“Ehh? Apa maksud paman bertiga?” tanya Siauw Cu heran mengapa tiga orang itu memberi selamat kepadanya. Pada hal, kemenangan dalam ujian silat itu lama sekali tidak perlu diberi selamat, apa lagi melihat akibatnya membuat gadis itu merasa jengkel dan marah.
Pek Mau Lokai yang menjawab, “Siauw Cu, engkau tidak tahu bahwa senjata tongkat bagi kami merupakan senjata andalan, juga merupakan tanda bahwa kami adalah anggota kaipang yang setia. Tongkat merupakan kawan dan senjata yang setia bagi kami dan tidak akan kami tinggalkan, apa lagi kami serahkan kepada orang lain. Kalau kami menyerahkan tongkat itu, berarti taluk, sama dengan menyerahkan hati, nyawa, dan badan. Dan kini cucuku yang selama ini menolak semua lamaran orang, menganggap tidak ada pria yang patut menjadi jodohnya, hari ini ia menyerahkan tongkatnya kepadamu! Ha-ha-ha, hal itu hanya mempunya satu arti, bahwa ia taluk kepadamu, dan ia menyerahkan hatinya kepadamu.” Dia tertawa, diikuti empat orang ketua cabang.
Mendengar ini, Cu Goan Ciang terkejut bukan main. “Ah, nona Tang menyerahkan tongkat karena tidak mampu merampasnya kembali dariku dan aku merasa menyesal sekali telah membuat ia marah. Bukan....bukan maksudku untuk. ”
“Siauw Cu, mari kita bicara di dalam.” Mereka masuk kembali ke dalam gua basar dan duduk di lantai bertilamkan tikar tebal. “Kuharap engkau jangan menyangka salah. Kami semua orang mengetahui bahwa dengan penyerahan tongkat tadi, Yen Yen telah menyatakan taluk padamu, dan ia kagum padamu, dan ia bahkan tentu akan merasa berbahagia sekali kalau dapat menjadi jodohmu. Akan tetapi, sama sekali bukan berarti bahwa ia akan memaksamu untuk menjadi jodohnya. Kami semua percaya akan cinta kasih kedua pihak dalam perjodohan. Jadi, kalau engkau tidak membalas perasaan hatinya, hal itupun tidak akan mendatangkan penyesalan apapun dan kami hanya akan menganggap bahwa kalian tidak berjodoh.”
“Akan tetapi, kalau boleh saya mengemukakan pendapat saya, Cu-sicu. Bukanlah sikap yang bijaksana kalau ada seorang pemuda menolak cinta seorang gadis seperti Yen Yen. Ia cantik jelita, berbudi mulia, patriot sejati, berwatak pendekar, cerdik, dan memiliki ilmu silat tinggi. Para pemuda yang pernah mengenalnya, dari golongan kecil sampai golongan yang paling besar, semua kagum dan mengharapkan uluran kasihnya, namun semuanya ditolaknya. Dan kalau sekarang ia memilihmu, sicu, sungguh luar biasa sekali. Kalau engkau tidak menyambutnya ” kata Kauw Bok yang pendek gendut.
Tentu saja Siauw Cu merasa tidak enak sekali terhadap Pek Mau Lokai. Dia menarik napas panjang dan teringatlah dia akan wajah Kim Lee Siang. Dia tahu bahwa dia mencinta Lee Siang, dan baru saja dia ditinggal Lee Siang yang mati secara amat menyedihkan. Bagaimana dalam waktu beberapa hari saja, dia dapat melupakan Lee Siang dan menyambut uluran cinta seorang gadis lain?
“Tadi aku mendengar bahwa Pangcu dan semua anggota Hwa I Kaipang percaya bahwa cinta kasih kedua pihak dalam perjodohan. Kepercayaan ini sama dengan kepercayaanku.
Perjodohan memang harus diadakan dengan dasar cinta kasih kedua pihak. Akan tetapi, bagaimana mungkin aku berani mengatakan bahwa aku mencinta nona Tang yang baru saja kutemui sekarang? Aku akan bersikap palsu kalau aku mengaku cinta padanya sekarang, karena di dalam hatiku, sama sekali belum ada perasaan itu kepadanya kecuali perasaan kagum dan menyesal bahwa aku telah membikin dia marah. Pula, kita menghadapi tugas yang mulia, dan besar, bagaimana mungkin memikirkan urusan perjodohan? Oleh karena itu, kuharap agar Tang locianpwe, para pangcu dan seluruh anggota Hwa I Kaipang, terutama sekali nona Tang Hui Yen sendiri, suka memaafkan kalau aku belum dapat mengambil keputusan sekarang atau dalam waktu dekat mengenai perjodohan.”
“Bagus sekali!” Pek Mau Lokai berseru kagum. “Begitulah seharusnya sikap seorang pahlawan! Mendahulukan kepentingan perjuangan dan mengesampingkan kepentigan pribadi. Aku dapat menerima pendapatmu itu Siauw Cu, dan percayalah, Yen Yen juga bukan seorang gadis yang berpemandangan sempit. Aku akan menyampaikan perasaan dan pendapatmu itu kepadanya. Sekarang, mari kita bicara, tentang keadaan kita dan perjuangan kita.”
Mereka lalu berbincang-bincang, atau lebih tepat lagi, Cu Goan Ciang mendengarkan penjelasan mereka tentang keadaann Hwa I Kaipang dan perjuangan perkumpulan itu.
Hwa I Kaipang merupakan perkumpulan pengemis terbesar di seluruh wilayah Nan-kiang. Akan tetapi karena kaipang ini jelas anti pemerintah Mongol, bahkan beberapa kali menyerang markas pasukan pemerinta dan membunuh banyak tentara dan perwira, tentu saja perkumpulan ini dinyatakan sebagai perkumpulan pemberontak oleh pemerintah. Pasukan keamanan mengadakan pembersihan dari para anggota Hwa I Kaipang. Penangkapan dilakukan terhadap para pengemis baju kembang. Hwa I Kaipang melakukan perlawanan, akan tetapi pasukan keamanan terlampau kuat sehingga banyak di antara mereka yang gugur, termasuk ayah dan ibu Yen Yen yang tadinya menjadi tokoh terkemuka dari perkumpulan itu. Karena dimusuhi pemerintah dan dicap sebagai pemberontak maka tentu saja perkumpulan itu tidak lagi berani mempunyai rumah perkumpulan yang terang. Mereka tidak mempunyai markas tertentu, dan para anggotanya juga tidak lagi diharuskan memakai pakaian kembang kecuali kalau mereka mengadakan pertemuan rapat di suatu tempat yang ditentukan. Mereka tinggal di kuil-kuil tua, di gubuk-gubuk dan pondok darurat yang mereka dirikan di dalam hutan-hutan, bahkan tinggal di gua-gua. Akan tetapi, pemimpin besar mereka, Pek Mau Lokai Tang Ku It, walaupun usianya sudah enam puluh lima tahun, tidak pernah turun semangat.
Dia tetap memimpin para anggota Hwa I Kaipang, bahkan berusaha memperkenalkan perkumpulannya dan kadang-kadang masih memimpin anak buahnya untuk menentang para pembesar Mongol. Karena dikejar-kejar dan tentu ditangkap kalau ketahuan oleh petugas ada pengemis yang memakai pakaian berkembang, maka para anggota tidak berani memakai pakaian seperti itu. Yang masih tetap berani hanyalah para pemimpinnya saja, terutama Pek Mau Lokai sendiri, Tang Hui Yen atau Yen Yen, dan tiga orang ketua cabang. Mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi maka mereka berani menempuh bahaya itu.
“Berapakah jumlah anggota Hwa I Kaipang?” tanya Siauw Cu, hatinya tertarik sekali dan kagum mendengar bahwa para pengemis, justeru orang-orang yang paling miskin, memiliki semangat begitu besar dan keberanian yang luar biasa untuk menantang pemerintah penjajah yang amat kuat.
“Kalau dikumpulkan seluruhnya dari wilayah empat penjuru, anggota kita tidak kurang dari seribu orang,” kata Pek Mau Lokai.
Siauw Cu terkejut. “Ah, kalau begitu besar juga kekuatan Hwa I Kaipang. Apakah semua pengemis di wilayah ini menjadi anggotanya? Dan bagaimana dengan para pengemis yang mengeroyok kita di kuil itu?”
Pek Mau Lokai menghela napas panjang. “Aihh, itulah yang merisaukan hati dan mendatangkan penasaran. Di wilayah Nan-king terdapat banyak kelompok pengemis yang mempunyai perkumpulan masing-masing. Hal ini tidak mengapa karena mereka adalah rekan- rekan sependeritaan kami. Akan tetapi yang paling menyebalkan adalah kenyataan bahwa ada perkumpulan pengemis yang cukup besar telah menjadi antek Mongol, bahkan mereka memusuhi kami. Kalau tadinya, di antara para kaipang terdapat persaingan biasa, akan tetapi yang dilakukan perkumpulan pengemis yang telah menjadi pengkhianat bangsa itu bukan persaingan, melainkan mereka diperalat oleh orang-orang Mongol untuk menumpas kami.
Mereka adalah Hek I Kaipang (Pengemis Baju Hitam).”
Siauw Cu menggeleng-geleng kepalanya. “Sungguh aku tidak mengerti bagaimana mungkin ada sekelompok pengemis yang mau menjadi antek Mongol? Bukankah mereka itu sampai hidup melarat karena akibat penindasan kaum penjajah? Sepatutnya mereka itu menentang penjajah, bukan menentang saudara sependeritaan, apa lagi sama-sama anggota kaipang.”
Ketua Hwa I Kaipang tertawa. “Di dunia ini, kekuasaan apa yang mampu menandingi kekuasaan emas dan perak? Sebagian besar manusia diperbudak oleh harta benda karena mereka mengira bahwa dengan harta benda merupakan syarat mutlak untuk memperoleh kesenangan. Mereka menganggap bahwa dengan harta benda, mereka dapat memenuhi semua keinginan mereka. Oleh karena itu, mereka silau oleh mengkilapnya emas dan perak dan mau melakukan apa saja demi memperoleh harta.”
Siauw Cu terkenang akan kehidupan orang tuanya. Mereka, ayah ibunya, dan banyak lagi penduduk desanya, bahkan kemudian dia tahu bahwa banyak lagi yang senasih di seluruh negara, mati karena sakit, karena kelaparan. Kalau mereka memiliki harta benda, tentu tidak akan mati kelaparan!