulnya, dia merasa heran kepada diri sendiri. Seharusnya dia mengeroyok pula dua orang Mongol itu, membantu belasan orang yang jelas merupakan orang-orang pribumi. Kenapa dia termangu dan meragu? Bukankah belasan orang itu adalah orang-orang pribumi, rakyat tertindas dan dua orang itu adalah bangsawan Mongol, sang penindas? Entah kenapa, dia diam saja dan memandang kagum. Tak salah dugaannya. Kakak beradik itu pandai silat, bukan hanya pandai bahkan lihai sekali! Mereka berdua sudah turun dari kuda mereka dan dengan pedang di tangan, mereka membela diri dan pengeroyokan enam belas orang yang memegang golok atau pedang, akan tetapi para pengeroyok itu sedikitpun tidak mampu mendesak kakak beradik itu! Gerakan pedang kedua orang Mongol itu cepat, kuat dan juga indah, dan Shu Ta dapat melihat bahkan gerakan pedang mereka mempunyai dasar gerakan pedang mereka untuk balas menyerang, dan Shu Ta maklum bahwa kalau mereka berdua membalas dengan pedang, tentu sudah ada pengeroyok yang roboh dan terluka parah atau tewas. Agaknya dua orang itu tidak mau melakukan pembunuhan!
“Keroyok terus!” teriak seorang yang bertubuh tinggi kurus.
“Bunuh penjajah itu!” teriak orang ke dua yang tinggi besar. Mereka berdua agaknya merupakan pimpinan karena kini mereka setelah mengeluarkan seruan itu, cepat meloncat dan menghampiri dua ekor kuda tunggangan kakak beradik itu, lalu melompat ke atas punggung dua ekor kuda yang besar, tinggi, dan kuat itu.
“Jangan kau bawa kudaku!” teriak Bouw Mimi.
“Pencuri kuda berkedok pejuang!” bentak pula Bouw Kongcu atau Bouw Ku Cin dan kedua kakak beradik ini telah meloncat dan mengejar dua ekor kuda yang akan dilarikan kedua orang pimpinan kelompok itu. Gerakan kakak beradik itu ternyata ringan dan cepat sekali. Mereka seperti dua ekor burung terbang saja dan sudah berada di atas punggung dua orang yang menunggang kuda. Sebelum dua orang itu dapat membela diri, kakak beradik itu telah menggerakkan tangan kiri mereka ke arah tengkuk dan dua orang perampas kuda itupun terpelanting roboh. Kakak beradik itu segera menangkap kembali kuda dan menenangkan kuda mereka. Ketika belasan orang itu melihat betapa dua orang pemimpin mereka dirobohkan, dan merekapun tadi sudah melihat betapa tangguhnya dua orang bangsawan Mongol itu, mereka lalu melarikan diri cerai berai, tidak memperdulikan lagi dua orang pemimpin mereka yang masih belum dapat bangun.
Sambil menuntun kuda mereka, kakak beradik itu menghampiri dua orang korban mereka. Kini, si tinggi besar dan si tinggi kurasa sudah dapat merangkak bangkit duduk. Melihat semua anak buahnya melarikan diri dan dua orang muda Mongol itu sudah berada di dekat mereka, keduanya menjadi ketakutan dan menggigil. Mereka tahu bahwa orang yang berani melawan orang Mongol dan tertangkap tentu akan dihukum siksa sampai mati. Saking takutnya, mereka lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bouw Ku Cin dan Mimi. “Ampun...ampunkan kami, kongcu.....siocia.....ampunkan kami ” mereka berdua meratap