Rajawali Lembah Huai Chapter 39

NIC

Siauw Cu menambahkan lagi kayu pada api unggun. Kehangatan api melindunginya dalam udara malam yang semakin dingin, membuat dia mengantuk. Dia memandang api dan melamun sambil melenggut. Dan dalam keadaan antara sadar dan tidak itu, dia melihat pelangi melengkung di depannya, pelangi yang berwarna, indah sekali seperti tangga yang menuju ke langit. Dan diapun bangkit, lalu berjalan menaiki tangga pelangi itu, makin lama semakin naik tinggi. Di ujung pelangi sana dia melihat sebuah bangunan yang besar dan indah, dan banyak perajurit menyambutnya dengan sikap hormat!

Tiba-tiba suara gaduh menariknya lepas dari dunia mimpi. Dia terkejut dan melihat bahwa tempat dia dan kakek itu berada, telah dikepung oleh belasan orang! Ada yang berpakaian pengemis, adapula yang berpakaian perajurit! Akan tetapi mereka itu bukan menyambutnya dengan hormat, melainkan mengancamnya dengan senjata di tangan. Ada beberapa orang di antar mereka memegang obor dan seorang yang berpakaian pengemis hitam-hitam berteriak dengan lantang.

“Tangkap dia!”

“Bunuh, dia berbahaya sekali!” teriak seorang pengemis berpakaian hitam yang lain.

Siauw Cu maklum bahwa tentu mereka itu datang untuk menangkapnya. Akan tetapi dia merasa heran mengapa ada pengemis-pengemis pakaian hitam yang ikut-ikutan membantu para perajurit. Ah, tentu mereka itu mata-mata pasukan keamanan yang menyamar pengemis dan bermalam di kuil itu untuk melakukan penyelidikan. Merekalah yang mengenalnya dan diam-diam melapor sehingga kini datang pasukan perajurit hendak menangkapnya. Diapun siap siaga dan cepat menyambar pedangnya yang dia letakkan di atas lantai. Ternyata api unggun yang dibuatnya telah padam, mungkin tadi dia telah tertidur sambil duduk dan bermimpi aneh. Mungkin sinar pelangi itu adalah sinar obor-obor yang dipegang oleh para pengepung.

Tiba-tiba seorang pengemis yang berjenggot lebat, bertubuh tinggi besar dan memegang golok, sudah menerjang ke depan dan mengayun goloknya, akan tetapi tidak menyerang dirinya, melainkan membacok ke arah tubuh Pek Mau Lokai yang masih tidur pulas! Siauw Cu heran dan terkejut, akan tetapi dia cepat menggerakkan pedangnya sambil meloncat, melindungi kakek itu.

“Tranggg. !” Bunga api berpijar ketika pedangnya menangkis golok yang menyambar ke

arah kepala kakek pengemis itu. Penyerangan itu terkejut dan terhuyung ke belakang. Seorang yang berpakaian perwira melangkah maju dan terbelalak memandang kepada Siauw Cu.

“Heiii! Dia itu Cu Goan Ciang, pelarian yang kita cari!”

“Ah, sudah jelas sekarang! Pek Mau Lokai bergabung dengan pemberontak dan pembunuh perwira pasukan kerajaan!” Keadaan menjadi gaduh dan belasan orang itu siap mengeroyok Cu Goan Ciang dan juga kakek yang kini terbangun dan menggosok-gosok kedua mata dengan punggung tangan.

“Wah-wah, apa yang terjadi? Begini banyak anjing menggonggong dan hendak menggigit Siauw Cu, apa yang terjadi?” Kakek itu mengambil tongkat bututnya.

“Pek-mao Lo-kai Tang Ku it, tidak perlu berpura-pura lagi. Engkau telah bergabung dengan Cu Goan Ciang si pemberontak!” bentak pengemis berjenggot lebat berpakaian hitam. “Bunuh dia!” Si kumis lebat menggerakkan goloknya menikam tubuh kakek yang masih duduk setengah rebah itu Cu Goan Ciang sendiri sudah diserang beberapa orang perajurit sehingga dia tidak lagi dapat melindungi kakek pengemis. Akan tetapi, dia terbelalak dan girang sekali melihat betapa kakek tua itu menggerakkan tongkatnya dan si kumis tebal terjungkal dan tidak dapat bergerak lagi. Tahulah dia bahwa kakek ini, seperti yang sudah diduganya, amat lihai dan sama sekali tidak membutuhkan bantuannya! Diapun menjadi bersemangat dan mengamuk di samping kakek itu yang kini memutar tongkat bututnya dan telah merobohkan empat orang berpakaian hitam-hitam!

Akan tetapi, para pengeroyok bertambah banyak. Kiranya hampir semua pengemis yang tadi tinggal di kuil, kini datang mengeroyok kakek rambut putih, sedangkan dari luar datang lebih banyak perajurit mengeroyok Cu Goan Ciang.

Betapapun lihainya Cu Goan Ciang, dikeroyok oleh banyak perajurit, dia terdesak hebat. Dia sudah berhasil merobohkan delapan orang pengeroyok, akan tetapi dia sendiri mulai menerima sambaran senjata lawan yang membuat dia luka-luka. Masih baik baginya bahwa di situ terdapat kakek pengemis yang ternyata lihai sekali sehingga para pengemis dan sebagian perajurit terpaksa mengeroyok kakek itu.

Agaknya kakek itupun maklum bahwa keadaan dia dan Siauw Cu tidak menguntungkan. Kalau dilanjutkan, tidak mungkin mereka akan mampu bertahan terus. Apa lagi kalau malam telah lewat dan cuaca menjadi terang. Akan datang lebih banyak perajurit dan akan semakin sukar bagi mereka berdua untuk menyelamatkan diri. Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara pekik melengking tinggi yang mengejutkan semua orang. Tak lama kemudian, beberapa buah gulungan jerami yang diikat dan diberi minyak, terbakar bernyala-nyala, dilemparkan orang dari luar ke tempat pertempuran! Tentu saja pengeroyokan menjadi kacau karena semua orang takut terkena api yang bernyala-nyala itu.

Pek Mau Lokai menangkap lengan Siauw Cu. “Mari, kita tunggu kapan lagi?” katanya dan Siauw Cu merasa dirinya ditarik amat kuat. Diapun ikut melompat dan melarikan diri ke belakang kuil di mana terdapat sebuah hutan kecil. Kakek itu agaknya hafal akan jalan di situ, dia menyusup-nyusup dan menyelinap di antara pohon dan semak belukar. Siauw Cu hanya mengikuti saja dengan membuta. Tubuhnya terasa perih dan nyeri karena ada beberapa luka menggores kulitnya dan mengeluarkan darah. Di belakang mereka, terdengar teriakan orang dan dengan derap kaki mereka yang melakukan pengejaran.

Ketika mereka tiba di ujung yang lain dari hutan itu, terdengar derap kaki kuda dan ada tiga orang laki-laki setengah tua berpakaian pengemis menunggang tiga ekor kuda dan menuntun dua ekor lagi.

Silakan Pangcu (ketua), dan maafkan kelambatan kami tadi karena kami harus membuat bola- bola jerami lebih dulu,” kata seorang di antara mereka.

“Siauw Cu, mari kita menunggang kuda dan pergi dari sini. Kalian bertiga bekerja dengan baik!” kata Pek Mau Lokai. Siauw Cu tidak membantah, lalu mereka menunggang dua ekor kuda tadi dan lima orang itupun membalapkan kuda melarikan diri dari tempat itu.

Cu Goan Ciang tidak merasa heran. Memang dia sudah menyangka bahwa kakek itu bukan orang sembarangan, maka diapun menyebutnya lo-cian-pwe. Akan tetapi sama sekali ia tidak menyangka bahwa kakek itu ternyata adalah seorang kaipang-cu (ketua perkumpulan pengemis), dan tiga orang yang menolong mereka dengan melemparkan bola-bola jerami bernyala kemudian membawakan dua ekor kuda itu tentulah anak buahnya. Sama sekali keliru semua perkiraannya tadi mengira bahwa kakek itu hidup terlantar, miskin dan papa. Dari perjalanannya selama ini dia tahu bahwa biarpun namanya perkumpulan pengemis, perkumpulan kaum jembel, namun di antara mereka banyak yang memiliki kedudukan kuat dan sama sekali tidak miskin. Pakaian butut tambal-tambalan yang mereka pakai bukan pertanda kemiskinan, melainkan lebih sebagai tanda bahwa mereka adalah anggota dari perkumpulan pengemis tertentu! Dan melihat pakaian Pek mau Lo-kai yang penuh tambalan namun bersih dan dari kain berkembang, juga ketiga orang pembantunya yang pakaian mereka juga tambal-tambalan akan tetapi dari kain berkembang, dia dapat menduga bahwa mereka itu tentulah orang-orang Hwa I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) yang pernah didengarnya sebagai perkumpulan pengemis yang kuat dan yang menentang pemerintah Mongol! Kini, tanpa disengaja, dia telah bertemu dengan ketuanya, bahkan makan dan tidur bersama di depan kuil di luar kota Nan-king itu.

Lima orang itu membalapkan kuda mendaki sebuah bukit dan matahari sudah mulai mengirim sinarnya mengusir kegelapan malam ketika mereka tiba di lereng bukit itu, di mana terdapat dinding batu yang panjang, mengandung banyak gua-gua besar. Dan belasan orang pengemis menyambut kedatangan ketua mereka dengan gembira.

Setelah dipersilakan turun dan memasuki gua terbesar di mana terdapat perabot rumah sederhana, Siauw Cu duduk berhadapan dengan Pek-mau Lo kai dan tiga orang anak buahnya tadi.

Kiranya aku berhadapan dengan Hwa Kaipang-cu,” kata Siauw Cu sambil memberi hormat kepada kakek itu. “Terima kasih, pangcu, dan terima kasih kepada tiga orang saudara ini.

Kalau tidak ada pertolongan kalian, tentu sekarang aku telah menjadi tawanan atau telah menjadi mayat.”

“Sudahlah, Siauw Cu. Kita di antara orang sendiri, kalau tidak saling bantu lalu siapa yang akan membantu kita?” kata Pek Mau Lokai. “Begitu bertemu di depan kuil itu dan mendengar engkau mengaku bernama Siauw Cu, aku sudah menduga bahwa engkau tentulah Cu Goan Ciang yang telah menggegerkan itu, yang dikagumi semua pejuang karena engkau telah berani membunuh perwira, kemudian membunuh banyak perajurit seorang diri saja, bahkan engkau berani menentang Jang-kiang-pang yang menjadi antek pemerintah Mongol. Engkau hebat, Siauw Cu, akan tetapi engkau juga bodoh!”

Siauw Cu mengamati wajah kakek itu dengan muka berubah merah. “Aku tidak mengerti apa yang lo-cian-pwe maksudkan.”

Posting Komentar