Rajawali Lembah Huai Chapter 45

NIC

Tidak ada yang menyatakan keberatan lagi setelah mereka mengerti apa yang dimaksudkan Yen Yen. Mereka semua tidak merasa asing kalau kini Yen Yen mewakili kakeknya, karena biasanya ia memang seringkali mewakili kakeknya dalam banyak hal, hanya biasanya belum diresmikan oleh ketua Hwa I Kaipang.

Pek Mau Lokai menyatakan pertemuan itu selesai karena semua laporan telah diterima sebelum Siauw Cu datang ke tempat itu, dan semua orang bubaran, meninggalkan tempat itu yang menjadi sepi. Tinggal Pek Mau Lokai, Yen Yen dan Siauw Cu bertiga saja.

“Nah, sekarang akupun akan pergi. Yen Yen mulai sekarang tanggung jawabmu besar. Berhati-hatilah dan cepat engkau cari aku kalau menemui kesulitan. Jangan memusuhi Hek I Kaipang secara terbuka. Mereka berbahaya. Sebaiknya, setelah kini ada Siauw Cu yang membantumu, segala hal kaurundingkan dengan dia. Engkau tahu ke mana harus mencariku, bukan?”

“Baik, kek. Aku tahu dan jangan khawatir, aku akan selalu berhati-hati seperti yang selalu kakek ajarkan.”

“Sukurlah, dan engkau masih kurang matang dalam ilmu Hok-mo tung-hoat (Silat Tongkat Penakluk Iblis) itu. Engkau dapat mematangkannya dengan berlatih melawan Siauw Cu. Nah, selamat tinggal. Siauw Cu, bantulah Yen Yen. Sampai jumpa.”

Siauw Cu cepat mengangkat kedua tangan ke depan memberi hormat dan teringat akan pesan Yen Yen tadi, dia mengembangkan tangan kiri yang terkepal itu sebentar, lalu mengepalnya kembali. Pek Mau Lokai tertawa. “Ha-ha-ha, bagus, bagus! Tanda sebagai isarat antar anggota itu bagus sekali.” Sambil masih tertawa gembira kakek itu pergi dengan gerakan yang cepat sehingga sebentar saja dia sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Tinggal Yen Yen dan Siauw Cu yang masih berdiri berhadapan. Satu-satunya penerangan di situ hanya dua buah lilin besar yang berada di dinding gua.

“Heran, mengapa kita harus begini tergesa-gesa, malam-malan meninggalkan tempat ini? Apa lagi kakekmu yang sudah tua, kasihan dia pergi malam-malam ”

“Begini, Cu-sicu. ”

“Ahh, setelah kita menjadi rekan, perlukah engkau menyebut aku sicu (orang gagah) lagi, nona?”

“Hemm, dan engkau juga menyebutku nona!”

Siauw Cu menyadari kesalahannya. “Aku lebih tua darimu, sebaiknya kusebut engkau Yen- moi (adik Yen).”

“Dan engkau kupanggil Cu-toako (kakak Cu). Nah, begini, toako, menurut laporan penyelidik kita, mungkin sekali malam ini mereka akan menyerbu tempat ini. Berbahaya sekali kalau kita tidak pergi sekarang!”

“Mereka? Kaumaksudkan. ”

“Siapa lagi kalau bukan orang-orang Hek I Kaipang jahanam itu! Dan mereka tentu membawa majikan mereka, pasukan Mongol. Penyelidik kita sore tadi melihat bayangan orang berkelebat di bawah, mencurigakan sekali. Maka, kami lalu mengambil keputusan untuk cepat pergi agar jangan terkepung. Nah, mari kita pergi sekarang sebelum terlambat. Kita dapat bicara dalam perjalanan nanti.” Gadis itu memasuki gua dan mengambil sebuah buntalan pakaian. Kiranya dara ini sudah siap.

Setelah meniup padam dua batang lilin, Yen Yen melangkah keluar dan Cu Goan Ciang mengikutinya. Gadis itu lebih hafal jalan di situ. Malam hanya diterangi bintang-bintang saja, kalau tidak hafal benar jalan di daerah itu, orang dapat saja tersesat atau bahkan tergelincir ke dalam jurang.

Baru setengah jam mereka menuruni lereng bukit yang berbatu-batu dan mempunyai banyak gua itu, tiba-tiba mereka mendengar suara gaduh dari depan. Yen Yen dan Siauw Cu dapat menyelinap dan bersembunyi di balik semak belukar, mengintai keluar! Nampak sinar obor dan bermunculan puluhan orang dari bawah, orang-orang yang memegang obor dan senjata tajam, jelas di bawah sinar api itu nampak orang-orang berpakaian perajurit dan mereka berpakaian tambal-tambalan serba hitam. Tentara kerajaan Mongol dan orang-orang Hek I Kaipang! Tiba-tiba Yen Yen mencengkeram lengan kiri Cu Goan Ciang. Pemuda ini terkejut dan menoleh. Dia melihat gadis itu tidak memandang kepadanya, melainkan ke depan agak kana. Dia mengikuti pandang mata itu dan alisnya berkerut. Jelas nampak seorang yang pakaiannya kembang-kembang! Anggota pengemis baju kembang! Dan agaknya Yen Yen mengenal orang itu. Sepasang mata gadis itu mencorong mengeluarkan sinar dan mulutnya terkatup tanda bahwa ia menahan kemarahan. Kemudian, tiba-tiba tangan kiri gadis ituu bergerak ketika si baju kembang lewat dalam jarak terdekat dari tempat persembunyian mereka. Terdengar pekik, lalu gaduh, dan Yen Yen sudah menarik tangannya, diajak menyusup pergi meninggalkan tempat itu. Mereka terus berlari menyusup-nyusup, makin jauh meninggalkan lereng bukit dan suara gaduh itu semakin tak terdengar, juga sinar obor itu di tangan banyak orang itu makin tak nampak.

Mereka berlari terus dan menjelang pagi, Yen Yen baru mengajak Siauw Cu berhenti di dalam sebuah gubuk di tepi sungai kecil. Tempat itu sunyi sekali dan agaknya gubuk ini memang merupakan tempat yang sudah amat dikenalnya. Gubuk itu nampak reyot dan tua, namun ketika mereka berdua masuk, ternyata rangkanya terbuat dari kayu yang kuat. Jelas ini sengaja dibuat oleh orang-orang Hwa I Kaipang untuk tempat istirahat atau sembunyi atau bermalam kalau perlu. Dalamnya kosong, akan tetapi di lantai terdapat banyak jerami yang bersih.

“Semalam kita tidak tidur. Kita harus tidur dulu melepas lelah dan mengumpulkan tenaga,” kata Yen Yen.

Cu Goan Ciang memandang aneh. “Ti....tiduar...?” tanyanya sambil memandang ke arah tumpukan jerami.

Gadis itu tertawa, tawanya bebas mengingatkan Goan Ciang kepada kakek Pek Mau Lokai, akan tetapi wajah gadis itu kemerahan, hal yang diketahui oleh pemilik wajah itu sendiri karena terasa mukanya panas dan jantungnya berdebar.

“Hushhh, maksudku, tidak tidur bergantian. Aku tidur dulu engkau berjaga di luar, nanti setelah aku terbangun, engkau mendapat giliran tidur dan aku yang berjaga di luar. Nah, keluarlah, aku mau tidur.” Setelah berkata demikian, gadis itu lalu menjatuhkan diri, rebah miring di atas tumpukan jerami! Goan Ciang melangkah keluar.

“Yen-moi dari sini kita akan ke mana !” dari luar dia bertanya.

“Bukan waktunya bicara. Aku mau tidur, perlu beristirahat. Besok setelah kita memulihkan tenaga kita bicara sepuasnya!” kata Yen Yen dan iapun tidak mengeluarkan kata-kata lagi. Diam-diam Goan Ciang tersenyum. Gadis ini luar biasa, pikirnya dan diapun teringat kepada Lee Siang. Teringat akan gadis kekasihnya itu, wajahnya menjadi muram dan alisnya berkerut. Akan tetapi, dia mengepal tinju. Tidak! Aku tidak boleh menjadi laki-laki cengeng! Aku harus mengalahkan semua kelemahan i ni, pikirnya. Dia bercita-cita besar, apa akan jadinya dengan cita-citanya kalau urusan kematian kekasih saja membuat dia terkulai lemas? Dan apa gunanya disusahkan? Dia harus berani menghadapi kenyataan. Lee Siang sudah me ninggal dunia dan agaknya itulah yang terbaik bagi Lee Siang. Kalau ia masih hiduppun, aib dan penghinaan itu akan menghantui kehidupan selanjutnya, akan selalu merasa hina, rendah, kotor. Dia mengenal watak Lee Siang yang gagah dan keras. Banyak persamaan Yen Yen dengan Lee Siang. Hanya bedanya, Yen Yen benar-benar keras seperti baja, sedangkan Lee Siang masih memiliki kelemahan, yaitu amat setia dan penurut terhadap sucinya pada hal sucinya adalah seorang wanita yang amat kejam dan jahat. Lega hatinya kalau mengingat betapa dia telah membuntungi sebelah lengan Liu Bi. Setidaknya dia sudah dapat sedikit membalas kematian Lee Siang. Akan tetapi, tidak perlu berpikir tentang urusan pribadi, demikian dia mencela diri sendiri. Dia teringat akan percakapannya dengan Pek-mou Lo-kai. Memang, kalau dia benar-benar hendak berjuang, dia harus mengesampingkan semua urusan pribadi, mementingkan urusan perjuangan. Dan dia akan berjuang sekuat tenaga, demi demi

apa? Mulutnya tentu akan mudah mengatakan demi tanah air dan bangsa, membebaskan mereka dari cengkeraman penjajah! Akan tetapi ada bisikan di hatinya yang sesungguhnya amat dibencinya. Bisikan liirih itu berkata bahwa dia berjuang demi mencapai puncak kekuasaan! Dia akan menunjukkan kepada dunia bahwa dia, anak dusun yang yatim piatu dan miskin, gelandangan yang tidak mempunyai rumah, dia dapat menjadi orang yang paling hebat di dunia ini, paling berkuasa! Dia berpegang kepada cita-cita ini, melekat dengan cita- cita ini sehingga dia dengan mudah dapat melupakan Lee Siang dan yang lain-lain. Biarlah Lee Siang mati sebagai pupuk bagi tercapainya cita-cita! Dan diapun duduk bersila di luar gubug itu, tidak berani tidur sama sekali, melainkan waspada menjaga kalau-kalau ada ancaman bahaya bagi mereka, yaitu dia dan Yen Yen.

Matahari mulai memuntahkan cahanya, menggugah ayam-ayam jantan dan burung-burung yang berkeruyuk dan berkicau dengan gembira menyambut datangnya fajar. Sudah kurang lebih dua jam Yen Yen tidur dan mendengar keruyuk ayam jago, dara yang peka inipun terbangun. Ia bangkit duduk, menggeliat, menguap, lalu meraih buntalan pakaian yang tadi ia pergunakan sebagai bantal, lalu bangkit berdiri dan melangkah keluar.

Mendengar langkah lembut itu, Goan Ciang menoleh dan melihat Yen Yen yang rambutnya masih awut-awutan, namun kebetulan ia berdiri menghadap ke timur sehingga cahaya kemerahan jatuh ke mukanya, membuat ia nampak cantik jelita seperti dewi pagi, Goan Ciang memandang terpesona. Akan tetapi, cepat dia dapat menekan perasaannya dan bangkit berdiri.

“Kau sudah bangun?”

Yen Yen mengangguk, sebetulnya masih merasa sayang meninggalkan jerami empuk dan hangat itu, akan tetapi ia berkata, “Sekarang giliranmu tidur, aku berjaga di luar.”

“Tapi aku. ”

“Sudahlah, cepat tidur, pulihkan tenagamu, mungkin kita memerlukannya nanti.”

Goan Ciang tersenyum mendengar nada memerintah dalam ucapan itu dan seperti seekor anak domba penurut, diapun memasuki gubuk, diikuti pandang mata gadis itu yang tersenyum.

Ketika tiga jam kemudian gadis itu menggugahnya dengan panggilan dari luar, Goan Ciang terbangun.

“Cu-toako, bangun! Sudah siang, engkau sudah cukup tidur! Kita harus melanjutkan perjalanan kita!” Agaknya sudah berkali-kali gadis itu memanggilnya sehingga dalam suara itu terkandung nada jengkel.

“Baik, aku sudah terbangun!” kata Goan Ciang, menggeliat dengan enaknya mengurisr semua rasa lelah dan pegal-pegal pada sendi-sendi tulangnya. Dia menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan, lalu merapikan rambutnya dengan kedua tangan, bangkit berdiri dan melangkah keluar.

Begitu tiba di luar, dia terkejut bukan main. Tidak nampak Yen Yen di situ, melainkan seorang pemuda remaja yang pakaiannya seperti pemuda petani desa, pakaian butut dan muka serta tangannya tidak bersih, kepalanya tertutup caping petani butut pula.

“Heiii! Siapa engkau dan di mana nona yang tadi duduk di sini?” bentak Cu Goan Ciang, siap untuk menyerang karena dalam keadaan seperti itu, kecurigaan telah mencengkeram hatinya.

Pemuda remaja yang seperti petani lugu itu nampak ketakutan, membungkuk-bungkuk dan berkata suara gemetar, “Jangan marah, tuan. ”

“Cepat katakan siapa engkau dan di mana nona tadi, atau. akan kuhajar engkau! Cepat

jawab!!” Melihat orang itu ketakutan, kecurigaan hati Goan Ciang menjadi-jadi sehingga dia menggertaknya agar cepat mengaku karena dia khawatir telah terjadi sesuatu dengan Yen Yen.

Pemuda itu menjadi semakin takut mendengar ancaman Goan Ciang. Dia menjatuhkan diri berlutut. “Ampun, kongcu, ampun tai-hiap....harap jangan pukul saya....ampun. ”

“Tolol, cepat jawab, pertanyaanku tadi!” Goan Ciang membentak dengan marah. “Nona...nona tadi telah pergi dan meninggalkan pesan untuk saya katakan kepadamu. ”

“Hayo katakan, apa pesan itu!” bentak pula Goan Ciang tak sabar lagi.

“Pesan nona adalah bahwa matahari telah naik tinggi akan tetapi kalau tidak dibangunkan, taihiap belum bangun itu tandanya taihiap malas, dan taihiap tidak mengenalnya, itu tandanya taihiap bodoh!”

“Hah. ??” Goan Ciang marah sekali dan maju hendak memukul, akan tetapi dengan gerakan

kilat, pemuda dusun itu sudah menyerangnya lebih dahulu dengan sebatang tongkat!”

Posting Komentar