Rajawali Lembah Huai Chapter 41

NIC

Terpaksa Siauw Cu bangkit dan keluar, diikuti Pek Mau Lokai dan ketiga orang ketua cabang. Siauw Cu merasa panas juga perutnya melihat gadis manis itu berdiri dengan pandang mata menantang dan senyum mengejek dan memandang rendah.

Diam-diam Yen Yen memperhatikan pemuda yang melangkah keluar dari dalam gua itu. Sejak ayah ibunya belum meninggal dua tahun yang lalu, ayah ibunya selalu mendesaknya agar mau menikah. Namun, Yen Yen selalu menolak. Banyak pinangan datang, namun terpaksa ayah ibunya menolak halus karena gadis itu tidak pernah mau dan mengatakan bahwa kalau ayah ibunya menerima pinangan orang, ia akan menolak dan pada hari pernikahan, ia akan minggat. Ia mengemukakan tekadnya bahwa kalau belum bertemu dengan seorang pria yang menjadi pilihan hatinya, ia tidak mau menikah. Setelah ayah ibunya meninggal, tewas dalam pertempuran melawan pasukan pemerintah, tidak ada lagi orang yang mendesaknya untuk menikah. Kakeknya, yang menjadi pengganti ayah ibunya juga menjadi gurunya, tidak mendesak, hanya bertanya mengapa sampai berusia dua puluh tahun ia belum juga mau menjatuhkan pilihannya. Orang macam apa sih yang diharapkannya demikian kakeknya pernah bertanya. Ia menjawab bahwa pria itu harus memenuhi semua harapan hatinya, cocok dengan seleranya dan terutama sekali, harus dapat mengalahkannya dalam pertandingan silat.

Kini kedua orang muda itu saling berhadapan. Siauw Cu memandang dengan sikapnya yang tenang dan berwibawa, alisnya agak berkerut karena dia menganggap gadis ini terlalu sombong dan manja. Dan Yen Yen berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang, pandang matanya seperti seorang nona majikan terhadap seorang muridnya. Sejenak mereka saling pandang, Siauw Cu menunggu dengan tenang, Yen Yen mengamati pemuda itu pernuh selidik dengan sikap menantang, seperti sikap ayam aduan berlagak sebelum bertanding.

“Hemm, orang muda, engkau memiliki kemampuan apa sih mau menjadi pembantu kakekku, ketua Hwa I Kaipang?” kata Yen Yen dengan sikap tinggi hati sekali. Kini Pek Mau Lokai dan tiga orang ketua cabang sudah keluar dari gua dan duduk di atas batu, menjadi penonton. Bahkan para anggota Hwa I Kaipang yang kebetulan melihat adegan itu, tanpa dipanggil sudah datang sehingga sebentar saja tempat itu sudah dikelilingi puluhan orang yang menonton dengan hati tegang dan wajah gembira. Mereka mengenal watak Yen Yen yang galak dan yang suka sekali memuji kepandaian orang. Dan banyak di antara mereka yang merasa iba kepada pemuda yang nampak pendiam dan sederhana itu, karena sukar mencari orang yang mampu menandingi kelihaian Yen Yen.

Mendengar gadis itu bicara kepadanya seolah-olah seorang dewasa terhadap seorang kanak- kanak, wajah Siauw Cu menjadi kemerahan dan sinar matanya menyambar dan berkilat.

“Nona kecil, karena usiamu tidak akan lebih tua dari aku, maka tidak semestinya engkau menyebut aku orang muda, seolah-olah engkau sudah tua renta dan pikun!”

Ucapan Siauw Cu ini bukan untuk melucu melainkan karena dia mendongkol, akan tetapi terdengar lucu sehingga Pek Mau Lokai tertawa bergelak dan para anggota Hwa I Kaipang juga tersenyum dengan hati khawatir karena tentu gadis itu akan marah sekali. Dan memang Yen Yen menjadi marah. Mukanya yang memang sudah putih kemerahan itu kini menjadi merah, seperti seekor bunglon yang berubah warna, matanya mencorong dan menggerakkan tangan kirinya, jari telunjuk kiri ditudingkan ke arah muka Siauw Cu.

“Bocah sombong!” Biarpun usiamu lebih tua dariku, dalam pandanganku engkau masih kanak-kanak, tahu? Dan seorang kanak-kanak seperti engkau ingin menjadi pembantu kakekku memimpin para anggota Hwa I Kaipang? Tidak begitu mudah, sobat!”

Panas juga rasa perut Siauw Cu. Gadis ini terlalu memandang rendah dan lidahnya tajam melebihi ujung pedang. Akan tetapi karena dia mengingat bahwa gadis itu adalah cucu Pek Mau Lokai, diapun menahan diri. “Nona, bukan kehendakku untuk menjadi pembantu kakekmu, melainkan beliau sendiri yang mengkehendakinya.”

“Hemm, kukatakan tadi tidak semudah itu. Kalau engkau tidak mampu mengalahkan aku, engkau tidak pantas menjadi pembantu kakek. Hayo, coba kita lihat bersama apakah engkau mempunyai kemampuan untuk menandingi ilmu silatku. “Berkata demikian, gadis itu memasang kuda-kuda dengan lagak yang gagah sekali.

Cu Goan Ciang tersenyum dan dia menoleh ke arah Pek Mau Lokai. Biarpun kakek itu tadi sudah menganjurkan agar dia menyambut tantangan gadis itu, tetap saja dia merasa sungkan dan tidak enak hati terhadap ketua Hwa I Kaipang. Melihat pemuda itu menoleh kepadanya, Pek Mau Lokai sambil tertawa mengangguk. Siauw Cu lalu melangkah maju menghampiri gadis itu. Dia melihat betapa kuda-kuda gadis itu gagah sekali, dengan kaki kiri di depan dan kaki kanan di belakang, kaki kiri ditekuk rendah, tangan kanan diangkat ke atas kepala dan tangan kiri miring di depan dada.

Siauw Cu tidak berani memandang ringan. Gadis ini adalah cucu Pek Mau Lokai yang dia tahu amat lihai, maka tentu gadis inipun bukan orang lemah, bahkan mungkin merupakan lawan yang tangguh. Akan tetapi, kecerdikan Siauw Cu membuat dia dapat menduga bahwa dia a kan mampu menandingi gadis itu. Kalau tidak demikian halnya, tidak mungkin kakek itu mengangkatnya sebagai pembantu dan menganjurkan dia menyambut tantangan Yen Yen.

Kakek yang sakti itu sudah melihat sepak terjangnya ketika mereka di keroyok pasukan, tentu telah dapat mengukur kepandaiannya dan membandingkan dengan tingkat kepandaian Yen Yen.

“Kuharap nona tidak bersungguh-sungguh, kita bukan musuh yang sedang berkelahi,” dia mengingatkan.

Gadis itu cemberut. “Siapa yang memusuhimu? Kita sedang menguji kepandaian, bukan berkelahi. Tentu saja aku bersungguh-sungguh!” katanya.

“Baik, aku sudah siap. Silakan mulai, nona.”kata Siauw Cu dan diapun sudah memasang kuda-kuda dengan kedua kaki seperti orang menunggang kuda, kedua tangan dirangkap di depan dada seperti memberi hormat dan begitu lawan bergerak, kedua tangannya turun ke dekat pinggang kanan kiri.

“Lihat seranganku, haiiittt !” Yen Yen berseru dan iapun menerjang dengan gerakan yang

dahsyat. Siau Cu terkejut dan kagum ketika merasa angin pukulan menyambar dengan kuatnya. Benar seperti dugaannya, gadis ini lihai sekali. Karena dia memang sudah menduga demikian, biarpun kaget, dia sudah siap sedia dan cepat dia menggerakkan kaki memutar tubuh miring sambil menangkis dengan pengerahan tenaga sinkang.

“Dukk-duk-dukk!” Tida kali berturut-turut dia menangkis pukulan berantai dari Yen Yen dan tangkisann yang ketiga kalinya membuat gadis itu agak terdorong ke belakang.

Yen Yen merasa penasaran. Ia tahu bahwa dalam hal tenaga sin-kang, ia masih kalah kuat, maka ia lalu mempergunakan kecepatannya dan menyerang lagi dengan cepat dan bertubi- tubi. Namun, Siauw Cu adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang terkenal memiliki pertahanan yang kokoh. Dia dapat pula mengimbangi kecepatan gerakan lawannya dengan langkah-langkahnya, bahkan dia juga mulai membalas dengan serangan yang tak kalah cepat dan kuatnya.

Terjadilah pertandingan yang membuat semua anggota Hwa I Kaipang merasa kagum. Inilah yang dikehendaki oleh Lee-pangcu ketika dia menyetujui Siauw Cu menerima tantangan itu. Dengan memperlihatkan ilmu silatnya yang ternyata mampu menandingi ilmu kepandaian Yen Yen, dengan sendirinya para anggota Hwa I Kaipang menjadi kagum dan tentu tidak akan ada yang merasa penasaran kalau nanti mereka mendengar bahwa pemuda yang baru datang itu diangkat menjadi pembantu utama sang ketua.

Lima puluh jurus lewat dengan ramainya dan biarpun para anggota Hwa I Kaipang semua menganggap bahwa kedua orang itu memiliki kepandaian seimbang dan pertandingan itu seru dan saling serang, namun Yen Yen sendiri, juga tiga orang ketua cabang dan tentu saja Pek Mau Lokai maklum bahwa Siauw Cu telah banyak mengalah dalam pertandingan itu. Balasan serangan pemuda itu bukan untuk mendesak, melainkan hanya dilakukan untuk membendung serangan lawan saja. Serangan balasannya hanya untuk melindungi dirinya, bukan untuk menjatuhkan lawan. Hal ini lama-kelamaan terasa juga oleh Yen Yen, membuat ia menjadi semakin penasaran dan tiba-tiba ia mengeluarkan bentakan nyaring dan kedua tangannya, dengan jari-jari terbuka mendorong ke arah dada lawan sambil mengerahkan seluruh tenaganya! Inilah serangan yang amat berbahaya sehingga Pek Mau Lokai sendiri mengerutkan alisnya, menganggap cucunya itu keterlaluan sekali karena serangan maut seperti itu tidak pantas dilakukan dalam pertandingan menguji kepandaian atau pi-bu (adu silat) persahabatan, bukan mengandung kebencian atau permusuhan. Akan tetapi, karena dia percaya akan kemampuan Siauw Cu, diapun tenang-tenang saja, tidak seperti tiga orang muridnya yang menjadi pucat wajahnya. Tiga orang ketua cabang ini memiliki ilmu kepandaian silat yang setingkat dengan Yen Yen dan mereka juga tahu betapa hebatnya ilmu yang juga mereka kuasai itu.

Siauw Cu merasakan sambaran angin dahsyat dari kedua tangan itu dan dia mengenal pukulan berbahaya, maka diapun segera menggunakan ilmu andalannya, yaitu Sin-tiauw Ciang-hwat. Tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas seperti seekor burung rajawali terbang dan ketika kedua tangan lawan lewat di bawahnya, kedua tangannya dengan tubuh menukik itu menyambar, mencengkeram ke arah kepala Yen Yen!

“Aihhh. !!” Tiga orang ketua cabang melompat berdiri saking kaget dan khawatirnya, hanya

Pek Mau Lokai yang tetap duduk tenang walaupun mukanya berubah kaget karena kalau tadi dia dapat mengenal ilmu silat Siauw Cu dengan jurus-jurus yang ampuh dari Siauw-lim-oai, kini dia tidak mengenal ilmu yang dipergunakan Siauw Cu ketika tubuhnya mencelat ke atas seperti burung itu. Dia yakin bahwa biarpun Siauw Cu dapat mencengkeram kepala dan menewaskan cucunya, namun pemuda itu tidak mungkin mau melakukannya. Dan benar saja, Siauw Cu sudah melompat turun lagi dan berkata lirih.

Posting Komentar