“Nah, coba kalau sebelum makan minum engkau tidak merasakan susahnya dan derita perut lapar, apa engkau akan dapat menikmati senangnya makan? Kalau hendak menikmati enaknya minum, haruslah lebih dahulu menderita tidak enaknya haus. Kesenangan merupakan pengalaman, kenangan, dan kita ingin memilikinya secara abadi, sehingga kalau kesenangan itu lepas dari tangan, kita bertemu kesusahan. Senang dan susah sama saja, itu hanya permainan pikiran yang bergelimang nafsu. Nafsu membentuk si-aku yang ingin senang, tidak mau susah, lupa bahwa adanya senang karena adanya susah, adanya siang karena adanya malam. Itulah perimbangannya, yang satu mengadakan yang lain.”
“Tapi, kek. Bukankah semua orang juga begitu? Siapa yang mau susah? Bahkan senangpun kalau berekor susah, aku tidak mau. Aku ingin bahagia selamanya, akan tetapi sejak kecil aku tidak pernah merasakan kebahagiaan.”
Kakek itu memandang penuh perhatian dan Goan Ciang menambahkan kayu pada api unggun sehingga nyala api membesar. “Orang muda, dalam pertanyaanmu sudah terdapat jawabannya. Aku melihat bahwa engkau bukan seorang yang tepat untuk mencapai kebahagiaan, melainkan seorang yang memiliki kemauan besar, memiliki bakat besar untuk mendapatkan kesenangan yang sebanyak-banyaknya. Berbakat untuk menjadi orang besar dengan kekuasaan yang tak terbatas!”
“Maksudmu bagaimana, kek?”
Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala. “Aku tidak dapat mengatakan lebih dari itu, aku hanya membaca tanda-tanda pada wajahnya. Akan tetapi kembali tentang kebahagiaan, engkau sendiri tadi mengaku bahwa sejak kecil engkau belum pernah merasakan kebahagiaan. Nah, dengan begitu berarti engkau tidak mengenal kebahagiaan dan tidak tahu apa itu kebahagiaan, bukankah begitu?”
“Justru, karena itu aku sedang mencarinya, kek. Aku mendambakan kebahagiaan, aku ingin menemukan kebahagiaan.” “Heh-heh-heh, lucunya! Siauw Cu, aku mempunyai seorang kenalan, namanya Akong. Nah, dapatkah engkau mencarinya untukku? Engkau belum mengenalnya, belum mengetahui di mana dia dan tidak mengenal ciri-cirinya, hanya tahu bahwa namanya Akong. Dapatkah engkau menemukannya untukku?”
“Wah, jelas tidak mungkin, kek! Andaikan aku bertemu seorang yang namanya Akong sekalipun, aku tidak tahu apakah itu Akong yang benar ataukah Akong yang lain.”
“Bagus! Begitu pula dengan kebahagiaan. Kalau engkau belum pernah mengenalnya bagaimana engkau dapat menemukannya? Andaikata engkau bertemu dengan sesuatu yang kaunamakan kebahagiaan sekalipun, engkau tidak tahu apakah itu kebahagiaan yang asli ataukah yang palsu, seperti Akong tadi! Mengertikah engkau, Siauw Cu? Orang tidak mungkin mencari sesuatu dan menemukan sesuatu yang belum pernah dikenalnya. Kalau engkau mencari kesenangan, yaitu pengalaman menyenangkan hati seperti yang pernah kaualami atau yang pernah dialami orang lain dan yang engkau dengar orang lain menceritakannya kepadamu. Dan mencari kesenangan, seperti kita bicarakan tadi, sama dengan mencari kesusahan karena keduanya kait-mengait dan tak terpisahkan.”
Siauw Cu mengerutkan alisnya. Belum peernah dia mendengarkan pendapat seperti itu. Belum pernah dia bercakap-cakap dengan orang lain seperti yang dilakukannya pada malam hari sunyi di depan kuil kosong itu. Ia takjub, juga tidak mengerti. Apa yang diucapkan kakek itu hanya samar-samar saja dapat ditangkap hatinya, namun segera menjadi kabur pula.
“Kakek yang baik, aku telah memberitahu namaku. Bolehkah aku mengetahui nama kakek yang bijaksana?”
“Bijaksana? Heh-heh-heh, aku sama sekali tidak bijaksana, sama seperti engkau dan orang lain. Kalau makan enak perut kenyang harus senang, heh-heh-heh! Kalau orang-orang menyebutmu Siauw Cu, maka orang-orang menyebut aku Pek Mau Lokai (Pengemis Tua Berambut Putih). Engkau boleh sebut aku Lo-kai (Jembel Tua) saja.”
Akan tetapi Siauw Cu adalah seorang pemuda yang pandai membawa diri. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang luar biasa, dan bukan mustahil kakek seperti ini memiliki ilmu kepandaian tinggi.
“Pek-mau locianpwe (Orang Tua Gagah Berambut Putih), aku hanya ingin bertanya dan akupun mengharap locianpwe akan menjawab sejujurnya.”
“Heh-heh-heh, tanyalah, orang muda.” Kata kakek itu, tidak kikuk disebut locianpwe. “Apakah locianpwe tidak seperti aku, tidak mendambakan dan tidak mencari kebahagiaan?”
Wajah yang keriputan dibungkus rambut putih itu berseri, matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum lebar sehingga kelihatan bahwa mulutnya tidak bergigi lagi, seperti mulut bayi yang belum tumbuh gigi. “Heh-heh-heh, aku tidak butuh kebahagiaan, orang muda. Untuk apa kebahagiaan? Tidak bisa dimakan, tidak bisa dipakai. Untuk apa? Aku adalah aku, seperti inilah, dan aku tidak ingin menjadi yang lain, tidak ingin menjadi apa-apa, tidak ingin apa- apa. Kalau aku tua, tualah, kalau miskin, miskinlah, kalau sakit, sakitlah, kenapa harus mengeluh dan tidak menerima kenyataan? Kalau lapar, cari makan, kalau sakit, cari obat, itu saja. Aku tidak butuh bahagia. Nah, sekarang ini perutku kenyang, tubuh terasa nyaman, mataku mengantuk. Aku tidak ingin apa-apa, tidak butuh bahagia, hanya butuh tidur!” Setelah berkata demikian, kakek yang tadinya duduk bersila itu lalu merebahkan tubuhnya, miring dan dalam beberapa detik saja dia sudah tidur pulas!
Siauw Cu tercengang, lalu tertegun, merenung, memandang kepada kakek yang tidur nyenyak itu, lalu menambahkan kayu pada perapian dan termenung memandang api yang merah.
Pandang matanya kosong menerawang, menembus nyala api. Dia menemukan sesuatu, menemukan kenyataan pada diri kakek itu. Itulah bahagia! Itukah? Keadaan tidak ingin apa- apa, ituka yang dinamakan bahagia? Akan tetapi, bagaimana mungkin hidup tidak ingin apa- apa, seperti kakek itu? Menerima keadaan begitu saja? Mungkin bisa dilakukan seorang yang sudah tua seperti kakek itu. Akan tetapi dia? Dia masih muda, dia ingin memperoleh kemajuan dalam segala bidang! Dia bercita-cita. Dia ingin mengusir penjajah Mongol. Dia ingin memimpin rakyat membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Dia ingin menjadi pemimpin besar rakyat jelata, ingin mencapai kekuasaan tertinggi! Dia sudah cukup menderita kekurangan, penghinaan, kerendahan. Dia ingin berkecukupan, berlebihan, dihormati dan disembah, dia ingin kedudukan setinggi-tingginya. Salahkah itu? Dia menoleh dan melihat betapa kakek itu tersenyum pada tidurnya.
“Engkau boleh puas dengan keadaanmu, kek. Akan tetapi aku belum puas dengan keadaanku. Kalau sudah tercapai cita-citaku, barulah aku akan merasa puas dan bahagia. Ya, puas dengan keadaannya itulah bahagia dan aku tidak berbahagia karena aku belum puas dengan keadaan diriku!”
Cu Goan Ciang masih diombang-ambingkan pikirannya sendiri, tidak tahu bahwa hati akah pikiran itu sudah dikuasai nafsu daya rendah. Oleh karena itu, apapun yang kita pikirkan selalu mempunyai satu tujuan, yaitu demi keenakan dan kesenangan diri pribadi. Dengan selimu dan kedok apapun, berselubung apapun yang menjadi tujuan pemikiran adalah keenakan dan kesenangan diri pribadi. Baik kesenangan dan keenakan diri jasmani maupun keenakan dan kesenangan diri bagian dalam, y aitu batin. Orang yang haus akan kebahagiaan adalah jelas merupakan orang yang tidak berbahagia. Kenyataannya bahwa kita ingin berbahagia menunjukkan bahwa kita tidak berbahagia. Ini merupakan fakta. Nah, dalam keadaan tidak berbahagia, bagaimana mungkin dapat menemukan bahagia? Yang tidak berbahagia itu bukan lain adalah yang mendambakan kebahagiaan itu juga. Dalam keadaan sakit, bagaimana mungkin tubuh mendambakan kesehatan? Yang terpenting bukan mencari- cari kesehatan, melainkan menghilangkan penyebab sakit, apakah kita butuh akan kesehatan lagi. Demikian pula dengan kebahagiaan. Yang terpenting adalah mengamati, mempelajari, dan meyakinkan mengapa kita tidak berbahagia! Kalau penyebab yang mendatangkan ketidakbahagiaan itu lenyap, apakah kita butuh lagi kepada kebahagiaan? Tentu saja tidak butuh! Orang yang tidak sakit tidak butuh kesehatan karena memang sudh sehat. Orang yang tidak ‘tak berbahagia’ tidak membutuhkan kebahagiaan lagi karena sesungguhnya dialah orang berbahagia! Seperti juga kesehatan, kita tidak pernah menyadari kebahagiaan. Kalau kita sehat, kita lupa bahwa kita sehat, kita tidak dapat menikmatinya. Demikian pula kalau kita berbahagia, kita lupa atau tidak tahu bahwa kebahagiaan tak pernah meninggalkan kita. Kalau kita sakit, baru kita rindu kesehatan, kalau kita sengsara baru kita mendambakan kebahagiaan! Pada hal, kebahagiaan, seperti Tuhan dan kekuasaanNya, tidak pernah meninggalkan kita sedetikpun. Kitalah yang meninggalkan Dia!
Nafsu daya rendah telah mencengkeram kita lahir batin sehingga nafsu yang diikut-sertakan kepada kita dan yang semula dijadikan pembantu dan alat kita dalam kehidupan ini, berbalik memperalat kita sehingga kita diperhamba. Nafsu mencengkeram kita dan mendorong kita untuk selalu mengejar-ngejar keenakan dan kesenangan diri lahir batin. Hidup kita hanya diseret ke satu arah, satu arah mencapai tujuan, yaitu keenakan dan kesenangan! Dan untuk mencapai tujuan ini, kita menghalalkan segala cara karena sudah lupa diri, lupa bahwa kita ini manusia, mahluk tersayang yang mendapat anugerah Tuhan secara berlimpah-limpah. Kita melupakan Tuhan, hanya menyebut nama Tuhan dalam mulut saja, itupun kita lakukan kalau kita sedang ditimpa kesengsaraan! Kesengsaraan yang menimpa diri kita karena akibat ulah kita sendiri, membuat kita ingat kepada Tuhan, ingat untuk minta tolong, untuk minta dibebaskan dari kesengsaraan! Dalam keadaan menderita, baru kita menjerit-jerit minta ampun kepada Tuhan! Permintaan ampun seperti itu biasanya tidak ada gunanya, karena kita minta ampun dalam keadaan menderita, dengan satu tujuan terselubung, yaitu terlepas dari kesengsaraan! Permintaan ampun seperti itu hanya suatu cara untuk memperoleh keenakan dan kesenangan karena bebas dari derita. Kalau sudah terbebas dari derita, maka kitapun sudah lupa lagi kepada Tuhan! Itulah ulah nafsu yang sudah mencengkeram hati akal pikiran, sehingga apapun yang kita lakukan menuruti dorongan hati akah pikiran yang masih bergelimang nafsu yang selalu berpamrih demi kesenangan diri.
Bebas dari cengkeraman nafsu berarti selalu berada dalam bimbingan kekuasaan Tuhan. Apapun yang kita lakukan merupakan suatu kebaktian kepadanya karena tidak ada saat di mana kita lupa kepadanya, seolah setiap denyut jantung, setiap gerakan, setiap hembusan napas merupakan pujian dan pujaan kepadanya.
Malam semakin larut. Ketika Siauw Cu memandang ke arah kakek pengemis itu, dia tersenyum. Boleh jadi kakek itu merasa puas dan berbahagia, akan tetapi bagaimanapun juga dia hanya seorang kakek pengemis yang papa. Tidurnya saja di luar kuil tua, di tempat terbuka, keadaannya miskin sekali. Bagaimana kalau jatuh sakit? Tidak ada obat, tidak ada yang merawatnya, terlantar dan sengsara. Tidak ada uang pembeli makanan!